SELAMAT DATANG

selamat datang di blog kami semoga anda dapat mendapatkan infomasi yang anda butuhkan, kami senang dapat membantu anda

Kamis, 24 Desember 2009

Resume : Pembahasan Ilmu Al-Qur’an

b


Judul:
Pembahasan Ilmu Al-Qur’an
Judul asli :
Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an
Pengarang :
Mana’ul Quth’an
Alih bahasa :
Halimuddin, S.H.
Cetakan Kedua, November 1998
Diterbitkan Oleh PT. RINEKA CIPTA, Jakarta
Di ragkum oleh: Dedi Suhendar 204102322
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Fak. Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung



BAB I
DEFINISI, ILMU PENJELASAN, DAN
PERKEMBANGANNYA

Ulum, jama dari ilmu. Ilmu yaitu paham atau pemikiran. Yang dimaksud dengan ilmu al-Qur’an adlah ilmu melakukan pembahasan-pembahasan yang bersangkut paut dengan al-Qur’an, agar supaya orang dapat mengetahui sebab-sebab turun al-Qur’an itu. Al-Qur’an itu dikumpulkan dan diterbitkan, diketahui mana yang termasuk surat mekah dan mana pula surat Medinah. Masalah nasihk dan masuhk, muhkam dan mutasabih, selain dari itu juga apa yang berhubungan dengan al-Qur’an ilmu ini juga dinamakan ushul tafsir, karena melakukan pembahasan yang tidak dapat tidak bagi orang yang enafsirkan al-Qur’an it harus mengetahui hal-hal yang disanandkan kepadanya dalam tafsir al-Qur’an.
Al-Quranulkaarim adalah mukzizat Islam yang abadi. Kemajuan ilmu itu tidak akan bertambaha kecuali dengan meresapkan al_Qur’an ini kedalam jiwa kita. Muhammad SAW untuk mengeluarkan umat manusia ini dari kegelapan kepada terang benderang, dan menunjukan kepada jalan yang lurus.
Rasululah tidak mengizinkan sahabat-sahabat itu untk menuliskan sesuatu selain alquran, kemudian Rasulullah mengizinkan beberapa orang sahabat untuk menuliskan Hadist yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Pada masa khalifah Abu Bakar Umar dan Usman diperintahkan untuk menghimpun ayat-ayat al-Qur’an itu pada suatu mushaf dan mengirimkannya pada daerah-daerah kerajaan saat itu dan tulisan-tulisan itu dikenal dengan nama mushaf Usmani, dan dari sinilah timbulnya pmikiran supaya bentuk huruf itu diajarkan. Kemudian pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib mulailah perkembangan ilmu al-Qur’an berkembang, ilmu nahwu, I’rab cara baca, tafsir al-Qur’an dan banyak lainnya.
Pada abad kedua beberapa orang ulama mengumpulkan hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah untuk menafsirkan Al-Qur’an, atau dikumpulkan dari sahabat dan tabi’in. diantara mereka yang masyhur adalah Yazid bin Harun Assalami, Waki’ bin Al Jarrah, Syu’bah bin Al Haja, H. Sufyan bin Uyaiyanah, Abdurrazaq bin Haiman, mereka adalah ahli hadist.
Dalam segi ilmu tafsir, maka disusunlah al-Qur’an itu menurut judul dan judul-judul itu dihubungkan dengan al-Qur’an, kemudian disusun pula oleh l-Madini, disusun menurut asbabun nuzul, sesudah itu ada yang menyusun menurut nasihk dan mansukh, dan juga dalam segi qiraat oleh Qutaibah disamping disusun juga diberikan baris. Mereka yang tersebut ini adalah ulama-ulama pada abad ke tiga hijriah.

BAB II
AL-QURAN

Defines al-Quran adalah berasal dari Qura-a berarti berkumpul dan menghimpun. Qira-ah menghimpunkan huruf-huruf dan kata-kata itu antara satu sama lain pada waktu membaca al-Qura’an. Tuhanlah yang telah menurunkan kepada Muhammad yaitu apa-apa yang telah diturunkan-Nya kepada Nabi-nabi yang terdahulu. Taurat, Injil, dan Zabur. Tuhanlah yang mengeluarkan qira’at, haad, dan hadist qudsi. Membaca al-Qur’an itu termasuk ibadat. Artinya membaca al-Qur’an itu diperintahkan dalam sembahyang.
Nama-nama al-Quran adalah Al-Qur’an, Al-Kitab, Al-Furqan, Azzikr, At-Tanzil. Sifat-sifat al-Qur’an adalah Nur (cahaya), Huda (petunjuk), Mubarak (berkah), Mubiyin (terang), Busyra (khabar gembira), Aziz (yang mulia), Majid (yang muia), Basyir (yang membawa berita gembira).
Perbedaan al-Qur’an dengan hadis Qudsi dan Nabawi adalah Hadist Nabawi, hadist menurut bahasa adalah baru lawan dari yang lama menurut istilah ialah apa yang dibangsakan kepada Nabi SAW, hal perkataan atau perbuatan, atu takriri, atau sifat. Hadist Qudsi, qudsi dinisbahkan kepada qudus yaitu suci. Yang menisbahkan kebesaran atau mnunjukan kesucian dan kebersihan dalam bahasa. Menurut istilah yaitu hadist yang dibangsakan oleh Nabi kepada Allah. Artinya Nabi meriwayatkan bahwa hadist ini adalah firman Allah. Rasulullah menrawikan firman Allah dengan lafazd yang ada padanannya.
Perbedaan al-Quran dengan hadist qudsi, ada beberapa perbedaan anatar keduanya pertama, al-Quranulkarim adalah perkataan Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafadz Rasul itu sendiri. Dengan inilah al-Qur’an dipertandingkan dengan orang Arab dalam perlombaan dan tidak pernah ada yang sanggup menandingi al-Qur’an sedangkan hadist Qudsi tidak pernah diperlombakan Kedua, al-Qura’an tidak dinisbahkan selain kepada Allah, sedangkan hadist qudsi kadang dinisbahkan kepada Allah disebut insyak, dan dinisbahkan atas Rasullulah atau dinamakan nisbah ihkbar. Ketiga,al-Qur’anulkarim itu seluruhnya perpindahannya itu mutawatir, qathi’subut (ketetapan pasti) sedangkan hadist Qudsi itu kadang-kadang sahih, kadang-kadang hasan dan kadang-kadang dha’if. Keempat, Lafadz dan makna al-Qur’an itu dari Allah, sedangkan hadist Qudsi maknanya itu dari Allah, dan lafadznya dari Rasul.wahyu dengan makna tanfa lafadz. Untk itu diperbolehkan meriwayatkannya dengan makannya. Kelima, membaca al-Qur’anulkarim itu termasuk ibadat. Sedangkan hadist qudsi itu tidak boleh dibacakan dalam sembahyang.
Perbedaan Hadist Qudsi dengan Hadist Nabawi, hadist Nabawi itu dibagi dua yaitu Qismu tauqifi ((yang terkandung dalam wahyu) dan Qismu taufiqi (pemahaman rasuil dalam al-Qur’an) yang membedakan dengan hadist Qudsi adalah maknanya itu dari Allah Azza wajala, diturunkan kepada Rasul dengan perantaraan wahyu, bukan atas ta’yin.

BAB III
WAHYU ILAHI

Arti wahyu, ada orang yang mengatakan, aku wahyukan kepadanya dan aku wahyukan. Jadi perkataan itu menurut apa yang tersembunyi bagi orang lain. Wahyu itu adalah isyarat cepat. Adanya dengan perkataan ringkas ada dengan suara ada pula dengan isyarat anggota tubuh.
Definisi wahyu dengan pengertian mashdar, permulaannya berupa agangan-angan serupa dengan segala jiwa. Atau merpakan kasyaf (menyingkapkan tabir yang menutup, selain dari itu, perbedaan ilham denagn wahyu itu tidak bisa diberi definisi).
Cara wahyu diturunkan kepada Rasul itu ada yang pakai perantara dan ada pula yang tidak pakai perantara. Pertama, dengan perantara Jibril yaitu malaikat wahyu, kedua, tidak pakai perantara, merupakan mimpi di waktu tidur, lewat perkataan Illahi dari balik hijab tanpa perantara juga diwaktu jaga dalam peristiwa Nabi Musa.
Cara wahyu malaikat kepada Rasul, pertama, malaikat datang kepada Rasul dalam bentuk yang menakutkan, seperti bunyi lonceng yang semakin lama semakin keras dan Rasul berusaha untuk membulatkan fikirannya. Kedua, malaikat itu datang keapada Nabi menyerupai seorang laki-laki dia datang dengan berbentuk manusia.
Ilmu kalam, para ahli ilmu kalam menggali dengan mendalam kelmulah menurut cara-cara yang ditempuh oleh ahli filsafah. Mereka ini membwa orang kepada pendapat yang sesat, menyimpang dari jalan lurus. Mereka membagi kalamullah atas dua bagian pertama, kalam kadim artinya Allah itu berbicara bukan dengan huruf, bukan dengan suara, tidak tersusun dan tidak berbahasa. Kedua kalam lafadzi, artinya kata-kata yang diucapkan dengan mulut,inilah yang diturunkan kepada nabi SAW. Inilah yang menjadi isi dari kitab yang empat. Ulma-ulama ilmu kalam tenggelam dalam perbedaan pendapat tentang alimah mubtadiah (kata-kata yang diucapkan). Apakah al-Qur’an itu termasuk kedalam pengertian yang kedua ini, dia makhluk atau bukan? Menurut pendata yang lebih kuat di antara mereka itu mengatakan bahwa al-Qur’an itu memang makhluk. Demikianlah, kini mereka telah keluar dari jalan yang ditempuh oleh ulama-ulma salaf dalam hal apa yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mereka berusaha mendapatkan sifat-sifat Allah itu dengan ajalan uraian filsafat yang menjurus kepada keragu-raguan dalam akidah tauhid.

BAB IV
AL-MAKKIY DAN MADANIY

Kata Abu Qasaim Hsan bin Muhammad bin Habib Annasisabury dalam kitabnya – Attanbih ala Fadihil Qur’an, - barangsiapa yang ingin mendalami ilmu al-Qur’an, maka hendaklah dia mengetahui bentuk-bentuk turunnya dan menertibkannya apa yang turun di m Ekah dan Medinah. Ada ayat itu turunnya di Mekah tapi hukumnya Madany. Dan ada pula yang turunnya di Medinah sedangkan hukumnya Makky. Ada pula yang turun di Mekkah mengenai penduduk Medinah dan ada pula turun di Medinah tentang penduduk Mekah. Dan adapula yang serupa ayat yang turun di Medinah pada yang turun di Mekah. Ada pula yang serupa ayat yang turun di Jedah dengan yang turun di Baitulmakdis. Demikian juga ayat yang turun pada malam hari, ayat yang turun di siang hari, ayat yang turun secara masyi’an dan ayat yang turun secara mufarid.
Ada ayat Madaniyah pada surat Makiyah, dan sebalinya, ayat Makiyh pada surat Madaniayah. Tidak boleh membawa dari Mekah. Tidak boleh membawa dari Medinah ke tanah Habsyah. Ada ayat yang turun secara mujmal (global) dan ada pula yang turun secara mufasirin (tererinci). Dalam hal ini tidak boleh diperselisihkan. Kata sebagian orang ayat ini Madaniy dan kata sebagian lagi Makkiy.
Faidah ilmu Makkiy dan al Madaniy, pertama, sebagai penolong dalam menafsirkan al-Qur’an. Jika terdapat pelajaran daripadanya itu berbentuk lafdzumum bukan dengan menetukan sebab, maka orang yang menafirkannya dapat memberikan penjelasan ketika terjadi penentangan makna pada ayat, sebab berbeda antra nasihk dan masuhk. Dua, merasakan enaknya metode-metode al-Qur’an dan sebagiannya diadakan pada metode dakwah. Keistimewaan-keistimewaanya adalah pada pemberian metode yang baik mengenai cara menuturkan kata-kata dlam menyerukan orang kepada jalan Allah bersesuaian dengan jiwa si pembicara.
Dalam mengetahui al Makkiy dan al Madaniy maka ulama-ulama berpedoman kepada dua metode yang menjadi asas. Pertama, yaitu metode sam’i naqli (mendengarkan saja apa yang dikatan oleh Rasulullah), kedua metode al Qiyasi al-Ijtima’i (kias dan ijtihad).
Al Makkiy, adalah tiap-tiap surat bila didalamnya ada lafadz sajdah, lafadz kalla, lafadz yaa ayyuhannas, tiap yang didalamnya terdapat kisah nabi-nabi dan bangsa-bangsa terdahulu, tiap surat yang didalamnya terdapat kisah Adam dan Iblis dan tiap surat yang pembukaanya itu dengan huruf attahjiy.
Al Madaniy adalah ayat yang meletakan tasyr’i dan fadhilah-fadhiloah yang berkaitan dengan akhlak yang terdapat dalam masyarakat, dosa dan musyrik, menumpahkan darah, memakan harta anak yatim dengan dzalim, menguburkan anak-anak perempuanhidup-hidup, yang merupakan adat kebiasaan buruk, seruan kepada tauhid dan beribadat kepada Allah, menetapkan kerasulan, tentang hari kiamat, neraka dan surga perdebatan orang-orang musyrik, menyebutkan kisah-kisah nabi dan umat masa lalu, mencela mereka, pasal-pasal pendek. Menurut mad’unya ayat Madaniy adalah sebagai berikut: ayat yan g terdapat faridhah (hal-ha yang wajib), had (hukuman), orang munafik (kecuali al ankabut ia surat Makkiy), perdebatan dengan ahli Kitab, masalah ibadat mu’amalah, hudud (hukum) aturan rumah tangga, waris mewaris, kelebihan jihad, hubungan kemasyarakatan, dan diplomasi antar negara.

BAB V
MENGETAHUI AYAT PERTAMA DAN YANG AKHIR

Dalam hal ini Ulama mempunyai beberapa pendapat, telah kami ringkas dan kai terjemahkan maka ataranya adalah, Iqra kata Rasul: aku tidak pandai membaca. Maka diambilnya aku dan dirangkulnya kuat-kuat sehingga aku kepayahan, dan kemudian kembali seraya berkata – bacalah – aku tidak pandai berkata hingga ketiga kalinya dan tubuhku bergetar serta kembali kerumah. Dan pendapat lain adalah ayat yaa ayyuhal mudastir Rasul berkata: aku angkat kepalaku, malaikat yang datang kepadaku di gua Hira itu kini sedang duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Lalu aku kembali, katku, -selimuti aku. Maka orang menyelimuri aku ketika itulah turun ayat tersebut. Ada pula yang mengatakan surat Alfatihah dan bismillah.
Dan dengan jalan menyimpulkan dari ijma para ulma maka jelaslah bagi kita mengetahui bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah ayat iqrak bismirabbika dan yang pertama mengenai penyampaiannya ialah ya aiyuhal mudatsir.
Ayat yang terakhir turun adalah ada beberapa pendapat pula yang mengatakan QS. Al Bakharah : 278, QS. Al Bakharah : 281, QS. Al Bakharah : 282, QS. An Nisa : 176, QS. At Taubah : 128, ayat yang mengenai halal dan haram (sebagaimana hadist yang diriwayatkan Tirmidzi dan Hakim), QS. Ali Imran : 195, QS. An Nisa : 93, QS. An Nasr : 1, dan QS. Al Maidah : 3.
Turunnya ayat yang mula-mula dan yang terakhir turunnya itu mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya:
a. Menjaga dan menerangkan kesungguhan yang disanjung oleh ayat dan ditetapkan oleh ayat. Sahabat-sahabat Nabi pada zaman dulu itu menghafal al-Qur’an itu ayat demi ayat. Mereka itu mengetahui bila turunnya dan dimana turunnya. Sebab mereka itu langsung menerimanya dari Rasulullah SAW. Setiap ayat yang diturunkan Allah kepada Nabi itu dan oleh Nabi langsung disampaikannya kepada sahabat-sahabat untuk dijadikan dasar hukum agama. Hal ini membangkitakan keimanan dan menjadi dasar keunggulan dan kebesaran mereka itu. Al-Qur’an ini tidak pernah dirubah-rubah dan tidak pernah dipertukar-tukarkan letaknya.
b. Menggali rahasia syari’at Islam dalam sejarah menjadi sumber pengambilan yang adil yang asli. Ayat-ayat al-Qur’an itu dapat menyebuhkan penyakit jiwa orang dengan petunjuk dari langit. Orang mengambil dengan cara-cara yang bijaksana, mengangkat jiwa itu ke tingkat yang sempurna. Lambat laun orang harus melaksanakan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qu’an itu untuk meluruskan jalan hidup, dan menjadi obor yang terang benderang yang menerangi jalan yang akan dilalui. Mengatur hal ihwal kehidupan dalam masyarakat atas jalan yang betul.
c. Membedakan nasihk dan mansuhk, kadang ada dua ayat atau lebih pada suatu mdh’u. Masing-masing ayat itu berbeda hukumnya. Mulanya turun satu ayat, suadh itu turun satu lagi mengenai suatu masalah, maka ayat yang turun belakangan ini merupakan nasikh bagi ayat yang turun pertama.

BAB VI
ASBABUN NUZUL

Orang-orang yang melakukan pembahasan khusus dala ilmu al-Qur’an ingin sekali mengetahui sebab-sebab turunnya ayat. Menetapkan hal ikhwal kejadian-kejadian yang berlaku sekarang dan untuk masa mendatang. Dasar yang menjadi dasar bagi Ulma dalam mengetahui asbabun nuzul ialah sahnya riwayatnya itu dari Nabi atau Rasul.
Mengetahui sebab-sebab. Pertama, terjadinya suatu peristiwa maka turunlah ayat Kedua, ada orang yang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai sesuatu masalah, maka turunlah ayat.
Faedah mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, pertama menerangkan hikmah yang dikaitkan kepada tasyr’I hokum dari hokum-hukum. Memikirkan syar’I bagi kemaslahatan umum dalam menanggulangi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kedua, menghasilkan hukum, sekalipun sighat umum. Ada orang yang memperhatikan bahwa pengajaran yang diambil itu dengan menghususkan sebab, bukan dengan pengajaran yang diambil itu dengan masalah khilafiyah. Krtiga, mengetahui sebab turun itu merupakan jalan yang terbaik untuk memahami arti-arti al-Qur’an. Pengajaran dengan umumnya lafadz bukan dengan khususnya sebab karena orang sepakat mengatakan, ayat al-Qur’an itu pada umumnya diturunkan karena ada suatu sebab. Pertama menurut pemdapat jumhur, pelajaran yang dapat diambil dari ini ialah dengan umumnya lafadz, bukan dengan mengkhususkan sebab. Hokum yang diambil dari lafadz a’m itu men-ta’dikan bentuk sebab khusus kepada penyelidikannya. Seperrti li’an yang turun di waktu Hilal bin Umayah meng-kazaf istrinya. Disamping Nabi dengan syarik bin Suhamak.
Bebrapa riwayat tentang sebab-sebab turunnya ayat ada beberapa yang menjadi pusat perhatian ahli-ahli, diantanya: Pertma jika tidak terdapat sighat yang terang-terang. Contohnya ayat ini turun begini, aku kira dia turun dalam hal begini. Tidak boleh menafikan keterangannya. Jika maksud tafsir dan menerangkan bahwa demikian itu masuk kedalam ayat dan dipergunkan, bukan maksudd menyebutkan sebab turun, melainkan menegakan qarianah untuk satu. Dimaksud dengan ini ialah yang berkenaan dengan sebab. Kedua, jika ada salah satu sighat itu tidak terang-terang, seperti katanya, - turun pada begini, dan yang satu lagi terang-terang menyebutkan sebab-sebab yang berbeda, maka yang dipedomani ialah nash sebabiah dengan sebab. Sedangkan yang lainnya ke dalamnya dimasukan hukum ayat.ketiga, jika riwayat itu lebih dari satu, maka semuanya itu adlah nash dalam hal yang berkenaan dengan sebab. Salah satu sanadnya lebih sahih dari sanad-sanadnya yang lain, maka yang dipedomani yaitu yang sahih itu. Keempat, kalau riwayat-riwayatnya itu sama sahnya, disini, atau salah satu bentuknya itu yang lebih kuat, seperti kisah yang tersebut diatas, atau salah satu diantaranya sanadnya itu lebih sah, maka yang dipedomani ialah yang lebih sah itu. Kelima, jika ayat-ayat itu sama kuatnya bila memungkinkan maka riwayatnya itu harus dikumpulkan, baik yang turun sesudahnya sebab maupun yang adanya sebab-sebab dalam masa yang berdekatan.
Kesimpulannya, sebab turunya ayat iru ada yang lebih dari satu kali. Yang dikumpulkan itu ada yang terang-terangan dan ada pula tidak. Dan ada pula hanya sebagian saja yang terang-terangan, dan sebagian lagi tidak. Jika seluruh yang berkenaan dengan sebab tidak terang-terangan, tidak dalam hal ini tidak berbahaya, karena dapat ditafsirkan, dan masuk kepada ayat (A). Jika hanya sebagian saja yang ternag-terangan dan yang sebagian lagi tidak, maka yang dipedomani disini yaitu yang terang terangan (B). Jika seluruhnya terang-terangan, maka dalam hal ini tidak ada masalah. Adakalanya hanya satu sahih, yang selebihnya tidak, maka yang sahih inilah yang harus dipedomani (C). Jika semuanya itu sahih, jika mungkin harus tditarjihkan (D). Jika tidak, juga ada kemungkinan (E). Selain dari itu maka hendaklah dibawa kepada tuurnnya itu lebih dari satu kali dan berulang-ulang (F). Pembagian yang terakhir adalah nakal. Ayat-ayat yang diturunkan tiga kali atas satu sebab, Mendahulukan ayat hukum, mengenai diri seseorang (pengajaran dsb) dan bersesuaian antara ayat dan surat.

BAB VII
TURUNNYA AL-QURAN

Turunnya al-Qur’an berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan sebelumyya. Merupakan pengaruh dahsyat, yang dalam hal ini terjadi perdebatan sengit antara kedua belah pihak. Sehingga pada hakikatnya prang-orang dapat mengetahui hikmah Ilahi yang tersembunyi di balik itu. Rasul mendapatkan risah itu bukan hanya sekaligus. Dalam hal ini ada dua madzhab yang berbeda pendapat: Pertama, yaitu apa yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan Jumhur mengatakan bahwa yang dimaksud dengan turunnya ketiga ayat al-Qur’an itu sekaligus ke Baitul Izah dari langit dunia, disambut oleh malaikat, sudah itu baru diturunkan secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun, menurut kejadian-kejadian dan peristiwa semenjak meuhammad di angkat menjadi asul dampai wafatnya. Kedua, yaitu yang dikemukakan oleh Syu’biy, katanya, - dimaksud oleh ketiga ayat diatas tentang permulaan turunnya al-Qur’an itu kepada Rasulullah SAW. Mula-mula turunnya itu pada bulan Ramadhan, pada malam lailatul qodar, yaitu malam yang diberkahi. Seudah itu turunnya berangsur-angsur dan berturut-turut, bila ada kejadian atau peristiwa, dalam masa hampir selama dua puluh tiga tahun. Ktiga, al-Qur’an itu turun ke langit dunia sebayak dua puluh tiga kali malam qadar. Mlam qadar itu oleh Allah diturunkan tiap tahun. Jadi ada tiap-tiap tahun. Pada malm itulah al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah selama dua puluh tiga tahun. Madzhab ini berdasarkan tafsir hanya ijtihad tafsir tidak berdasarkan nash dari al-Qur’an dan hadist.
Hikmah al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur. Pertama, hikmahnya adalah menetapkan hati Rasul. Dakwah Rasul itu ditujukan kepada orang banyak. Diantara mereka itu terdapat orang-orang yang anti, dan orang-orang yang bersifat kasar serta bengis. Bangsa yang setengah biadab.mereka itu menentang dan menyakiti Nabi SAW. Kepada bangsa yang seperti itulah Nabi menyampaikan dakwah, menganjurkan kebaikan-kebaikan yang dibawanya dan merupakan risalah kerasulannya. Kedua, mengajak bertanding dan tidak sanggup melawannya. Orang-orang msurik semakin meningkatkan penganiayaannya, malah sudah sampai ke tingkat kurang ajar. Mereka menanyakan kepada Nabi SAW hal-hal yang ajaib, seperti hari kkiamat, tentang azab dan siksaan di akhirat. Ktiga, mudah menghafal dan memahaminya. Keempat, lalu-lintas peristiwa dan berangsur-angsur dalam Tasyri, orang orang ketika itu tidak tahu, karena mereka itu belum kuat untuk menerima agama baru ini, kalau tidaklah al-Qur’an bijaksana memberikan kepada orang itu obat yang dapat menyembuhkan dari penyakit yang mereka derita. Kelima, dalil qathi’ bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Allah.

BAB VIII
MENGUMPULKAN DAN MENYUSUN
AL-QUR’ANULKARIM

Dimasa Nabi masih hidup, maka tulisan al-Qur’an itu belum ada yang dikumpulkan orang pada mas-haf. Yang dimaksud dengan mengumpulkan al-Qur’an menurut pendapat Ulama, ada dua pengertian. Pertama, mengumpulkan dengan arti menghapal. Pengertian inilah yang yang terdapat dalam firman Tuhan dalam al-Qur’an dalam khitabnya kepada Nabi. Kedua, mengumpulkan al-Qur’an berarti menuliskannya al-Qur’an itu secara keseluruhannya. Memisahkan antara ayat dan surat, atau menyusun ayat-ayat saja.
Mengumpulkan al-Qur’an pada masa Abu Bakar, setelah Abubakar menduduki kursi khilafah, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka Abubakar menghadapkan perhatianya kepada peristiwa-peristiwa besar pada masa itu yaitu murtadnya sebagian orang-orang Arab. Seperti diketahui bahwa al-Qur’an itu telah ditulis orang sejak sebelumnya, yaitu pada masa Rasulullah asih hidup. Tapi masih tercerai berai, pada dinding-dingding, tulang-tulang dan pelepah tamar. Abubakar memerintahkan supaya dikumpulkan pada suatu mshaf. Disusun ayat-ayat dan surat-suratnya. Tulisannya itu ditetapkan, dalam hal ini meliputi huruf yang tujuh itu, yaitu dengan itulah al-Qur’an diturunkan. Abubakar adalah orang yang pertama mengumpulkan al-Qur’an dengan cara pada mashaf.
Ketika mushaf itu telah selesai, maka Usman menulis surat ke daerah-dae rah kerajaan, katanya, “aku telah memperbuat begini dan begini aku telah menghapuskan apa yang tidak pernah aku kerjakan, maka hendaklah kamu menghapus pula apa yang tidak kamu kerjakan”. Perbedaan antara yang dikumpulkan oleh Abubakar dengan dikumpulkan oleh khalifah Usman adalah penjelasan dari nash-nash bahwa mashaf yang dikumpulkan Abubakar berbeda dengan yang dikumpulkan khalifah Usman. Timbulnya pemikiran Abubakar untuk mengumpulkan al Qur’an itu adalah karena dia khawatir akan hilang al-Qur’an itu, karena orang-orang yang hafal al-Qur’an itu banyak yang mati dalam peperangan. Sedangkan pemikiran yang timbul dalam diri Usman karena banyak terdapat perbedaan dalam segi bacaan, ketika dia sendiri yang menyaksikan perbedaan ini di daerah-daerah kerajaan dan masing-masingny a itu salah.
Susunan ayat dan surat al-Qur’an ada yang pendek dan ada pula yang panjang. Ayat yaitu sejumlah perkataan Allah yang tersusun dalam al-Qur’anulkarim. Surat yaitu sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muthali’ dan muqathi’. Susunan ayat dalam al-Qur’an itu tauqifi (Rasulullah itu sendiri yang menentukannya). Sebagian orang mengatakan, untuk ini telah diadakan ijmak. Suyuti mengatakan “sidang ijmak memutuskan bahwa susunan ayat dan surat itu adalah tauqifi, bukan syubhah.
Susunan Surat, ada yang mengatakan bahwa susunan surat ini adalah tauqifiy, terserah kepada Nabi SAW menurut apa yang diberitahukan oleh ijbril tentang perintah Tuhannya. Ada pula yang mengatakan bahwa susunan surat itu berasalkan ijtihad sahabat. Alasannya ialah karena susunan mushaf itu berbeda-beda. Mushaf Ali susunannya itu menurut turunan ayat. Ada yang mengatakan bagian surat itu susunannya tauqifiya dan sebagian lagi adalah hasil dari ijtihad sahabat. Mereka mengemukakan bukti-bukti yang menunjukan bahwa sebagian surat-surat itu disusun di masa kenabian. Jumlah surat itu 114, ada yang mengatakan seratus tiga belas surat. Surat al Anfan dijadikan satiudengan surat Bara-ah, ada pun jumlah ayatnya enam ribu dua ratus (6200) ayat. Terjadi perbedaan pendapat tentang apa yang lebih dari itu, ayat yang paling panjang ialah ayat Addin, dan surat yang paling panjang adalah surat al-Bakharah.
Bentuk huruf al Qur’an sebagian orang berpendapat bahwa bentuk huruf usmani ini bagi al-Qur’an adalah tauqif (menurut Nabi SAW) oleh sebab itu harus digunakan dalam menuskan al-Qur’an. Menurut pendapat lain kebanyakan para Ulama, bentuk huruf Usmani bukan huruf tauqif dari rasulullah SAW. Tapi menurut istilah yang disukai oleh Usman dan disambut baik oleh orang banyak. Karena itu istilh ini sudah merupakan kepastian. Dalam memperindah huruf Usmani; mashaf-mashaf Usmani itu belum mempunyai titik dan belum empunyai baris. Hanya berpedoman kepada cara-cara yang baik bahasa Arab. Tidak memerlukan baris dengan harakat, dan tidak pula mempunyai titik. Setelah ucapan orang Arab mulai rusak, banyak bercampur aduk, maka timbulah pemikiran oleh orang-orang terkemuka dalam masyarakat untuk memperbaiki tulisan Mashaf, yaitu dengan memberi baris dan titik. Guna untuk menolong bagi bacaan yang baik.



BAB IX
TURUNNYA AL-QURAN ATAS TUJUH HURUF

Kata Abu Hatim Sajastani “al-Quran itu diturunkan dengan bhasa Quraisy, Hazil, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan bahasa Sa’ad bin Abu Bakar. Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum yang tujuh itu ialah bahasa Arab itu terdiri dari tujuh bahasa yang digabung menjadi saru, yaitu bahasa Hazil, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yamana. Semua bahsa itu berjalin menjadi satu, dengan inilah orang Arab ini berbicaraq sehari-hari dengan lancar.
Sebgian orang brpendapat, bahwa yang dimaksud dengan huruf tujuh itu ialah bentuknya yang tujuh, yaitu, amar, nahi, munkar, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amstal. Adan ada pula golongan orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan huruf tujuh itu yaitu bentuknya itu yang tujuh kali berubah yang jatuhnya berbeda-beda.
Hikmah turun al-Qur’an itu atas tujuh huruf yaitu, pertama, mudah membaqca dan menghafalnya bagi kaum yang asih buta huruf. Kedua, ‘ijaz al-Qur’an itu merupkan fitrah lughawi di kalangan orang Arab. Dari segala pihak suara al-Qur’an itu mencakup dan sesuai dengan lidah orang Arab menurut fitrah bahasa di tanah Arab. Tiga, ‘ijaz al-Qur’an itu terdapat dalam arti dan hukum. Dia dapat memutar balikan bentuk lafdziah pada bagian huruf dan kata-kata. Di samping itu menyimpulkan hukum-hukum yang oleh al-Qur’an dijadikan cocok bagi seluruh masa.

BAB X
QIRA AT DAN QURAK

Qira’at jama dari qira-ah. Asalnya dari qara-a menurut bahasa. Tapi menurut istilah ilmiah ialah salah satu tempat keluar ucapan kata dalam al-Qur’an. Azahibi menyebutkan adlam kitabnya “thabaqatul qirak, orang-orang yan terkenal sebagai ahli qira’at di kalangan sahabat Nabi SAW tujuh orang yaitu, Usman, Ali, Ubaiya, Zaid bin Tsabit, Abi Bakar, Abu Dardak dan Abu Musa Al Asy A’riy. Katanya selanjutnya, pernah Ubaiya membacakan kepada sahabat-sahabat Nabi yang lain, diantanya yaitu Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin Sa’id. Ibnu Abbas juga mengambil dari Zaid.
Pada masa tabi’in yaitu pada permulaan abad pertama di sini ada suatu kaum yang memusatkan perhatinnya kepada qira-at. Ketika itu ada anjuran-anjuran orang utnuk itu, orang menjadikannya sebagai ilmu, disamakan dengan ilmu-ilmu syaria’at lainnya. ketika itu imam-imam yang dijadikan orang sebagai ikutan. Ada di anatara mereka itu yang termashur, khusus dalam bidang qira-at. Pada periode berikutnya atau tujuh orang imam yang sangat terkenal. Kepada yang tujuh itulah yang menisbhkan qira-at itu sampai sekarang. Yang berada di Medinah yaitu Abu Ja’far Yazid bin al Qa’qa’. Sudah itu Nafi’ bin Abdurrahman. Kata sayutiy, orang yang pertama yang mengarang masalah qira-at ialah Abu Ubaid al Qasin bin Salim, sudah itu Ahmad bin Jubair Al Kufhiy dan seterusnya.
Macam-macam qira-at, hukumnya dan syarat-syaratnya, sebagian ulama menyebutkan bahwa qira-at ada yang mutawatir, ada yang uhad dan ada pula yang syzah (tidak sah sanadnya). Menurut orang banyak, yang mutawatir itu hanya tujuh. Yang uhad hanya tiga, dibulatkan kepada sepuluh. Ahli-ahli qira-at itu hanya dari golongan sahabat. Yang selebihnya kurang nilainya. Ada yang mengatakan yang sepuluh itu mutawatir ada puila yang mengatakan, inilah yang dipedomani. Sama saja, apakah dia salah seorang dari ahli qira-at yang tujuh orang itu, ataun yang sepuluh, satu lain dari itu.
Guna perbedaan pendapat tentang Qira-at yang sahih adalah petama, menunjukan keampuhan kitabullah dan mencegah dari bertukar letak dan perubahan-perubahan. Kedua, meringankan umat dan mudah membacanya dan ketiga ijazul Qur’an pada yang yang dii’jazkan. Buktinya tiap-tiap bacaan yang mengenai hukum syar’i, tanpa mengulang lafadz.
Wakaf (berhenti sebentar) dan ibtidak itu penting sekali dalam cara meghafal al-Qur’an dan untuk membetulkan arti-ayat, supaya jangan terjadi kesalahan-kesalahan. Untuk itu perlu dipelajari bahasa arab, ilmu qira-at dan tafsir al-Qur’an, supaya artinya itu jangan sampai salah. Dan tidak rigaukan lagi bahwa mengetahui wakaf dan ibtidak (memulai bacaan) itu ada faedahnya yaitu dalam memahami arti dan menyusun hukum-hukum.
Tajwid dan Adabut tilawa, Ibn Ma’ud adalah seorang qari yang bagus suaranya. Bagus tilawah al-Qur’annya, bacaannya yang baik itu berpengaruh kepada orang yangmendengarkannya dan kepada orang yang memahami arti al-Qur’an itu. Disinilah letak rahasia i’jaz al-Qur’an itu. Orang-orang yang mendengaran itu merasa tunduk dan patuh. Dan lawan-lawannya itu tidak kuat dan tidak kuasa melawannya. Bagi Ulama-ulama, baik yang dulu maupun yang sekarang, mereka bersungguh-sungguh dengan tilawatil al-Qur’an, sehingga ucapannya itu betul tidak salah. Untuk mengetahui ini ialah dengan tajwid.
Lagu dan macam-mcamnya ada beberapa golongan yaitu; attar’id yaitu suara orang yang membaca mengguruh, katanya seakan-akan orang mengigil lantaran kedinginan atau sakit. Terkhis, disini orang tidak mengeluarkan suara, dia hanya berdiam diri, sudah itu marah-marah sambil bergerak-gerak seolah-olah dia sedang menghadapi musuh, atau sedang berjalan cepat. Tathrib, yaitu melagukan al-Qur’an itu dengan suara merdu dan menyanyi dengan al-Qur’an. Dipanjangkan di tempat yang tidak panjang ditambah-tambah panjangnya itu, jika ada tanda panjang. Tahzin, yaitu bacaan itu dibiuat berbentuk sedih, hampir-hampir menyerupai menangis dengan cara menundukan kepala. Tardid, serombongan orang mendatangi orang yang sedang membaca al-Qur’an itu, diwaktu ia mengakhiri bacaannya itu maka disini dia salah membaca mengenai salah satu bentuki huruf itu.
Adab tilawah pertama, dalam keadaan berwudhu, karena membaca al-Qur’an itu termasuk zikir yang lebih afdol. Kedua, hendaklah berada pada tempat yang bersih, menghormati kebesaran al-Qur’an. Ketiga hendaklah membaca dengan khusunya tenang dan sopan. Keempat, hendaklah menggosok gigi sebelum memulai membacanya. Kelima, membaca a’uzubillah (berlindung kepada Allah) di waktu memulai. Keenam ,membaca bismillah pada tiap-tiap, selain dari surat Bara’ah. Karena ayat ini adalah ra-i yang kuat. Ketujuh, hendaklah bacaan itu tartila (dibaca dengan bacaan indah) huruf-huruf itu diberikan haknya, yaitu mad (tanda panjang) idgham (tanda dengung). Kedelapan, mmikirkan apa yang dibaca. Inilah yang penting dan inilah yang diharapkan. Sembilan, ayat-ayat al-Qur’an yang mengenai janji-janji dan ancaman itu berkesan. Kesepuluh, memerdukan suara dengan qira-at itu. Al-Qur’an itu merupakan perhiasan bagi suara. Kesebelas, hendaklah dijaharkan suara itu di wktu membaca, karena menjiharkannya itu lebih afdhol. Dua belas,dalam suatu diskusi pernah terjadi tanya jawab, manakah yang lebih baik bacaan pada mashaf dan bacaan pada zuhur qalbi?.
Mempelajari al-Qur’an dan menerima balasan jasa, mempelajari al-Qur’an itu hukumnya fardhu kifayah, sedangkan menghafalnya adalah wajib. Berturut-turut dan jangan sampai terputus menghafalnya itu. Kata Abu al Laisity dalam kitabnya Al Bustan dia berpendapat dalam mengajarkan al-Qur’an itu ada tiga cara: pertama, bagi orang yang berada (berkecukupan) orang ini boleh menerima bayaran. Kedua, mengajar dengan membayar. Ketiga, mengajar tanpa sarat.

BAB XI
QAWA’ID DIBUTUHKAN OLEH AHLI-AHLI TAFSIR

Qawa’d itu dibutuhkan oleh ahli-ahli tafsir untk memahami al-Qur’an itu. Memusatkan perhatian kepada qawa’id dan memahami asasnya. Merasakan lezat metode-metode yang dipergunakannya, mimikirkan rahasianya, untuk itu maka diberi pasal-pasal. Dahamir, dhamir qawa’id dalam bahasa arab itu disimpulkan oleh ahli bahasa dari al Qur’anulkarim dari hadist-hadist nabi, juga dari kata-kata Arab itu sendiri. Khitab dengan isim dan khitab dengan fi’il isim (kata benda) itu menunjukan tetap terus menerus. Fi’il menentukan tajdid (pembaharuan) dan hudus (bahara). Tempat keduanya inilah yng tidak memperbaiki keadaan. Athaf, ada tiga; 1. athaf kepada lafadz yang penting. 2. athaf kepada tempat, ini yang dibuat oleh kasa-i (seseorang ahli nahu). 3. athaf kepada ma’na (arti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar