SELAMAT DATANG

selamat datang di blog kami semoga anda dapat mendapatkan infomasi yang anda butuhkan, kami senang dapat membantu anda

Kamis, 24 Desember 2009

Analisis Puisi Zaman English Victorian; Telaah Struktur dan Tema (Pada karya : The Eagle by Lord Tennyson’s, Meeting at Ninght by Robert Browning’s,

A. Pendahuluan
Pada abad ke 19 Inggris terkenal dengan sebtan English Victorian karena pada masa itu merupakan abad bertahannya Ratu Victori (1837-1901). Sebagaimna zaman ini mempunyai ciri perubahan dibidang ekonomi, politik, sosial yang merupakan akibat Revolusi Industri1.
Pada pertengahan abad itu Inggris merupakan negar yang termaju dibidang industri di dunia, barulah setelah 1870-an beberapa negara lain seperti Amerika, dan Jerman merupakan saingan yang serius bagi Inggris. Segala aspek kehidupan pda zaman itu diwarni oleh mentalitas mereka yang terknal dengan sebutan “victorianism”, yaitu mentalitas yang bersifat kontrovensional dala pandangan-pandangannya mengenai moral, bernaluri cari untung, taat memajukan ibadah agama dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan sepanjang semuanya ini tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan usahanya. (Samekto, 1998:260)
Pada zaman ini industrilisasi berkembang sangat pesat dan mendrong pemerintah melakukan perubahan dalam demokratisasi sosial dan moral dalah satunya adalah memberikan hak yang sama kepada anak-anak Inggris untuk memperoleh pendidikan. Dan karena inilah yang menjadikan Inggris menjadi berkembang dibidang ilmu pngetahuan. Banyak ilmuan-ilmuan tercipta dari negeri ini dari ilmuan fisika, biologis, ilmu terapan, filsafat dan lain sebagainya. Hingga puncaknya pda zaman ini mempopulerkan nama ilmuan Darwin dengan teori evolusinya yang terdapat dalam judul buku The Origin Of Species.
Para sastrawan di zaman ini pun tak ketinggalan ambil andil dalam perubahan ini seperti alferd Lord Tennyson, Rudyard Kipling, Charles Dickens dan masih banyak yang lainnya. Mereka menginterpretasikan gambaran sosial, moral dan kehidupan sosisal masyarakat pada zaman victorian ini tentunya dengan gaya dan cara masing masing kedalam karya sastra.

B. Rumusan Masalah
Dalam analisis ini penulis menentukan permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pusi Inggris pada zaman Victorian secara struktur?
2. Bagaimanakah Tema puisi-pusi Inggris pada zaman Victorian?

C. Telaah puisi-puisi pada zaman victorian Pada karya : The Eagle by Lord Tennyson’s, Meeting at Ninght by Robert Browning’s, Longing by Mathew Arnold’s dan No Coward Soul Is Mine by Emily Brontë
1. Analisis Struktur
Kritik sastra memilki gaya dan ciri tersendiri dalam menelusuri ‘artifac’-nya. Halnya dalam analisis puisi terdapat khasanah yang luas dari semua kaidah-kaidah analisis puisi. Menurut Rene Wellek and Austin Warren, (1978:29) Fungsi alamiah sebuah analisis satra adalah sebuah kesinambungan dimana pusi berkaitan dengan alamnya setiap object atau clas dari objek adalah lebih efektiv dan rasional dipergunakan sebagaimana mestinya.
Wellek menambahkan untuk menganalisa sebuah pusi kita musti meganalisa berbagai macam karya dari berbagai cara atau methode : 1) irama, rithm dan meter 2) unit makna yang membuka sebuah makna dari gaya bahasa yang ditata secara sistematik. 3) imaginasi dan methaphore adalah sebuah pusat dari karya sastra 4) symbol dan system dari symbol yang dikenal dengan sebutan mytos. (1978: 57)


2. Analisis Tema
Menganalis tema dalam kajian sastra mungkin dapat didefinisikan sebagai satuan atau organisasi dari karya sastra sebagai pengaruh dari alur cerita fiksi (plot) atau main idea (eksposisi karya sastra) kata-kata juha kadang-kadang dipandang sebagai bentuk emosi atau jiwa dari karya sastra. Kajian struktur tema dalam kajian sastra adalah dikenal dengan metaphor yang melekat dalam topik dan emosional sebuah karya sastra yang mana mereka saling berkaitan satu dan lainnya dan menjadikan bangunan struktur yang utuh (Edgar V Roberts, 1964:131).
Berikut ini adalah mcam-macam analisis tema secara struktur puisi: Pertama, Logis cerita yang ditampilkan haruslah masuk di akal. Bagian awal dari cerita hingga akhir mustilah saling berkaitan dan dapat dicerna akal fikiran. Kedua, Kronologi ialah runtutan kejadian yang terdapat dalam cerita bik itu kejadian pada tempat dan waktu, simpelnya adalah sebab musabab itu terjadi karena ada motivasi dari satu lain hal yang menjadikan cerita berjalan hingga selesai itulah yang disebut kronologi. Ketiga, Konflik ialah adalah sebuah term yang terdapat pada puncak sebuah karya sastra yang mana akan menjadikan sebuah akhir resolusion sebuah karya sastra. Keempat, adalah macam-macam situasi dalam gaya karya sastra adalah bagaimana author membuat variasi dalam menciptakan suasana-suasana dalam karyanya. Seperti umur yang panjang, tempo permainan, berhasil dan gagal, berkembang, dan pada intinya adalah adany mutualisme antara kegagalan dengan toleransi.

ANALISIS SYMBOL DALAM “DILARANG MENCINTAI BUNGA-BUNGA” KARYA

A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi verbal yang tidak hanya bersifat universal, akan tetapi bahasa dapat menceriminkan segala sesuatu tentang perbuatan, tingkah laku dan budaya. Karena di dalam bahasa terdapat makna yang menunjukan sebuah ide dan aplikasi yang kesemuanya itu mencerminkan sebuah korelasi makna yang dapat dicerna oleh dirinya atau orang lain. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi; sebuah alat untuk menyampaikan sebuah ide dengan media tanda untuk menyampaikan sebuah pesan dari komunikan kepada komunikator. Sebuah puisi, cerpen novel dan lain sebagainya disampaikan dengan menggunakan bahasa. Selain memilki fungsi yang universal diatas bahasa juga sering digunkan menggambarkan sesuatu ide atau kejadian melalui symbol-symbol yang diinterpretasikan dalam bentuk bahasa verbal dalam berbagai media. Seperti halnya dalam dunia sastra bahasa digunakan bukan hanya alat penyampaian pesan saya akan tetapi bahasa digunakan sebagai unsur-unsur yang bermuatan symbol atau sesuatu yang mewakili sebuah pesan atau ide yang tersirat.
Menurut Northrop Frye (1975: 71). “Symbol, means any unit of any literary structure that can be isolated for critical attention. A word, a phrase, or an image used with some kind of special reference is all symbols when they are distinguishable elements in critical analysis”. Symbol adalah sebuah alat yang digunakan oleh banyak orang untuk mewakilkan suatu ide atau pesan dengan gambar atau kata untuk mewakilkan sebuah konsep lain.
Dalam bahasan makalah ini saya tertarik dengan sebuah karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” sebuah cerita pendek karya.... alasan yang kuat bagi saya untuk menganalisi karya ini adalah setelah membaca karya diatas, ternyata saya menemukan banyak symbol yang digunakan oleh author dalam menulis cerpennya tersebut. Jelas, dalam point pembahasan saya akan mengurai symbol-symbol yang terdpat dalam karya diatas tentunya dengan berbagai pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan atau konsep author dalam karya diatas di sampaikan kepada pembaca dengan berbagai symbol atau gambar lain yang mewakilkan ide yang ia ingin sampaikan. Seperti dikatakan oleh Chadwick (1971: 2-3) dia telah mendefinisikan Symbol: “ Symbolism can therefore be defined as the art of expressing ideas and emotions not by describing them directly, not by defining them through over comparisons with concrete images, but by suggesting what these ideas and emotions are, by re-creating them in the mind of the reader through the use of unexplained symbols”. Hemat saja, saya menyimpulkan bahwa symbol adalah sebuah term yang dapat mewakilkan sebuah ide, pesan emosional kepada sebuah perwakilan gambar atau kata yang menunjukan kepada sesuatu yang lain atau sebuah makna. Makna dan pesan itu tidak digamblangkan langsung secara jelas termaksud tapi dibuat bentuk-bentuk atau gambar-gambar lain, bahwasanya itu menjelaskan tentang makna dari sebuah pesan yang ingin disampaikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan fokus dibahas dalam analysis ini adalah berbagai symbol dan makna atau pesan yang terdapat dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”. Berikut dibawah ini rumusan masalah yang akan dibahas:
1. Bagaimana sinopsis cerita “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
2. Apa saja symbol yang terdapat dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
3. Apa makna yang terdapat dalam symbol-symbol dalam karya karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
C. Tujuan Analisis
Analisis ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir studi pada mata Introduction to Litterary Analisis. Akan tetapi bukan hanya untuk memenuhi tugas saja, analisis ini diharapkan menarik minat untuk peneliti lain umumnya mahasiswa sastra khususnya penulis dalam kajian symbol dalam sebuah karya sastra. Karena analisis symbol adalah sebuah analysis yang mendasar dalam kajian sastra yang apabila hal itu ditempuh maka analisis tentang symbol akan memberikan sumbangan besar bagi siapa pun baik itu sebagai referensi atau inspirasi bagi kita untuk menelorkan sebuah karya sastra.
D. Pembahasan
1. Sinopsis “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Diceritakan sebuah keluarga yang terdiri dari tokoh Ayah, Ibu dan seorang anak laki-laki. Mereka baru pindah dari desa kekota, karena ayahnya mendapatkan pekerjaan di kota menjadi seorang mekanik pada sebuah bengkel. Buyung adalah nama anak laki-laki itu, dia adalah anak laki-laki yang normal seperti anak-anak lainnya. akan tetapi tiba-tiba dia menjadi anak yang aneh dikeluarganya karena dia menjadi anak laki-laki yang tidak seperti biasanya pada anak laki-laki lainnya. Buyung menyukai bunga setelah ia bertemu dan bersahabat dengan seorang kakek tua. Bersama kakek tua itu dia diajarkan sesuatu tentang kedamaian dan kesempurnaan. Buyung menjadi tidak menyukai ayahnya kaerna ayahnya sangat membenci dengan apa yang ia lakukan dengan bunga-bunga itu. Ayahnya ingin buyung menjadi lelaki yang tidak suka berdiam diri di kamar dan bergaul dengan bunga-bunga. Ayahnya ingin Buyung menjadi seorang lelaki yang bekerja yang dengan tangannya dapat merubah dunia dan menjadikannya bekerja dan terus bekerja. Sementara itu ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang juga sebagai guru ngaji yang mengajari buyung mengaji setiap sore. Buyung merasa tertekan saat penolakan dan tentangan dari ayahnya dengan apa yang ia lakukan dengan bunga-bunga yang ia pelihara di kamarnya. Dan dia membenci Ayahnya sangat benci dan menjadikan ayahnya menjadi seorang yang menakutkan dalam fikirnya. Disela-sela benci dan sedihnya itu dia mendapatkan banyak jawaban atas segala tekanan yang ada bahwa dia tidak boleh menangis dan arogan karena itu semua adalah kesesesatan (seperti apa yang diajarkan oleh kakek tua itu). Diakhir cerita Buyung di bimbing oleh ayahnya digiring menjadi seorang anak lelaki yang menggunakan tanggannya untuk bekerja bukan untuk menyiram bunga dan berdiam diri di kamar. Dan di akhir paragraph dia mengatakan “Bagaimanapun, aku adalah anak ayah dan ibuku”
2. Symbol-symbol pada karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka point penting yang akan dibahas disini adalah symbol apa saja; maksudnya symbol tu digunakan dan diterapkan atas objek apa dan mewakilkan apa? Menurut Guth (1997:189), symbols are images that have a meaning beyond themselves. Symbol is a detail, a character, or an incident that has a meaning beyond its literal role in the narrative. In order to fully respond to a story, it is necessary to become sensitive to symbolic overtones and implications. Dalam ungkapannya itu kita bisa menaggkap sebuah makna atau ide di dalam symbol yang diterapkan kepada bentuk gambar, setting, , charakter, bentuk narasi dalam sebuah cerita menjadi simbol-simbol yang mengimplikasikan sesuatu. Untuk lebih jelasnya maka kita dapat melihat symbol-symbol yang diterapkan digunakan kedalam bentuk lain dan lebih jelasnya dibawah ini klasifikasi symbol-sybol tersebut:
Tabel daftar symbol yang digunakan dalam
“Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Symbol Keterangan
Desa Setting
Kota Setting
Pintu Pagar Properti
Rumah Kakek Place
Bengkel Place
Ayah Character
Kakek Character
Tangan Alat
Bunga Benda/tumbuhan

3. Makna symbol dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Pada point sebeumnya telah di uraikan symbol apa saja yang terdapat dalam “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” dan dalam symbol itu terdapat makna yang mewakilkan sebuah ide atau pesan. Seperti apa yang dikatakan oleh Dadan Rusmana, (2004; 50) makna konvensional dari sebuan makna dari hubungan sebuah sybol adalah seperti apa yang dikatakan oleh Pierce,bahwaa sign atau symbol had memiliki dua dasar prinsip atau dua aspek, yaitu Representative and interpretative. Representative adalah sign yang merepresentasikan dari sebuah substitusi atau hal lain, sedangkan interpretative adalah sebuah situasi dimana sign dibubuhkan untuk supaya pembaca dapat menginterpretasikan maknanya sendiri masing masing. Dengan demikian maka pemaknaan terhadap symbol-symbol yang ada dalam “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” akan di di uraikan pada tabel dibawah ini:
Representative Symbol Interpretative Symbol
Desa Masa depan suram, malas-malasan, dan pengangguran. “Benar, di desa kita banyak tetangga, tetapi mereka membuat banci, pikiran. Dan itu ayah tidak suka”
Kota Pusat pekerjaan, menggairahkan memberi semangat dan kesibukan. “bukan main senang hati ayah, mendapatkan kerja di kota. Ayah sibuk dengan pekerjaan, karena malas adalah musuh terbesar laki-laki”
Pintu Pagar Sebuah sinekdok yang menyimbokan wajah kakek tua, dengan melihat pintu pagar saja para tetangga seakan melihat sosok seorang kakek, karena ia jarang keluar rumah dan rumahnya di tutup penuh oleh pagar tembok. Jadi pintu pagar adalah perwakilan dari sosok character kakek tua, “Kepada pintu pagar itu aku tersenyum”
Rumah Kakek Tua Tempat yang memisakan dari bisingnya kota dan tempat yang paling tenang dari semua rumah yang ada, selain itu adalah symbol misterius karena rumah itu tidak nampak dari luar, “Rumah ini,” katanya, “sebagian kecil dari sorga”.
Bengkel Hiruk-pikuk, nafsu, dunia laki-laki, kerja, kesibukan lelaki di dunia dan kesempurnaan laki-laki ketika bekerja disana, “Ayah”, aku bertanya, “kenapa tidak mencari hidup sempurna?” Ayah berhenti. Menatap aku. Ia melihat mataku. “ya”, katanya. “aku mencari itu, buyung”. “di mana dicari, yah?” “dalam kerja.” “ya. Tetapi dimana?” “Dibengkel, tetu”.
Ayah Ambisius, Keras, tegas, kasar, kotor, kerja, dan diktator, “aku mulai segan bertemu dengan Ayah. Seperti ada orang lain dalam rumah bila ayah di rumah. Kehadiran ayah menjadikan aku gelisah. Pasti, ayah akan datang dengan baju gemuk. Kotor, seluruh badan berlumur minyak hitam. Bungkahan-bungkahan badan menonjol. Terasa rumah menjadi bergetar oleh kedatangan Ayah. Kadang kulihat ayah menggosokan tangan kotor itu pada dagu ibu, ibu tersenyum, sementara aku sangat kasihan.”
Kakek Misterius, ketenangan/ketentraman hati , ilmu kese-mpurnaan, dan pengucilan. ”tentu saja akutahu. Kau ank baik, cucu. Karena mata batinku lebih tejam dari mata kepalaku.” Aku mulai tentramduduk di sampignya. Tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan.”
Tangan Tangan untuk mengubah dunia. Simbol kekuasaan untuk merubah dunia dan membuatnya berkembang dan terus berubah sepanjang masa. “engkau mesti bekerja, sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun. Gedung didirikan, sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti, mesti, Buyung. Lihat tanganmu! Ayah meraih tanganku. “untuk apa tangan ini, heh?” aku berpikir sebentar, “untuk apa tangan ini buyung?” tanya ayah mengulang. Kemudian aku menemukan jawaban. “kerja!” kataku.
Bunga Ketenangan,Budi, kesempurnaan, kedamaian, dan keindahan. “Aku punya banyak bunga disini. Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai angkrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya.”

E. Kesimpulan
Berdasarkan judul “dilarang mencintai bunga-bunga” dengan cepat kita bisa menagkap kata “bunga-bunga” yang mana bukan kata “bunga”. Bunga-bunga itu menyimbolkan rumah kakek tua yang di dalam rumahya dan dipekarangnya terdapat bunga-bunga. Sementara itu berlawanan dengan cerita dari awal; diceritakan keluarga Buyung berserta ayah dan ibunya pergi kekota adalah untuk bekerja dan menjadi orang sibuk. Bukan untuk menjadi kakek tua itu yang tinggal dirumah dan duduk termenung dengan bunga-bunga itu. Ayah dan ibunya khawatir kalau Buyung tumbuh dan berkembang menjadi orang yang tidak “berguna”, yang hanya duduk diam dan sehari-harinya menyiram bunga.
Diparagraph selanjutnya hingga sampai akhir cerita pada cerita “dilarang mencintai bunga-bunga” Character Buyung dihadapkan dengan dua pilihan yaitu “ketenangan dengan bunga” atau menjadi “orang sibuk dengan kerja”. Dengan pilihan itu maka munculah symbol-symbol yang digunakan author untuk memperkomplek dua pilihan tersebut. Symbol yang dihadirkan berupa character, benda (bunga) dan alat (tangan); dan kesemuanya itu dijelaskan sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Bunga menjadi symbol kedamaian, ketenangan dan kesempurnaan dalam hidup; karena bunga terjauh dari hiruk-pikuk dunia dan nafsu keinginan untuk menguasai dunia. Sedangkan symbol yang centere dan dominan kuat berlawanan dengan bunga adalah bengkel. Symbol bengkel di uraikan menjadi sesuatu yang dapat menjadikan dunia berubah dari masa kemasa. Alasannya bengkel adalah tempat dimana semua pembangunan diseluruh dunia berawal.
Hemat saya pandangan tentang symbol bunga dan bengkel adalah bunga digambarkan menjadi sesuatu yang “statis” sedangkan bengkel disimbolkan menjadi sesuatu yang “dinamis”. Saya berandai-andai bagaimana jika character si kakek tua itu digantikan oleh character lain misalkan diganti dengan karakter Anak muda atau seorang gadis, maka ceritanya tidak menjurus kepada perdebatan antara masalah bunga dan bengkel. Karena saya yakin dari awal cerita sudah dijelaskan bahwa mereka berhijrah dari desa ke kota adalah untuk bekerja dan bekerja. Dan faktanya kakek tua adalah simbol pensiun dan sudah tidak produktif. Jadi tidaklah pantas menurut ayahnya seorang anak kecil banyak bermain dan duduk-duduk dengan seorang kakek, mestinya ia harus sekolah, mengaji dan bekerja untuk mendapatkan kepuasan duniawi.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat di simpulan akhir dari tulisan ini adalah bagaimana kita dapat melihat seorang author dalam menjelaskan sebuah pilihan, apakah bekerja atau duduk diam diri di kamar dengan dunia sendiri?. Juga ada kritik sosial kota pula mengisi rentetan cerita “dilarang mencintai bunga-bunga” adalah suasan kota yang bising dan ambisius penuh nafsu. Yang menjadikan para pembaca karya ini sadar bahwa dibalik hiruk-pikuknya dunia ini masih ada ketenangan atau surga kecil, yaitu taman bunga yang menyegarkan dan menenagkan.

F. Daftar Pustaka

- Chadwick, Charles.1971. Symbolism. USA: Metheun
- Dadan Rusmana. 2004. Madzhab dan Pemikiran Semiotika Kontemporer dari Semiotika Struktural hingga Dekontruksi. Bandung: Tazkiya Press
- Frye, Northrop. 1975. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton, New Jersey: Princeton University Press
- Guth, Hans P. and Gabrielle L. Rico. 1997. Discovering Literature: Stories, Poems, Plays. Englewood Cliffs: Blair Press Book

STRUKTUR NARASI DALAM PUISI SISTER HELEN KARYA DANTE GABRIEL ROSSETTI

A. Latar Belakang Masalah
Puisi memilki ragam gaya dan cara untuk memikat pembacanya, karena itulah puisi disebut eksotik text (teks yang menakjubkan). Dalam bentuknya puisi kadang terdapat narasi atau alur cerita yang meliputi intro, starting point hingga ending atau resolusi. Kali ini dalam makalah yang penulis akan bahas adalah bagaimana sebuah puisi dapat di konstruksikan menjadi sebuah plot yang teratur secara inti dari isi puisi itu. Mungkin secara kontektual puisi dapat diterima dengan dangkal bahwa stanza pertama hingga stanza akhir dapat diwakilkan dengan keindahan kata yang dipilih untu mewakilkan ide sang author. Akan tetapi ada hal lain yang lebih menarik khususnya bagi penulis adalah mengkonstruksikan alur puisi yang alurnya tidak beraturan atau bahkan tidak pada tempatnya, biasanya tersirat dengan symbol dan perkiraan atau praduga pembaca saja bahwa jalan puisi itu berjalan seperti itu.
Menurut Chatman (1980:22-45), cerita disebut sebagai isi, sedangkan wacana disebut ekspresi. Baik cerita maupun wacana, masing-masing terdiri atas bentuk dan substansi. Dalam bentuk terkandung motif-motif (event) dan eksistensi, yang masing-masing berisi aksi dan kejadian (happening) serta tokoh dan latar. Jadi jika puisi dibuat dengan bentuk bertautan dari satu stanza dengan stanza lain yang mana itu saling berkaitan antara tokoh ini dan itu, maka narasi musti di bangun menjadi bangunan yang utuh yaitu jalan cerita yang ber-alur yang mana menampakan adanya sebab akibat.
Yang terjadi pada pusi Sister Helen ini konstruksi plot dalam narasinya tidak secara langsung diungkapkan kepada pembaca bahwa di stanza pertama adalah starting point tapi gaya yang digunakan agalah gaya yang unik, bisa saja alur ceritanya dikatakan alur mundur atau dari tengah ke depan lalu kebelakang atau dari semua arah. Inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengangkat tema penarasian alur cerita dalam puisi Sister Helen.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan masalah dalam pembahasan makalah kali ini adalah bagaimana struktur narasi yang dibagun dari deretan stanza pada puisi Sister Helen karya Dante Gabriel Rossetti?
C. Pembahasan
Seperti yang dikatakan Gerard Genette (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2007:252), menbedakan cirri-ciri naratif menjadi tiga sisi, yaitu: histoir, recit dan narration, yang sejajar dengan story, narrative, dan narrating. Menurutnya histoir adalah perangkat pristiwa, sebagai isi naratif, recit adalah wacana atau teks naratif itu sendiri, sedangkan narration adalah tindak naratif yang menghasilkan teks.
Adalah recit yang akan mendominasi analisis ini, bagaimana cerita yang sebenarnya atau kejadian pertama yang akan dikonstruksikan menjadi story. Dalam puisi Sister Helen terdiri dari 42 stanza dengan banyak repetition atau pengualangan kata yang sama pada tiap stanzanya akan tetapi ada kata-kunci dari slipan pengulangan kata-kata itu terdapat cerita yang dinarasikan. Pengulangan kata-kata di setiap stanzanya yaitu; kata “sister Helen”, “little Brother” dan kata “between hell and heaven”. Maka penulis akan mengungkap alur cerita yang tersirat dalam puisi ini kedalam tiga unsure yanitu Eksposisi, Playmax/konflik, dan resolusi, yang tidak secara langsung oleh Dante Gabriel di susun teratur di awal stanza hingga akhir stanza.
1. Eksposisi/starting point
Cerita ini dimulai menurut recit naration adalah bermula dari seorang kesatria dari Eastholm yang ditangkap bersama saudaranya dia dihadapkan dengan sebuah ancaman atas keselamatan saudaranya dan sebuah pilihan yang menjadikan ia mesti meninggalakan kekasihnya adalah desakan dari Dark Lady yang tidak menghendaki Kesatria itu berhubungan dengan Sister Helen.
190 "Oh he prays you, as his heart would rive,
191 Sister Helen,
192 To save his dear son's soul alive."
193 "Fire cannot slay it, it shall thrive,
194 Little brother!"
195 (O Mother, Mary Mother,
196 Alas, alas, between Hell and Heaven!)
..................
260 "They have rais'd the old man from his knee,
261 Sister Helen,
262 And they ride in silence hastily."
263 "More fast the naked soul doth flee,
264 Little brother!"
265 (O Mother, Mary Mother,
266 The naked soul, between Hell and Heaven!)

Kesatria itu telah mengecewakan Sister Helen; Sister Helen dia menganggap kesatria itu telah pergi bersama dengan perempuan lain untuk menikahinya. Kejadiannya adalah tiga hari kebelakang; tiga hari tiga malam lelaki itu meninggakan Helen dan menikahi perempuan lain.
92 "Three days ago, on his marriage-morn,
93 Sister Helen,
94 He sicken'd, and lies since then forlorn."
95 "For bridegroom's side is the bride a thorn,
96 Little brother?"
97 (O Mother, Mary Mother,
98 Cold bridal cheer, between Hell and Heaven!)
Lalu kesatria itu jatuh sakit dan menderita karena kutukan dan sumpah serapah yang dikeluarkan oleh Sister Helen. Selama tiga hari tiga malam kesatria itu tidak bersama istrinya atau orang lain kecuali dia telah berbohong dengan menikahi orang lain karena Dia sangat menderita dan menjadikannya terkena penyakit yang sangat parah dan mematikan,
99 "Three days and nights he has lain abed,
100 Sister Helen,
101 And he prays in torment to be dead."
102 "The thing may chance, if he have pray'd,
103 Little brother!"
104 (O Mother, Mary Mother,
105 If he have pray'd, between Hell and Heaven!)

2. Konflik
Kesatria berfikir bahwa dia akan segera mati dan oleh karena itu walaupun ia tengah sakit dan mendekati ajalnya dia berusaha pergi mendatangi Sister Helen, untuk meminta maaf dan menjelaskan semua yang terjadi sebenarnya. Saat dia pergi untuk menemui Sister Helen Kesatria Eastholm itu di kejar oleh dua penunggang kuda dari tangan kanan Dark Lady mereka tidak menginginkan Kesatria itu dapat bertemu dengan Helen.
78 "He has made a sign and called Halloo!
79 Sister Helen,
80 And he says that he would speak with you."
81 "Oh tell him I fear the frozen dew,
82 Little brother."
83 (O Mother, Mary Mother,
84 Why laughs she thus, between Hell and Heaven?)
Litle Brother menceritakan kejadian yang tidak pernah diketahui oleh Helen bahwa Kesatria itu tidak pernah menghianati cintanya. Dia pergi bersama orang lain untuk menikahinya adalah akal-akalan dark Lady yang tidak menginginkan Helen dapat bersatu dengan Kesatria itu.
204 "A lady's here, by a dark steed brought,
205 Sister Helen,
206 So darkly clad, I saw her not."
207 "See her now or never see aught,
208 Little brother!"
209 (O Mother, Mary Mother,
210 What more to see, between Hell and Heaven?)

211 "Her hood falls back, and the moon shines fair,
212 Sister Helen,
213 On the Lady of Ewern's golden hair."
214 "Blest hour of my power and her despair,
215 Little brother!"
216 (O Mother, Mary Mother,
217 Hour blest and bann'd, between Hell and Heaven!)
3. Resolusi
Kesatria itu terus memohon dan meminta supaya Helen memaafkannya dan mau bertemu dengan Helen. Akhirnya Kesatria itu mati dan tersungkur di jalanan di samping towe dimana Helen dan Litle Brother berada. Menyadari hal itu Helen menyesali dirinya dan pergi menemui Kesatria itu dan sadar bahwa kekasihnya telah mati akhirnya dia pun mengakhiri hidupnya dengan melenyapkan segala harap dan asa yang ada.
176 "He looks at me and he tries to speak,
177 Sister Helen,
178 But oh! his voice is sad and weak!"
179 "What here should the mighty Baron seek,
180 Little brother?"
181 (O Mother, Mary Mother,
182 Is this the end, between Hell and Heaven?]
...........
197 "He cries to you, kneeling in the road,
198 Sister Helen,
199 To go with him for the love of God!"
200 "The way is long to his son's abode,
201 Little brother."
202 (O Mother, Mary Mother,
203 The way is long, between Hell and Heaven!)
..........
288 "Ah! what white thing at the door has cross'd,
289 Sister Helen?
290 Ah! what is this that sighs in the frost?"
291 "A soul that's lost as mine is lost,
292 Little brother!"
293 (O Mother, Mary Mother,
294 Lost, lost, all lost, between Hell and Heaven!)
Cerita diatas diceritakan oleh Litle Brother kepada pembaca bahwa puisi itu menceritakan tentang dua kekasih yang dipisahkan yaitu tentang kakanya yang bernama Helen dengan Kesatria dari Eastholm. Jadi Kesatria, Sister Helen, dua horseman dan dark lady adalah history. Sedangkan yang menceritakan semua kejadian itu adalah Litle Brother sebagai narrator.
E. Kesimpulan
Banyak puisi yang berisifat cerita, baik itu cerita panjang yang disingkat kedalam alusi atau imagery yang menjadikan cerita yang komplek dapat di wujudkan kedalam teks hanya dengan beberapa stanza saja. Puisi pada jaman dahulu dipercaya sebagai mantra atau pujian-pujian pada suatu hal yang kramat. Tapi sesuai dengan perubahan waktu pusi digunakan oleh orang-orang untuk mengenang perjalanan hidup seseorang atau riwayat, kisah perjalanan, dan kisah-kisah kehidupan lainya. Hal yang biasa kita temukan dalam puisi yang berisikan tentang sebuah cerita perjalanan kehidupan seseorang atau sebuah kejadian atau tragedy itu bisanya dapat dimengerti dengan cepat karena susunan kronologis dalam puisi itu dibuat logis dan teratur.
Akan tetapi adakalanya hal itu tidak menjadi hal yang musti patokan dalam menciptakan puisi karena pada hakikatnya puisi adalah hasil imaginasi dan karenanya itu imaginasi bersifat bebas dan tidak mengenal aturan atau baying-bayang aturan yang baku. Dia akan mengekspresikan apa saja yang dia kehendaki. Seperti pada Puisi sister Helen sekilas puisi ini adalah sebuah cerita dua orang perempuan yang bercengkrama disebuah tempat dekat jendela dan menyaksikan banyak hal. Akan tetapi ternyata obrolan mereka mengalusikan semua kejadian tiga hari kebelakang saat mereka bercengkrama di dekat jendela itu.
Dan recit yang terdapat dalam narasi ini mengungkapkan apa saja yang telah terjadi selama tiga hari hingga kejadian dimasa lampau itu berkaitan dengan apa yang sedang mereka lihat pada waktu itu. Jika kita lihat urutan stanza yang menunjukan runtutan cerita diatas adalah sangat tidak beraturan starting point berada di stanza 28 dan disambung agi ke stanza 38 dan selanjutnya urutan stanza tidak menjadi ukuran bahwa letaknya musti ditaruh diawal puisi atau tidak yang mesti pembaca tahu adalah keindahan imaginasi dalam menceritakan sebuah tragedy adalah harus indah dan menarik dengan menyamarkan kronologis dengan alusi-alusi atau penyimbolan kepada symbol lain
.
D. Daftar Pustaka
Kutha Ratna, Nyoman. 2007, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,Pustaka Pelajar. Yogyakarta

KONSEP PENYATUAN DIRI DENGAN TUHAN DALAM PUISI HUSWIFERY KARYA EDWARD TAYLOR

A. Latar Belakang Masalah
Tuhan, sebuah kata yang mewakili sejumlah muatan yang tidak terhingga luas dan banyaknya. Dialah yang menjadikan ada menjadi tiada, menjadikan tiada menjadi ada dan kuasanya yang luas tidak dapat ditapaki oleh manusia dan makhluk apapun, karena manusia atau makhluk adalah jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan sehingga manusia dan makhluk lain hanya akan tergumpal dengan debu-debu yang menyertai jalan yang telah dibentangkan Tuhan itu. Sejak jaman purba manusia telah percaya bahwa ada kekuatan lain diluar kuasa panca indra yaitu kekuatan gaib. Dan kekuatan gaib itu kuasanya tidak dapat terlepas dari segala urusan dan langkah manusia. Kekuatan gaib itu sangat agung dan penuh misteri.
Menurut Aristoteles, dalam proses perubahan yang bergerak dari materi menuju forma, mengandaikan adanya forma terakhir yang tidak dapat “dikeruhkan” lagi dengan materi (tidak dapat menjadi materi yang baru). Inilah forma terakhir (actus purus). Kalau demikian halnya, maka harus ada pula penggerak pertama yang tidak digerakkan. Penggerak pertama itu adalah forma yang tak bermateri; tujuan tertinggi yang menyebabkan semua gerak. Boleh disimpulkan bahwa seluruh kenyataan bergerak antara dua kutub abstrak yaitu materi yang tak berbentuk dan forma yang tak bermateri. Di sinilah kita dapat menyebutnya Tuhan. Tuhan ini tidak bermateri, hanya kenyataan atau realitas saja. Ia juga roh murni (nous); pikiran semata. Ia tidak dapat memikirkan dunia; hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan ia puas dengan dirinya sendiri, tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia. Aristoteles sama sekali tidak mengenal Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tuhannya adalah Tuhan para filsuf dan bukan Tuhannya Abraham, dan sebagainya.
Berbagai cara dilakukan oleh manusia dimuka bumi ini untuk mengagungkan Tuhan dengan ritual, pemujaan, puisi, syair, cerita bahkan berbagai pengorbanan sebuah kehidupan, demi untuk mencapai kepada Tuhan. Seperti apa yang dilakukan oleh Edward Taylor dia menggunakan imaginasinya dalam membuat penyembahan untuk mencapai kuasa tuhan dan sederet kebahagiaan untuknya melalui puisi yang ia buat. Adalah Huswifery sebuah pusi yang ia tulis untuk memuja Tuhannya dengan berbagai metaphor dan berbagai symbol ia gunakan demi untuk mengagungkan Tuhannya itu.
B. Rumusan Masalah
Setelah menguraikan sekilas tentang Tuhan dan penghambaan dari para makhluknya, maka penulis dalam hal ini merumuskan sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam analysis puisi Huswifery karya Edward Taylor ini adalah bagaimana konsep yang di hadirkan melalui symbolisasi penyatuan diri dengan Tuhannya dalam puisinya itu?
C. Pembahasan
Acapkali ketika penulis menuliskan tentang Tuhan, biasanya menempatkan Tuhan kepada Tempat yang menakjubkan atau mulia. Seringkali penulis melupakan existensi dirinya secara logika demi sebuah pemujaan terhadap Tuhan dari apa yang ia tetapkan, atau yang disebut dengan takdir. Kemanusiaan berada dalam akhir sudut spektrum yang mana terjadi perang dalam jiwa spiritualnya semisal apa yang di sajakan oleh Anne Breadstreets dalam The Flash and The Spirit.
Sehubungan dengan kegiatan analysis puisi ini kegitan berfikir dari author yang menjadikan puisinya ini merupakan objek untuk dikaji dalam pemaknaanya. Dikatakan oleh Aminuddin, (2003:58) Adalah author menggunakan bahasa yang juga digunakan dalam pengolahan pesan lewat bahasa atau enkoding, penyampaian pesan atau koding dan pemahaman pesan atau decoding dapat dipetakan kedalam proses pembuatan pesan yang akan disampaikan kepada pembaca sebagai satu kesatuan yang utuh. Apa yang membuat Pusi Edward Taylor menjadikan sebuah puisi meditasi yang unik, adalah sebuah hubungan fisik dunia atau eksistensi kemanusiaan yang dalam antara dirinya dengan Tuhan. Dalam penyatuan Tuhan kedalam tubuhnya Taylor dia mengawinkan secara bersamaan antara manusia dan dzat Tuhannya. Dalam pemujaanya kepada Tuhannya dian menjadi apa saja yang nelekatkan dirinya dengan Tuhan tanpa rasa malu atau rendah diri.
Dalam puisinya Huswifery taylor taylor merujuk kepada perbuatan manusia yang paling mendasar seperti pekerjaan yang biasa dikerjakan dirumah dan sebagai domestik adlah perempuan pemintal kain yang dijakian metaphore oleh Taylor. Sebuah konsep yang mendasar dari diri manusia yaitu tentang menutupi dirinya dengan kain dan bukan hanya itu akan tetapi kain yang menutupi tubuh pun memberikan makna dan nilai itnggi untuk pemakainnya.
Pusi ini yang menjadikan puisi yang tidak seperti biasanya Taylor menjadikan dirinya seperti perempuan yang memintal pakaian untuk majikannya 徹 Lord, thy Spinning Wheel complete_ (1). Dengan puisi ini dia telah berhasil melenyapkan sebuah ikatan gender; dalam artian dia tidak mewajibkan dirinya menjadi pemintal laki-laki tapi perempuan, lah yang ia jadikan dirinya seperti apa yang biasanya pemintal adanya. Bahkan ia menjadikan Tuhan menjadikannya sebagai sebuah alat pemintal dan larut kedalam pemintalan kain tersebut.
Dalam memulai pemintalan serat yang ia gulungkan kedalam alat tenun, taylr meminta kepada Tuhannya untuk membimbingnnya dengan kata-kata bijak atau ilham untuk menuntunnya baik dalam perkataan dan perbuatan menjadikan dia orang yang shaleh. Penggulungan serat yang baik dan hati-hati serta luwes pada pemintal tersebut adalah maksudnya ia ingin diputarkan atau dijalankan oleh Tuhan dan menjadikan perwatakannya yang penuh kasih sayang menyatu dalam segala perbuatannya, seperti pada baris 2-3 dibawah ini:
2 Thy Holy Worde my Distaff make for mee.
3 Make mine Affections thy Swift Flyers neate

Dalam roda pemintal terdapat spool atau kumparan yang mengatur baik lebar atau ramping, tebal atau tipisnya hasil pemintalan, maka disini ia ingin Tuhan menjadikan jiwanya sebagai spool yang dapat istiqomah atau exist berada dalam keadaan yang stabil dan konsisten dalam memegang doktrin atau kepercayaanya terhadap Tuhan. Setelah menjadi kumparan atau spool lalu ia pun menjadikan kata-katanya seperti gulungan serat yang akan dikeluarkan lewat spool tersebut lalu tersirkulasi dalam putaran roda tenun hingga menjadikan ia ada dalam koridor atau dalam putaran yang diberkati oleh Tuhan
4 And make my Soule thy holy Spoole to bee.
5 My Conversation make to be thy Reele
6 And reele the yarn thereon spun of thy Wheele.

Lalu setelah proses penennunan selesai Taylor beranjak kepada helayan kain yang sudah jadi lembaran kain. Ia meminta kepada tuhannya memberikan sebuah keindahan-keindahan syurga yang diwakilkan dengan sebuah metaphor warna-warna syurga. Metaphor ini mewakilkan corak warna yang tiada di dunia dan hanya ada disurga dikerenakan Taylor percaya bahwa keindahan syurga adalah keindahan yang sejati dan tinggi diatas keindahan-warna warna yang berada didunia ini. Setelah kain itu diwarnai dengan warna-warni syurga maka Taylor menambahkan kain itu dengan gembar bunga yang hanya ada disyurga karena itu dia yakin pula bahwa bunga syurga adalah bunga yang tiada tanding dengan bunga yang ada didunia ini. Ini mennyiratkan bahwa ia menginginkan dirinya yang telah diciptakan oleh Tuhan sebagai manusia memilki sikap dan budi pekerti yang indah dan mulia melalui ilham atau bimbingan yang diberikan Tuhan kepadanya, seperti pada baris puisi dibawh ini:
7 Make me thy Loome then, knit therein this Twine:
8 And make thy Holy Spirit, Lord, winde quills:
9 Then weave the Web thyselfe. The yarn is fine.
10 Thine Ordinances make my Fulling Mills.
11 Then dy the same in Heavenly Colours Choice,
12 All pinkt with Varnisht Flowers of Paradise.

Pemintalan serat telah menjadi kain dan kain telah di warnai dengan warna-warni syurga serta gambar bunga syurga. Selanjutnya Taylor menjadikan dirinya menjadi sebuah pakaian yang agung adalah jubah yang besar dan anggun. Dengan jubah itu dia telah di cover segala fikiran, perbuatan, dan perkataan dengan indahnya penampilan atau menjadikannya menjadi sosok yang menawan dan patutu untuk menjadi figure atau tauladan bagi siapapun yang melihatnya. Dengan jubah itu Taylor melambangkan bahwa Glory atau kebahagiaan yang tiada terkira adalah sebuah hadiah yang sangat nilai tingginya dari Tuhan. Seperti apa yang ditulisnya pada stanza terakhir dibawah ini:
13 Then cloath therewith mine Understanding, Will,
14 Affections, Judgment, Conscience, Memory
15 My Words, and Actions, that their shine may fill
16 My wayes with glory and thee glorify.
17 Then mine apparell shall display before yee
18 That I am Cloathd in Holy robes for glory.

D. Kesimpulan
Banyak orang percaya dengan menggunakan pakaian yang baik, bersih dan indah adalah memberikan sebuah kepercayaan diri yang tinggi. Pun Taylor dengan puisi ini ingin dirinya menyatu dengan segala keindahan, kekuasaan dan semua yang ada berada pada Tuhan melekat pada tubuhnya dan jiwanya. Ini diluar koridor analisa dari penulis bahwa nama Taylor mungkin berasal dari kata tailor yang artinya penjahit. Apakah hanya dugaan penulis saja tidak tau tau benar adanya mungkin Edward telah dijuluki seorang penjahit “Taylor” dengan puisi ini.
Simbolisasi dalam puisi ini Taylor memberikan metaphor dengan menjadikan dirinya seperti rajutan yang dibuat untuk menjadi jubah keagungan sebagai alat kekuasaan Tuhan. melalui puisinya juga dia melakukan periode atau tahapan penjernihan yang mana dia menyakan kepada Tuhannya untuk menyucikannya dan menjadikan Tuhan sebagai pusat segala hidupnya.
Nada puisi ini adalah nada penuh pengharapan dan penerimaan sebuah masa depan karena dia menantikan Tuhannya untuk menggunakan dirinya untuk tujuannya dan membalut dirinya dengan jubah ke jayaan.

E. Daftar Pustaka

- Aminuddin, 2003, Semantik; Pengantar Studi Makna, Sinar Baru Algesindo, Bandung.
- http://pormadi.wordpress.com/2006/05/17/konsep-tuhan-menurut-aristoteles/
- Taylor, Edward. "Huswifery." The Norton Anthology American Literature. Ed. Nina Baym, et al. Shorter 2nd Ed. Vol. 1. New York: Norton & Company, 2008.

STUDY SYMBOL DALAM PUISI NO COWARD SOUL IS MINE KARYA EMILY BRONTE

A. Latar Belakang Masalah
Menurut Fiske dalam Bukunya Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (2004) Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda yang pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu, yakni objeknya . Pun dikatakand oleh Richards lewat segi tiga dasar yang telah diperkirakan dalam bukunya, The Meaning of Meaning, (1923), seperti pada gambar dibawah ini:

Dari bagan berupa segi tiga itu dapat diketahui bahwa pikiran sebagai unsure yang mengadakan signifikasi sehingga menghadirkan makna tertentu, memilki hubungan langsung dengan reference atau acuan. Gagasan itu pun memilki hubungan langsung pula dengan symbol atau lambang . Pierce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian yaitu: ikon,indeks,simbol yang disebut tipologi tanda.
Dalam hal ini adalah Simbol, sebagai tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran. Lampu lalu lintas adalah simbol, warna merah berhenti, hujau berarti jalan, palang merah adalah simbol yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaraan melalui konvensi atau aturan dalam kebudayaan yang telah disepakati. Katagori-katagori tersebut tidaklah terpisah dan berbeda. Satu tanda bisa saja kumpulan dari berbagai tipe tanda.
Berbicara soal ymbol pada pusi adalah Figurative language berperan penting dalam hal membandingkan dan mewakilkan objek kepada tanda lain berupa smile atau methaphore yang biasanya kita jumpai pada puisi yang menyimbolkan sesuatu kepada sesuatu yang lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas penulis dalam hal ini akan menguraikan dan menelaah berbagai symbol yang terdapat dalam Puisi No Coward Soul Is Mine karya Emily Bronte maka dibawah ini adalah formulasi atau rumusan masalahnya:
1. Simbol apa saja yang digunakan Emily Bronte dalam Puisi No Coward is Mine?
2. Makana apa yang terkandung dalam symbol-symbol yang digunakan oleh Emily Bronte dalam Puisi No Coward is Mine?
C. Pembahasan
3. Symbol-symbol yang terdapat dalam Puisi No Coward Soull Is Mine karya Emily Bronte
Dalam Puisinya yang terdiri dari tujuh stanza dan perbaitnya terdapat empat line baris yang mana dari seluruh baitnya terdapat beberapa Objek atau subyek yang dijadikan sebuah symbol, dan diantara symbol-simbol itu adalah sebagaimana tertera dalam table dibawah ini:
Symbol Interpretasi Makna
Strom Strom-troubled dapat diartikan sebagai dosa yang membuat manusia menjadi takut akan sebuah ancaman di masa yang akan datang
Heaven Sebuah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Tuhan di alam lain setelah dunia
Boundless Sebuah pengakuan terhadap kuasa yang tidak dapat ditandingi oleh kuasa apapun
Rock Sebuah kekuatan yang sangat tidak terbatas dan sangat kuat melebihi kerasnya batu
Embracing love Malu mengatakan cinta karena merasa tidak sempurna dalam pembuktian cintanya kepada Tuhan.
Eternal Years Waktu yang takterbatas atau abadi
Earth and man Kuasa laki-laki yang bercokol di muka bumi, bukanlah suatu kuasa yang abadi
Atom Sesuatu urusan terkecil yang ada didunia ini
Breath Kehidupan

4. Makna yang terkandung dalam penggunaan Symbol-symbol dalam Puisi No Coward Soull Is Mine karya Emily Bronte
Pusi yang menceritakan sebuah perasaan jiwa puisi ini terdapat konsep tentang Tuhan didalamnya, melalui rangkian deskripsi tentang dirinya (narrator puisi), dan bagaimana yang lainnya berhubungan kembali dengan dirinya, suatu konsep tentang kematian dan keyakinan. Bronte dalam hal ini adalah bertujuan untuk mengekpresikan pikirannya tentang Tuhan, Seperti yang dia tampilkan pada dirinya sebagai orang pertama (subyek), dan semua perkara berhubungan dengan dirinya, seperti kematian dan keyakinan.
Pada garis pertama dalam sajak, “no coward soul is mine” juga termasuk kedalam puisinya itu menyimbolkan kedekatan dari puisinya itu sendiri dan menyampaikan perasaan dari sebuah refleksi dan kebutuhan dari sebuah ekspresi. Bronte membutuhkan untuk mengungkapkan kepada dunia bahwa dia adalah tidak berdaya, dan ini di lakukannya dalam versi puisinya ini.
Nada dalam puisi ini adalah sebuah pantulan, dari seluruh keinginannya yang besar. Bahasa yang digunkannya adalah bahasa emosional atau suara hati yang kuat tentang kesia-siaan atau tidak berharha ketika dia menceritakan yang lain. Penggunaan kata-katanya dalam konteknya adalah aktraktif, indah dan efektif. Bronte membicarakan tentang sesuatu yang mana dimaksudkan kepadanya. , “…thou art Being and Breath”, dan menggunakan bahasa yang indah dalam menyampaikan sebuah makna.
Bronte juga menggunakan banyak pencitraan image yang kuat, “Storn-Troubled Sphere,” dan “suns and universe seased to be,” dalam menceritakan Tuhannya. Imaginasi ini minumbulkan sebuah perasaan yang kuat pada setiap pembacanya, sebuah hubungan emosional kedalam sebuah kontek pusi, walaupun dengan hubungan yang simple dalam keyakinannya.
Mengajak kepada yang lain trlibat dalam ungkapan-ungkapan melalui simple metaphor dalam puisnya. “So surely anchored on. The steadfast rock of immortality”. Petikan pusi ini adalah untuk menyanjung Tuhan dalam seluruh puisinya. Bronte membandingkan Tuhan kepada sesuatu yang kuat seperti batu yang kokoh, atau seperti kepada segala yang meliputi langit dan bumi. Matahari dan seluruh jagat raya berada dalam genggamannya. Dalam setiap baris puisi ini tidak terlepas dari campur tangan Metaphor seperti smile. Penggunaan kata “as” adalah sebagai partikulasi smile disini dugunakan sebgai kalimat yang menjadi nada indah, juga mengekspresikan sebuah kontemplasi kesombongan para laki-laki. Struktur pusi ini sanagat konserpativ, yang mana penyadaran yang baik dalam isinya.
Pusi yang trwujud kedlam tujuh stanza dengan empat bait perstanzanya, yang mana pada setiap baris kedua pada rima, kecuali pada baris pertama, bait ketiga dari syair keempat dan ke enam, tapi ini menimbulkan lebih dari sekedar dari disain yang dibutuhkan. Pergerakan pusi dari satu kata ke kata yang lain sunguh baik, walaupun tanpa rhima dan ini mengalir dalam setiap kata-kata yang dilontarannya.
Berikut ini adalah sebuah tambahan analysis dari beberapa pengulangan-pengulangan alliteration, seperti pada couplet pertaman, “No coward soul is mine, No trembler in the world’s storm-troubled sphere”. Kutipan ini adalah untuk menguatkan consep, dalam hal ini bahwa bronte tidaklah lemah. Juga pada couplet pertama adalah sebuah contoh cabang judul yang menarik dari alitrasi pada hal ii adalah sebuah kata “s” adalah suara yang lembut. ini menjadikan apa yang sebaliknya pada image badai yang menyeramkan. Lebih jelasnya penggunaan alitrasi pada couplet paling terakhir. ”Since thou art Being and Breath” menciptakan sebuah perasaan kerinduan akan keingin tahuan pada sesuatu.
D. Kesimpulan
Menyambungkan sesorang untuk mencitrakan Tuhan, Bronte dalam hal ini ia telah berhasil dalam menyampaikan sebuah simpati kepada para pembaca bahwa para pembaca pun juga musti memikirkan konsep tuhan mereka sendiri. Dalam symbol-symbol yang digunakan bronte adalah proses imagery-nya yang kuat sehingga dirinya soul is mine menghubungkan sebuah keterikatan dengan Tuhannya.
Menurut Edgar V. Roberts (1964:143) “imagery is a broad term referring to the verbal comparison of one or many object, ideas, or emotional states with something else”. Imagery adalah sebuah garis penghubung dari sebuah perbandingan berbagai obyek, gagasan, atau keadaan emosional dengan yang lain. Secara umum author menggunakan Imagery untuk menimbulkan respon dari pembaca sesuai dengan imaginasi dan pengalamannya. Mungkin Imagery dapat dikatakan pula sama dengan analogy atau pengkiasan sesuatu dengan sesuatu yang pernah di ketahui sebelumnya. Seperti mengkiaskan kegetiran cinta dengan peristiwa bencana alam seperti gempa atau angin topan, atau mewakilkan keindahan, kecantikan dan perempuan dengan bunga mawar.
Penggunaan Imagery salah satu solusi ketika kita ingin menjelaskan sesuatu yang mungkin orang belum tahu tentang itu, akan tetapi kita mencoba mnyampaikannya dengan analogy-analogy yang pada umumnya mereka sudah tahu. Imagery adalah sesuatu yang penting dalam imaginative writing karena pada prakteknya sebuah karya sastra bersifat imaging something to the other extent; karena begitu luasnya material yang disampaikan maka imagery adalah tolak ukur untuk kita menemukan sebuah pesan yang terseirat dalam struktur karya sastra tersebut
B. Daftar Pustaka
- Aminuddin, 2003, Semantik; Pengantar Studi Makna, Sinar Baru Algesindo, Bandung.

- Edgar V. Roberts. 1964 Writing Theme About Litterature. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliftfs, USA.

- Fiske, Jhon. 2004. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Jalasutra.Yogyakarta

STUDY FIGURATIVE LANGUAGE DALAM PUISI

A. Latar Belakang Masalah
Pusi adalah sebuah term yang didalamnya terdapat beberapa jenis atau tipe seperti sonnet, lyric, ballad, song, ode, drama, epik dan drama monolog. Pada dasarnya puisi adalah sebuah luapan ekspresi dari sebuah emosional jiwa. Pusi biasanya berwujud stanza (paragrap) dan cantos (chapter) yang didalamnya terdapat macam-macam struktur variasi seperti rhyme, metter, imagery, allegory, figurative language dan lain sebagainya.
Dari keragaman itu puisi dikenal dengan kata Defamiliarization atau ketidak biasaan dalam penggunaan struktur kalimat yang biasa digunakan sehari. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2005:7) puisi adalah “mengekspresikan pemikiran yang mengembangkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan seuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan”.
Unsur-unsur dalam puisi sangatlah luas salah satunya dikenal sebuah unsure majas, kiasaan atau figurative language. Unsure kiasan ini adalah bahasa yang digunakan untuk memberikan perhatian kepada siappun yang menjadi pelaku sastra baik author atau reader. Tujuannya adalah selain menjadikan puisi lebih menarik dan variatif juga memberikan gambaran dari interpretasi imajinasi yang ada. “Biasanya bahasa kiasan mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup” (R. Djoko Pradopo, 2005:62). Banyak ragam bahasa kiasan Figurative language dalam pusi diantaranya Smile, Metaphor, Conceit, Synecdoche, Metonimy dan personifikasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasatkan latar belakang maslah diatas mengenai Figurative Language yang membahas tentang majas-majas atau kiasan maka penulis merumuskan masalah diatas dengan pertanyaan, bagaimana unsur-unsur Figurative language dalam Puisi?
C. Langkah Penelitian
Dalam penelitian teks puisi kali ini akan terdapat uraian macam-macam Imagery yang akan di klasifikasikan dengan kelasnya masing-masing, untuk lebih jelasnya dapat diperagakan dengan skema penelitian di bawah ini:
















D. Pembahasan
1. Unsur Figurative Language dalam puisi
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai suatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970:15). Figurative language terdiri dari smile, metaphor, Synecdoche, Metonimy dan Personifikasi.
A. Simile
Simile adalah adalah perbandingan yang menggunakan kata “seperti” atau “bagaikan” (Edgar V. Roberts,1964:146).
Berdasarkan pendapat diatas kita dapat memahami klasifikasi pertama dari figurative language adalah smile yang selalu menggunakan kata perbandingan atau perumpamaan. Kata kiasan ini adalah kata as, like, yang sederhana atau umumnya sering digunakan dalam sajak, prosa dan aktivitas sastra lainnya. Dibawah ini contoh Smile dalam sajak Goblin Market karya Christina Georgina Rossetti:
One tramped at a rat's pace,
One crawled like a snail,
One like a wombat prowled obtuse and furry,
One like a ratel tumbled hurry-scurry.
Lizzie heard a voice like voice of doves
Cooing all together:
………..
Laura stretched her gleaming neck
Like a rush-imbedded swan,
Like a lily from the beck,
Like a moonlit poplar branch,
Like a vessel at the launch
When its last restraint is gone.

Kata like diatas membandingkan atau mengumpamakan sebuah act Laura ketika menegadahkan lehernya kepada beberapa perumpamaan, seperti melentungnya leher angsa, bunga bakung dan perumpaman lainnya.
Contoh laninnya dalam The Rubiyat of Omar Khayam karya Edward Fitzgerald:
I sometimes think that never blows so red
The Rose as where some buried Caesar bled;

Seperti bunga rose yang di umpamakan berada di atas kuburan Ceasar yang berdarah.
XXXI
Into this Universe, and Why not knowing,
Nor Whence, like Water willy-nilly flowing:
And out of it, as Wind along the Waste,
I know not Whither, willy-nilly blowing

Perumpamaan ketidak pedulian terhadap alam semesta yang memberikan pengetahuan yang di kiaskan dengan air Willy-Nilly yang mengalir, begitu saja berlalu dan tidak dipedulikan.
B. Metaphor
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, yang tidak menggunakan kata-kata perbandingan, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya, metofora itu membandingkan sesuatu dengan perantara benda yang lain (Becker, 1978:317). Jelasnya adalah mewakilkan sebuah obyek dengan obyek lain tanpa menggunakan kata yang biasa digunakan smile, bisa dengan menggunakan kata “adalah” atau deskripsi objek tersebut. Seperti pada sajak To My Dear and Loving Husband karya Anne Bradstreet:
My love is such that rivers cannot quench,
Nor ought but love from thee, give recompense.
Thy love is such I can no way repay,

Cinta yang dibandingkang dengan sungai yang tidak memuaskan rasa dahaga, dan cinta di dibandingkan atau diumpakan seperti sesuatu yang tidak dapat dibayar.
I know, and they know me—
I feel for them a transport
Of cordiality

Dia menggambarkan dirinya seperti alat penghantar penyambung bagi orang lain.
C. Metonymy
Metonimy adalah berupa atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut, (Altenbernd, 1970:21) ini dapat di misalkan seperti Presiden yang identik dengan Istana Bogor. Dalam puisi A Narrow Fellow In The Grass karya Emily Dickinson kita dapat melihat metonymy tersebut.
Have passed, I thought, a Whiplash
Unbraiding in the Sun

Pusi ini mewakilkan sebuah pecut atau cameti yang sekilas jika dilihat seperti ular kata Whiplash adalah metonymy dari the snake. Contoh lainnya dalam karya The Eagle karya Lord Tennyson:
He watches from his mountain walls
And like a thunderbolt he falls

His mountain walls adalah perwakilan dari hidung atau paruh dimana ia melihat menerabas paruh/hidungnya yang mancung seperti gunung.
D. Synecdoche
Synecdoche adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970:22). Jadi synecdoche itu dapat diatakan salah satu jenis metaphor; yaitu sesuatu yang kecil mewakilkan sesuatu yang besar seperti mewakilkan manusia dengan batang hidungnya saja. Dibawah ini adalah contoh synecdoche dalam puisi Huswifery karya Edward Taylor .
My Words, and Actions, that their shine may fill
My wayes with glory and thee glorify.

Dalam stanza ini kata dan perbuatan mewakilkan sebuah kejayaan dan kata ‘kata’ dan ‘perbuatan’ mewakilkan seluruh anggota badan manusia.
Elizabeth B Browning dalam sonnet 43
With my lost saints-I lobe with the breath,
Smiles, tears, of all my life-and, if God choose,
I shall but love thee better after death

Senyum ‘smile’ dan tangis ‘tears’ mewakilkan semua perasaan yang ada dalam kehidupan
E. Personifikasi
Personifikasi itu merupakan majas yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia. (Rachmat Djoko Pradopo, 2005:75). Seperti burung yang bernyanyi atau daun daun yang bergoyang, majas ini sebuah bahasa sastrawi yang menjadikan semua obyek bebas ber interpretasi. Personifikasi dapat kita lihat dalam puisi Sister Helen karya Dante G. Rossetti
"Oh the wind is sad in the iron chill
Puisi ini mengandaikan sebuah angina yang sedih karena panasnya cabai.

Puisi The Eagle: A Fragment karya Alfred; Lord Tennyson
He claps the crag with crooked hand
Close to the sun in lonely land

Puisi ini menyebutkan sebuah pulau yang kesepian lonely land atau pulau mati bisa pula diartikan sesuatu yang besar tetapi tiada arti.
E. Kesimpulan
Figurative language adalah sebuah majas yang mengatur struktur kata menjadi sangat komplek dan variable. Memilki banyak makna dan konotasi kepada makna lain yang kesemuanya itu tergantung kepada interpretasi pembaca.
Penggunaan majas dalam pusi seperti simile, metaphor, metonimy, sinedoche dan personifikasi semuanya adalah majas perwakilan atau perbandingan, dengan sifat dan ragam yang berbeda baik sederhana atau berlebih-lebihan. Dari kesemua perbandingan itu dapat kita amati bahwa figurative languge berperan dalam puisi sebagai ajang deskripsi sesuatu dengan yang lainnya atau memaknai makna denotasi dan konotasi. Bahkan kita dapat mendapatkan sebuah informasi tentang sebuah puisi itu dibuat dilihat dari deskripsisi sesuatu pada saat tertentu, misalkan majas metonimy pada kata “resletingnya terbuka-tak tertutup” bisa menandakan seseorang yang pelupa atau dia lupa karena tergesa-gesa. Atau kita mengetahui kapan puisi ini diceritakan; misal kita membaca puisi yang terdapat majas synecdoche menyebutkan ‘kerah kanji’ adalah deskripsi kemeja yang rapih yang di strika dengan menggunakan tepung kanji agar terlihat rapi dan keras, dan itu adalah deskripsi era tahun 70-an, dimana orang untuk merapihkan bajunya agar nampak lebih elegan dengan menambahkan tepung kanji saat menyetrika pakaiannya.
Jadi dengan figurative language kita dapat menyebutkan sesuatu yang simpel atau kompleks kedalam kata-kata yanglebih indah dan buas. Seperti halnya sebuah ukiran atau lukisan yang menggambarkan burung cendrawasih dengan deskripsi dan cara atau style yang berbeda itu akan memberikan kesan yang berbeda pula.
Daftar Pustaka

Altenbernd, Lynn dan Lislie L lewis, 1970. A Handbook for the Studyof Poetri. London: Collier-MacMillan Ltd.

Becker, A.L. 1978, Lingustik dan Analisis. Jakarta Panitia Pelaksana Penataran Sastra, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Edgar V. Roberts. 1964 Writing Theme About Litterature. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliftfs, USA.

Rachmat Djoko Pradopo, 2005, Pengkajian Puis: analisis strata norma dan analisis structural dan semiotiki, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

The Norton Anthology; Of English Literature, Seventh Edition, Norton & Company, Inc USA.

THEME ANALYSIS IN ANITA DESAI “PIGEONS AT DAYBREAK “ PAPER

Final Test Assignment of Survey Modern British
By:
Dedi Suhendar
204102322

A. Background of Problem
Literary work is the imaginative writing in the sense of fiction writing that is literally true (Eagleton, 1997:1) argues in this critic. Nevertheless, subsequently Eagleton states if literature is creative or imaginative writing, does this imply that history, philosophy and natural science are uncreative and unimaginative. This question remarkably turning him out to the statement as Roman Jacobson did.
Henceforth, literature has a limitation to be scrutinized and analyzed. Since the abstractable meaning, which are held by literature, its specified by it self and differ from ordinary language itself as a peculiar way of communication. Literature has it genre consist of there mainstream poetry, fiction, and drama as Robert DiYanni said , (2004:XXXVIII) “Literature: Approaches to fiction, poetry and drama examines literature as a significant reflection of life and an imaginative extension of its possibilities; it emphasizes the reading of literature as an active enterprise involving thought and invoking feeling”. The writer then will focus on the fiction actually theme of story devices concerning the paper purposes.
We read stories largely for the emotional and intellectual pleasure they bring us, the pleasure of being surprised or disturbed by an unexpected turn of events or of being satisfied as our expectation are met. Well-told stories involve us emotionally in the live of their character. They provide us with pleasure of recognition in the world they portray and in the behavior of the character who inhabit them. According to J.B. Gordon and Karen Kueher, (1999:VI) “Stories can simultaneously convey experiences both individual and universal. Universal experiences are those that would be familiar to people from any period of time and in any country. They include being part of family, growing up, finding one’s place in the world, falling in love, overcoming obstacles, and/or accepting success or failure”.
The word theme denotes the central idea of serious fictional works such as novels, plays, poem, or short stories. Theme is an author’s insight or general observation about human nature or human condition that is conveyed through character, plot, and imagery.
Support on the previous statement, the writer decides to analyze the elements of the story theme, then this paper entitled Theme Analysis in Anita Desai “Pigeons at Daybreak “.
B. Formulation of Problem
Base on the background above, appear some of problem that can be formulated through research questions as follow:
1. What the biography of Anita Desai
2. How the summary of Pigeons at Daybreak story?
3. What The Theme in Anita Desai “Pigeons at Daybreak”?
C. Analysis
1. Biography of Anita Desai
Born to a German mother and an Indian father on June 24, 1937, Anita Desai spent much of her life in New Delhi. Growing up she spoke German at home and Hindi to friends and neighbors. She first learned English when she went to school. It was the language in which she first learned to read and write, and so it became her literary language. When asked why English remains her literary language, she said, "I think it had a tremendous effect that the first thing you saw written and the first thing you ever read was English. It seemed to me the language of books. I just went on writing it because I always wanted to belong to this world of books".
Desai received a BA in English Literature and graduated with honors from the University of Delhi. She started publishing her work shortly after her marriage to Ashrin Desai on December 13, 1958. Desai is part of a new literary tradition of Indian writing in English which dates back only to the '30s or '40s. She explains that this is because "at one time all literature was recited rather than read and that remains the tradition in India. It is still rather a strange act to buy a book and read it, an unusual thing to do" (CLC). Her new style of writing is also different from that of many Indian writers, as it is much less conservative than Indian literature has been in the past. For these reasons, she says, she is not widely read in India, mainly in Indian universities if at all. Throughout her novels, children's books, and short stories, Desai focuses on personal struggles and problems of contemporary life that her Indian characters must cope with. She maintains that her primary goal is to discover "the truth that is nine-tenths of the iceberg that lies submerged beneath the one-tenth visible portion we call Reality". She portrays the cultural and social changes that India has undergone as she focuses on the incredible power of family and society and the relationships between family members, paying close attention to the trials of women suppressed by Indian society.
Desai is praised for her broad understanding on intellectual issues, and for her ability to portray her country so vividly with the way the eastern and western cultures have blended there. She has received numerous awards, including the 1978 National Academy of Letters Award for Fire on the Mountain, the first of her novels to be brought to the United States. The story is of a remote, isolated woman and her equally withdrawn great-granddaughter as they are forced together in hills surrounded by violence and fire. In 1983 she was awarded the Guardian Prize for Children's Fiction for The Village by the Sea, an adventurous fairy tale about a young boy living in a small fishing village in India. She was awarded the Literary Lion Award in 1993, and has also been named Helen Cam Visiting fellow, Ashby fellow, and honorary fellow of the University of Cambridge. In addition to her writing, Desai has raised four children: Rahul, Tani, Arjun, and Kiran. She has been a member of the Advisory Board for English, and of the American Academy of Arts and Letters, as well as a Fellow of the Royal Society of Literature. She has also worked as an educator at colleges including Mt. Holyoke, Smith, and Girton College at Cambridge University.
2. Summary of “Pigeons at Daybreak” by Anita Desai
In the short story of pigeons at daybreak I read a story about character, who is Mr. Basu has been suffering for a number of years with a multitude of physical and emotional problems that often plague the asthma, depression, and failing eyesight. His wife, Otima, is the loving, understanding, but totally exhausted caregiver. As the story proceeds, Otima reads aloud from the newspaper that there will be a planned power outage that night. Basu responds with an asthmatic attack, fearing the hot night to come with no electric fan to move the air. Otima decides they will sleep outside, up on the terrace.
Basu is no more comfortable on the roof and the night is spent in agony. At one point, he remembers bringing his grandson up to see the collectors pigeons on the neighbor's rooftops . This memory fills him with emotion. Remembering the sense of wonder that the boy had is a wonderful feeling but Basu is also saddened by the passage of time. Still unable to sleep, his discomfort too much, Basu says his grandson's name over and over to himself, like a prayer or mantra. At daybreak, Otima goes downstairs to get Basu some iced water and discovers the electricity is back on. She runs back up to the terrace to help him down so he can sleep in his own bed for a while. He refuses saying it is cooler up there now and tells her to leave him alone
The story ends with him laying "flat and still, gazing up, his mouth hanging open" and the pigeons hurtling upwards against the "dome of the sky, opalescent, sunlit, like small pearls". They turn into crystals, then prisms of light, then disappear into "the soft, deep blue of the morning."
3. The Theme in Anita Desai “Pigeons at Daybreak”
The theme was a psychology suffering’s husband kept by his wife most loyalty even in the world. Pigeon at daybreak is a story of the valetudinarian psychology of Mr. Basu he has been suffering from the ailment of asthma for so long. His wife, Otima Basu. Is highly devoted and sincere. Otima has to attend to all real and imagined problem of her husband in addition to all her tiring daily domestic chores. A very committed and obedient lady as Otima is, she never harbors any grudge or any complain against her husband. On receiving the information that there would be an electric breakdown the whole night. She tends him well and when her husband’s breathing problem increase, she carries him to the roof-top, where Mr. Basu is scared of his quarrelsome neighbor. Throughout the night, Otima massages Basus’s body and there is some cool breeze also. This brings Basu’s some respite. Pigeons fly at the daybreak. And the flight of the pigeons also bring a temporary respite for Mr. Basu “then, with a swirl and further of feather, a folk of pigeon hurled upward and speared out against the dome of the sky-opalescent, sunlit, like small pearls (…), then they disappeared into the soft. Deep blue of the morning (P.228).
In fact, Otima knows the psychology of her husband well, even the slightest occasion enhances her husband’s problems to the extent that Otima find it extremely difficult to deal with these weak moment of her husband. “She knew how rapidly he would advance from imagined breathlessness into the first frightening stage of a full-blown attack of asthma” (P.223)
D. Conclusion
Precisely, this short story is a psychological story dealing with the imagined problem of an asthmatic patient like Mr. Buse. This story also tells how a patients wife like Otima tends her husband well. Pigeons figure in the story as emblems of peace and liberation. At the time of daybreak, the pigeons like other bird flutter in the air feeling free liberated and happy. Mr. Basu usually sleeps at the daybreak getting a temporary respite from the night’s suffocating air and physical groaning. Dwelling upon a very commonplace life situation, Anita has raised a very serious question of an honorable existence being buffeted by such a predicament as that of Othima.
E. Reference

Anita Desai. 1978. Game at Twilight and Other Stories. Penguins. London.

Diyanni, Robert. 2004. Literature; Approaches to Fiction, poetry, and Drama. McGraw-Hill Company, New York.

Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory, an Introduction. Basil Blackwell Publisher Limited. England.

Frye Northop, 1973. Anatomy of Criticism, Princeton University Press. America

J.B. Gordon, Karen Kuehner.1999. FICTION The Element of The Short Story. McGraw-Hill Company. USA.

Griffithsm, Sian. ed. 1996. Beyond the Glass Ceiling: Forty Women Whose Ideas Shape the Modern World. Manchester: Manchester University Press,

Resume : The Norton Introduction To Literature SHORTER EIGHTH EDITION

The Norton Introduction To Literature
SHORTER EIGHTH EDITION

Paul Hunter, Jerome Beaty, Alison Booth, Kelly J. Mays, W.W. Norton & Company Inc. London, 8th Ed. 1973. (1781 pages)
Summarized By Dedi Suhendar 204102322 Student of English Departemnt Adab Faculty and Humanity UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2009

FICTION

Plot
Plot Simply Means the arrangement of the action, n imagined event or a series of such events. Conflict a struggle between opposing force, and it often falls into something like the same five parts that we find in play: exposition, rising action, turning point (or climax), falling, conclusion. Exposition, introduce the character, situation, and time. Rising action, events that complicate the situation and intensify or complicate the conflict or introduce new ones. The Turning Point or climax of the action is the third part of the story, the appearance of the storyteller. The forth act named falling Action. Conclusion, the point at which the situation that was established at the beginning of the story become stable once more. The history has been structured into plot.

Narration and point of View
Narrative, unlike drama, is always mediated. In narrative, someone is always between us and the event-a viewer-, a speaker, or both. The Viewing aspect is called the focus; and the verbal aspect the voices, both are generally lumped together in the term point of flew. The teller of a story or novel-the voice that speak all the words we read in it-is called the narrator. First of view may be limited to a first-person narrator. Sometime such a narrator addresses an auditor, an audience within the fiction whose possible reaction is part of the story. When we resist a narrator’s point of view and judge his or her flaws or misperception, we call that narrator unreliable. Many narrative, from novels to short stories to film, focus on a centered or central consciousness, filtering thing, people, and events through an individual character’s perception and responses. Its is more prudent, therefore, especially on the basis of single story, to speak not of the author but of the author persona, is the voice of figure of the author who tells and structure the story, who may not resemble in the nature or values the actual person of the author. Character; someone who act, appears, or is referred to as playing a part in a literary work. The most common term for the character with the leading male role is hero, who opposes with him called the villain, and the leading female character is the heroine. Heroes and heroines are usually larger than life, stronger or better than most human being, almost godlike. Antihero he opposes the hero because he is not heroic in structure or perfection, is not so clearly or simply or we call it protagonist, who’s opponent with the antagonist. The major or main character are those we see more of over a longer period of time we learn more about them, and we think of them as more complex and, therefore frequently more “realistic” than the minor character, the figures who fill out the story. An influential critic say are round character, whereas character that, are not very complex and do not change in surprising ways, are flat. Characterization the art, craft, method of presentation, or creation of fictional personage-involves a similar process, character are almost inedibility inevitable identified by category-by sex, age, nationally, occupation, and so on.

Setting
All stories like all individuals are embedded in a context or setting- a time and place, the time can be contemporary or even mythically vague. The place can be rather fixed an interior or varied. The individuals in the stories are embedded in the specific context, and the more we know of the setting, and of the relationship of the character to the setting, the more likely we are to understand the character and the story.

Symbol
The symbol commonly defined as something that stands for something else. Symbol are generally figurative, that is they compare or put together two unlike thing. When figure is expressed as an explicit comparison, often signaled by like or as, it is called a smile. An implicit comparison or identification of one thing with another unlike itself, without a verbal signal but just seeming to say A is B, is called a metaphor. An Allegory is like a metaphor in that one thing (usually no rational, abstract, religious) is implicitly spoken of in term of something that is concrete and usually sensuous (perceptible by the sense), but the comparison in allegory is extended to include a whole work or a large portion of a work. When an entire story like with the other story is symbolic, it sometimes called a myth. Myth originally meant a story of communal origin that provide an explanation or religious interpretation of man, nature, the universe, and the relation between them. A plot or character element that recurs in cultural or cross-cultural myth, such as images of the devil as in the other story is now widely called an archetype.

Theme
Some refer to the central idea, the thesis, or even the message of the story, and that is roughly what we mean by theme; generalization or abstraction from the story. Aided footnotes, perhaps, you likely noticed the allusion-reference to history, the bible, literature, and painting. So, allusion as well as symbol, plot, focus and voice, and character are element that contribute to and must be accounted for in paraphrasing a theme.
Exploring Contexts
Embodying these larger concern and underlying such larger structures as plot, focus, and voice are the basic characteristic of the author’s language, such as diction, the choice and use of word, sentence structure, rhetorical tropes, figures of thought and speech, imagery and rhythm in other word, the author’s style. We can broadly characterize diction as formal or informal and within the broad term informal we can identify a level of language that approximates the speech of ordinary people and call it colloquial. Diction and sentence structure contribute to the tone of a work, or the implied attitude or stance of the author toward the character and events, and aspect somewhat analogous to tone of voice. If the language seems exaggerated, we call it overstatement, or hyperbola. Sometimes it will be the narrator, a character, who uses language so intensive or exaggerated that must read it at a discount, as it were, and judge the speaker accuracy or honesty in the process. When word expression carries not only its literal meaning but a different meaning for the speaker as well, we have an example of verbal irony. There also nonverbal form of irony, the most common of which is dramatic irony, in which a character hold a position or has an expectation that is reversed or fulfilled in an unexpected way.

Literary Kind as Context
Initiation Stories
The term genre for the largest commonly agreed on –categories; fiction, poetry, drama. We use the term sub genre for the division within a genre-sub genres of fiction, for example, are novel, novella, short story, and so on. Initiation story, in which a character-often but not always a child or young person-first learn, or a significant truth about the universe, reality, society, people, himself or herself.

Form as Context
The Short Short Story
There have been many attempts to explain this phenomenon, explanations ranging from the shrinking attention span “cause’ by television, to the hurried, fragmented nature of contemporary life, to our disenchantment with lengthy explanation of behavior by psychologist, politician, and novelist. There have also been attempt to define the form generality; its boundaries have been those of the anecdote, the vignette, the parable, the poem, and the short story proper; yet all these borders have been contested.

Critical Contexts
A Fiction Casebook
In each (literary wok) there is something (an individual intuition-or concept which can revere be expressed in other term) it is like, which cannot be expressed by rational numbers but only as their limit. Criticism of (literature) is like 1.424 …. Or 3.1415 …. Not all it would be, yet all that can be had and very useful.

Evaluating Fiction
To evaluate a work of literature-to asses its it worth or quality is one the most fundamental, significant, and difficult activities in literary stuffy. We must to listen to the other reader response too those of our classmates, professors, professional critics like those in the previous chapter-responses that may reinforce our own, may show us thing to appreciate in the story that we missed, or may challenge the viability of our reason, if not that of our responses.

POETRY

Reading, Responding, writing
According to Robert Frost, poetry is a way of taking life by the throat. Poem perhaps even more than other texts can sharpen your reading skill because they tend be so compact, so fully depend on concise expression of feeling. N poem, ideas and feeling are packed lightly into just a few lines.
According to Emily Dickinson, if a feel physically as if the top of my head were taken off, I know that is poetry. The poem we have looked at so far all describe, though in quite different ways, feelings associated with loving or being attached to someone and the expression-either physical or verbal-of those feeling.
There is the example of question that could lead you to a paper topic on the first poem on the page:
1. How does the title affect your reading of and response to the poem?
2. What is the poem about?
3. What makes the poem interesting?
4. Who is the speaker? What role does the speaker have?
5. What effect does poem have on you? Do you think the poet intended such an effect?
6. What is distinctive about the poet use of language? Which word especially contributes to the poem’s effect?

Understanding The Text
Poetry is full of surprise. Poems express anger or outrage just as effectively as love or sadness, and good poem can be written about going to a rock or having lunch or cutting the lawn, as well as about making love or smelling flower or listening to Beethoven. What a poem says involves its theme, a statement about its subject. How a poem makes that statement involves its tone, the attitude or feeling it express about the theme.

Situation and Setting
Question about the speaker (“who” question) in a poem almost always lead to question of “where?” “When” and “why”? Identifying the speaker usually is, in fact, part of larger process of defining the entire imagined situation in a poem: what is happening? Where it happening? Who is the speaker speaking to? Who else is present? Why is this occurring? And don’t forget to establish, the Situation, time and place in your critic or paper analysis.

Language
Fiction and drama depend upon language just as poetry just as poetry does, but in poem almost everything comes down to the particular meaning and implication of individual word. Precision and ambiguity let’s look first that creates some of their effect by examining or playing with a single word. Often multiple meaning or shiftiness and uncertainty of a word are at issue. The Language of Description; the language of poetry is almost always visual and pictorial. Rather than depending primary on abstract ideas and elaborate reasoning, poem depend mainly on concrete and specific word that create image in our minds.

Metaphor and Smile
Being visual does not just mean describing; telling us fact, indicating shapes, color and specific details, and giving us precise discrimination through exacting verb, noun, adverb, and adjectives. Often the vividness of the picture in our mind depends upon comparison through figure speech.

Symbol
Is, put simply, something that stands for something else. The everyday world is full of common examples, a flag, a logo, a trademark, or a skull and crossbones all suggest thing beyond themselves, and everyone likely understand what their display indicates, whether or not each viewer shares a commitment to what the object represent.

The Sound of Poetry
A lot of what happen in a poem happens in your mind’s eye, but some of it happens in your voice. Poems are full of sound and silence as well as word and sentence that are meaningful.

Words and Music
The most fundamental link between poetry and music involves their almost equal dependence on the principles of rhythm. Poem composed to or for music tend differ form poem that produce or rely on rhythmic, harmonic or musical effect created solely by words themselves.

Internal Structure
Proper word in popular place; that is how one great writer of English prose, Jonathan swift, describe good writing. A good poet finds appropriate word, and already we have looked at some implication for reader of the verbal choice a poet makes. But the poet must also decide where to put those words-how to arrange them for maximum effect-because individual words’ metaphor, and symbol exist not only within phrase and sentence and rhythmic patterns but also within the larger whole of the poem.

External Form
Most poems of more than a few lines are divided into stanza group of line divided form other groups by white space on the page. Putting some space between groupings of line has the effect of sectioning a poem, giving its physical appearance a series of in structure of direction. Terza rima the stanza are linked to each other by a common sound, on rhyme form each stanza is picked up in the next stanza and so on to the end of poem (though sometimes poems have section that use varies rhyme schemes). Some English poets (especially in the Renaissance did experiment-very successfully-with blank verse (that is, verse that did not rhyme but that nevertheless had strict metrical requirements), but the cultural pressure for rhyme was almost constant.

The Sonnet
The sonnet, one the most persistent verse form, originated in the Middle Ages as a prominent form in Italian and French poetry. It dominated English poetry in the late sixteenth and early seventeenth centuries and then was revived several time form the early-nineteenth century on ward. on the other, the fundamental break is between the first eight line (called an octave) and the last six (called a sestet). The 4-4-4-2, sonnet is usually called the English or Shakespearian sonnet, and ordinarily its rhyme scheme reflect the structure; the scheme of abab cdcd efef gg is the classic one, but many variation form that pattern still reflect the basic 4-4-4-2 division.

Stanza Forms
Different culture and differ language develop their own patterns and measure-not all poetries are parallel to English poetry-and they vary form age to age as well as nation/. We can probably duce the principle involved in each of the following stanza or verse form by looking carefully at poem that uses it, heroic couplet, tetrameter couplet, limerick, free verse, and blank verse.

DRAMA

Reading, Responding and Writing
Play are generally written to be performed by actors, on a stage, for an audience playwright create plays fully conscious of the possibilities that go beyond word and texts and extend to physical action, stage devices, and other bits of theatricality that can be used to create special effect and modified responses. Consequently, responding to a stage production of a play involves physical sense as well as the imagination.
Character
Someone who appears in a work is called a character, the same word we use to refer to those qualities of mind, spirit, and behavior that make one individual different form every other.
The main character, and most plays fulfill the expectation created by their titles, the main character (or protagonist) is not only the center of the action, but is also the chief object of the playwright (and the reader’s or audience’s) concern. Definition the character of the protagonist (sometimes by comparison with a competitor, or antagonist) often becomes the consuming interest of the play, and the action seems designed to illustrate, or clarify, or develop that character, or sometimes to make him or her a complex, unfathomable, mysterious being. Characterization in a play involves more than protagonist or antagonist, heroes and heroines or villains. To imagines the play and make sense of the action, structure, and theme of the work, we must play attention to the supporting o minor character as well as to the leading figures.
Stages, Sets, and Setting.
There are other types of modern stage – the thrust stage, where the audience sits around three side of major acting area, and the arena stage, where the audience sits all the way around the acting area and players make their entrances and their exist through the auditorium-but most plays are staged on proscenium stage. This unity of time, one of the so-called classical unities, implies a dramatist to select the moment when a stable situation should change and to fill in the necessary prior details by exposition or even by some more elaborate devices. Theme usually defined as a generalized or abstract paraphrase of the subject of a work-is by its very nature the most comprehensive of he element, embracing, as its definition suggest, the entire work.

Tragedy and Comedy
Tragedy and comedy are two of the oldest dramatic form, and many contemporary playwright and critic continue to apply these term. Many people believe that tragedy and comedy still provide convenient way to organized and present experience because they testify to, can sometimes get in a pretty lively argument about weather a particular play should be called a tragedy. According to Aristotle, “comedy aims at representing man as worse, tragedy as better than in actual life.”

Social and Historical Setting
Three different levels of time operate in most plays. First, a play text represent some particular time-temporal setting-in which the action takes place. We can call this plot time. Second, that text reflects the time find their way into the conception and style of the text. This feature of textual time we may call authorial time. Third, reader read in a particular time frame, when conditions an assumption and assumption then may differ from those that obtain in either the text’s present or the author’s present. We may call this reader time.
According to T.S. Eliot, Play, should give you sometimes to think about. When I see a play and understand it the first time, then I know it can’t be much good.

Resume : Al-Qur’an dan Hadist (Dirasah Islamiyah I)

se


Judul :
Al-Qur’an dan Hadist (Dirasah Islamiyah I)
Oleh :
Drs. Abuddin Nata, M.A.
Penyunting :
H.a. Hafiz Anshary AZ.
Cetakan ke enam, Oktober 1998
Diterbitkan oleh :
PT. RajaGrafindo Persada Jakarta
Di ragkum oleh:
Dedi Suhendar 204102322
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Fak. Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung




BAB I
AGAMA DAN MENGAPA MANUSIA BERAGAMA

Dalam mayarakat Indonesia selain dikenal kata agama, dikenal pula kata al-dien dari bahasa Arab dan religi dari bahasa Eropa . Sebagian ada yang mengatakan agma bersal dari kata a = tidak dan agama = kacau atau kocar-kacir.dari keterangan diatas Harun nasution menyimpuilkan beberapa definisi agama sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib.
2. Pengakuan terhadap kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. mengikatkan diri pada suatu bentuk yang berada diluar diri manusia dan mempengaruhi perbuaan manusia.
4. kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang bersal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiaban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Rasul .
Unsur-unsur penting dalam agama yaitu
1. Kekuatan gaib yang dibutuhkan oleh manusia karena manusia merasa lemah dan berhajat kepadanya sebagi tempat memohon pertolongan.
2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraanya didunia dan hidupnya di akhirat nanti tergantung pada hubungan yang baik dengan kekuatan gaib itu.
3. Respon bersifat emosional dari manusia.
4. Paham adanya yang kudus/suci dalam bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu .
Secara psikologis manusia memilki perasaan akan adanya sesuatu yang menguasai alam dirinya, yaitu sesuatu yang mengatur dan menyususn peresaran alam ini. Secara sosiologis manusia sebagai makhluk sosial mutlak memerlukan agama. Kehidupan sosial yang tidak diatur oleh agam akan melahirkan kekacauan, dan menyeret manusia kepada kehidupan ala binatang yang tidak mengenal nilai-nilai moral, kesopanan, dan budi pekerti.

BAB II
TUJUAN-TUJUAN POKOK AGAMA ISLAM

Menurut ilmu bahasa (etimologi), Islam bersal dari bahasa Arab, dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri. Agma Islam secara umum adalah membawa manusia kepada kehidupan yang baik, sejahtera lahir dan batin, sehingga memperoleh kedamaian dan ketentraman hidup dunia dan akhirat. Dan agma Islam berpdoman kepada al-Quran sebagai ajarannya yang meliputi tiga bidang yaitu aqidah, akhlak dan ibadah.
Aqidah, bersal dari kata ‘aqada-ya’qidu-aqdan atau ‘aqaidatan yang berarti mengikatkan. Bentuk jamk dari ‘aqidah adalah ‘aqaid yang berarti simpulan atau ikatan iman. Pengertian awidah itu terdiri dari enam perkara: (1) Makrifat kepada Allah, (2) Makrifat terhadap alam yang ada dibalik alam semesta ini (3) makrifat terhadao kitab-kitab Allah SWT, (4) Makrifat dengan Nabi-nabi dan rasul-rasul yang dipili Allah SWT. (5) makrifat terhadap hari akhir, (6) makrifat kepada takdir (qadha dan qadar)
Akhlak bersal dari kata khilkun atau khuluqun yang mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun serta erat hubungannya dengan khaliq atau mukhaluq. Dari sinilah asal muasal ilmu akhlak yang mnerupakan koleksu ugeran (kaidah/norma) yang memungkinkan timbulnya hubungan baik antara makhluq dengan khaliq dan diantara sesama makhluk. Ilmu akhlak pada intinya adalah bertujuan mendidik manusia dan mensucikan jiwanya, mengangkat kedudukannya de tempat yang terhormat secara individual maupun kolektif, dan mengajarkan rasa tolong menolong diantara sesama manusia dengan sikap-sikap yang positif.
Ibadah bersal dari bahasa Arab ‘abada ya’bidu-‘ibadatan,’ubudatan dan ‘budiyatan, yang secara etimologis berbarti menyembah, menurut, dan merendahkan diri. Ibadah merupakan ihkwal penting dan wajib dilakukan oleh setiap manusia. Ibadah bertujuan memberikan latihan rohani yang diperlukan manusia. Juga menjadikan suci dalam jiwa yang akan menjadi alat kendali bahwa nafsu agar tidak melanggar nilai-nilai moral, peraturan, dan hukum Tuhan.
Hubungan di antara ketiganya yaitu akidah, ibadah dan akhlak dalam Islam adalah satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan karena, aqidah mendasari dan mengarahkan ibadah agar tertuju kepada tuhan, sedangkan ibadah membuktikan bahwa akudah ada dalam diri seseorang dan akhlak yang mulia adalah merupakan hasil perpaduan dari akidah dan ibadah tersebut.

BAB III
AL-QUR’AN BUKTI KEBENARAN ISLAM

Secara lughawi (bahasa) al-Qur’an berarti saling berkaitan, berhubungan antar suatu ayat dengan ayat lain, dan berarti pula bacaan. Semua pendapat yang dikemukakan oleh para Ulama dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an memperlihatkan kedudukannya sebagai kitabullah yang ayat-ayat dan surat-suratnya sling berhubungan, dan ia merupakan bacaan bagi kaum muslimin.
Al-Qur’an dinamai al-Qur’an karena ia dibaca, pembacanya adalah ibadah, dan orang yang membacanya mendapatkan pahala. Dinamani al-Furqan karena ia memisahkan anatar yang hak dan yang batil. Dinamai al-Kitab karena ditulis, an dinamai al_Dzikir karena ia berisi peringatan dari Allah. Didalamnya Allah menerangkan hal-hal yang halal, haram, hudud, faraid, dan lain-lain.
Al-Qur’an terdiri dari 6666 ayat yang dihimpun dalam 114 surat, mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas, kemurnian dan keaslian ayat-ayat tersbut dapat dilhat antara lain dari proses penulisannya. Wahyu pertama yang ditema Nabi ialah ayat 1 s/d 4 surat al-‘alaq, ketika belia berada di Gua Hira, sedangkan wahyu terakhir adalah ayat ke 3 surat al-Maidah, pada waktu beliau wukuf di Arefah melakukan haji Wada’ 9 Zulhijah, tahun kesepuluh Hijriah, bertepatan dengan 7 Maret 632 M.
Yang memmbedakan al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya adalah :
1. Isi al-Qur’an, adalah kalamullah atau firman Allah.
2. Cara turunannya, diturunkan melalui malaikat Jibril yang terpercaya.
3. Pembawaannya, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW seorang Rasul yang bergelar al-Amin (terpercaya).
4. Fungsinya, adalah sebagai dalil dan petunjuk atas kerasulan Nabi Muhammad SAW, pedoman hidup manusia, membacanya jadi ibadah, serta menjadi sumber petunjuk bagi kehidupan.
5. Susunannya, ayat-ayat al-Quran disusun sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW, karena itu susunan ayat ini bersifat tauqifi.
6. Penyampaiannya, al-Qur’an disampaikan kepada kita dengan cara mutawatir, dalam arti, disampaikan oleh sejumlah orang yang semuanya sepakat bahwa ia benar-benar wahyu Allah SWT, terpelihara dari perubahan atau pergantian.




BAB IV
TEMA-TEMA POKOK AL-QUR’AN

Tema pokok al-Qur’an adalah suatu cara penafsiran al-Qur’an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda-beda dalam surat al-Qur’an yang berkaitan dengan topik tertentu. Metode tafsir dengan melihat nama al-Tafsir al-Maudlu’i yang oleh Mahmud Syaltotout dinilai sebagai cara penafsiran yang seharusnya diteladani. Dalam operasionalnya, metode tafsir al-Maudlu’i menempuh langkah-lamgkah sebagai berikut :
1. Menentukan masalah yang akan dikaji.
2. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut
3. Menerangkan urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunannya atau perincian maslahnya denganmemisahkan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah.
4. Memahami hubungan (munasabah) ayat-ayat dalam surat-suratnya.
5. Menyusun pembahasan dalam suatu kerangka yang sempurna.
6. Melengkapi pembahasandengan hadist-hadist yng menyangkut masalah yang dibahas.
7. mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya, atau mengkompromikannya antaa yang ‘am (umum) dengan yang khas, yang muthlaq dengan muqayyad, atau yang kelihatannya kontradiktif, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan penafsiran.
Berikut ini adalah cara memahami tema-tema poko al-Qur’an mengenai keadilan, persamaan, musyawarah, dan perdamaian. Keadilan, di dalam al-Qur’an kata-kata adil diulang sebanyak 28 kali dalam bentuk kata kerja dan kata benda. Kata adil dalam al-Qur’an terkadang berarti seimbang, tebusan, menyimpang, mempersekutukan, adil, jujur dan benar. Musyawarah, dalam al-Qur’an term musyawarah didapati dalam tiga ayat, yaitu dalam surat al-syura 38 dengan memakai kata syura. Dalam al-Baqarah ayat 233 dengan memakai bentuk ungkapan tasyawur, dan dalam surat ali-‘Imran ayat 159 dengan ungkapan syawir. ketiga ayat tersebut mengandung pngertian istikhraj al-ra’y bi muraja’ah al-ba’dl ila ba’dl (menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok). Sekalipun ketiga ayat tersebut berbicara dalam konteks yang berbeda, namun term musyawarah terlihat punya esensi yang sama dalam ketiga ayat tersebut, yaitu mengambil keputusan melalui proses pemikiran bersma baik dalam skala besar maupun dalam skala yang kecil. Konsep Ibadah, dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 278 kali, suatu jumlah yang amat banyak dibandingkan dengan penyebutan kata-kata lainnya. kata tersebut dibagi kedalam tiga pengertian :
1. Kata ibadah atau al-abad berarti seorang budak, atau memperhamba diri kepada sesuatu yang dianggap lebih tinggi.
2. Kata ibadah dalam bentuknya yang lain yaitu al-‘ibadatu berarti tunduk
3. Kata ibadah dalam bentuk masdar (kata jadian) yaitu ‘abdahu, ma’badatan berarti tumbuh dan berlindung pada-Nya.


BAB V
AL-QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN

Dari berbagai defini yang ada penyusunn menyimpulkan banhwa ilmu pengetahuan adalah fakta-fakta yang disusun secara seksama dan sistematis sehingga ia merupkan suatu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Fakta-fakta tersebut diperoleh melalui proses pengkajian yang mendalam, seperti pengamatan, penggolongan, penguraian, dan penyimpulan. Salah satu sifat umum ilmu pengethauan adalah dapat diterima oleh rasio atau akal. Dengan penggunan akal dan pikiran tersebut ilmu pengethuan dapat diperoleh dan dikembangkan. Kata-kata yang yang dipakai dalam al-Qyr’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir adalah sebagai berikut :
1. Nazara, yaitu melihat secara abstrak, dalam arti berfikir dan merenung.
2. Tadabbara, yaitu merenungkan suatu yang tersurat dan yang tersirat.
3. Tafakkara, yaitu berfikir secara mendalam
4. Faqiha, yitu mengerti secara mendalam.
5. Tazakkara, berarti mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari.
6. Fahima, memahami dalam bentuk pemahaman yang mendalam.
7. ‘Aqala, yang artinya menggunakan akal rasio. Di dalam al-Qur’an tidak kurang dari 45 ayat yang berbicara tentang pemakaian akal merupakan bagian integral dari pengembangan ilmu pengetahuan.
Menurut pandangan penulis buku ini nyatalah bahwa sebagian ilmu al-Qur’an itu tidak dapat diketahui kecuali dengan berpegang kepada naqal semata-mata dan sebagian lainnya dapat di-peroleh dengan jalan tafakur dan ta’ammul dengan pembahasan dan penyelidikan. Berikut ini adalah pokok-pokok ilmu al-Qur’an :
1. Ilmu Mawathin al-Nuzul
Yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat turunnya ayat, masanya awal dan akhirnya.
2. Ilmu Tawarikh al-nuzul
Yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu, dari awal turun hingga akhirnya, dan tertib turunnya surat dengan sempurna.
3. Ilmu Asbab al-Nuzul
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat.
4. Ilmu Qira’at
Yaitu ilmu yang menerangkan rupa-rupa qira’at (bacaan al-Qur’an yang diterima Rasulllulah SAW)
5. Ilmu Tajwid
Ilmu yang menerangkan cara membaca al-Qur’an, tempat mulai dan pemberhentiannya, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu.
6. Ilmu Gharib al-Qur’an
Ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapt dalam percakapan sehari-hari.
7. Ilmu I’rabil Qur’an
Ilmu yang menerangkan baris al-Qur’an dan kedudukan lafal dalam ta’bir (susunan kalimat).
8. Ilmu Wujuh wa al-Nazahair
Yaitu ilmu yang menerangkan dimaksud pada satu tempat. Ilmu ini dapat mempelajari dalam kitab mu’tarak di aqran, karangan al-Suyuti
9. Ilmu Ma’rifat al-Muhkam wa al-Mutasyabih
Ilmu yang menyatakan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyabih.
10. Ilmu al-Nasikh wa al-Mansyukh
Yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian mufasir.
11. Ilmu Bada’i alQur’an
Ilmu yang membahas keindahan-keindhan al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan tentang kesusastraan al-Qur’an, kepelikan-kepelikan dan ketinggian-ketinggian balaghah.
12. Ilmu I’daz al-Qur’an
Yaitu ilmu yang menerangkan kekuatan susunan tutur al-Qur’an, sehingga ia dipandang sebagai mukjijat, dapat melemahkan segala ahli bahasa Arab.
13. Ilmu Tanasub ayat al-Quran
Ilmu yang menerangkan persesuaian anatra satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
14. Ilmu Aqsam al-Qur’an
Yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan atau sumpah-sumpah lainnya yang terdapat di dalam al-Qur’an
15. Ilmu Amstsal al-Qur’an
Ilmu yang menerangkan segala perumpamaan yang ada didalam al-Qur’an.
16. Ilmu Jidal al-Qur’an
Ilmu untuk mengetahui rupa-rupa debat yang dihadapkan al-Qur’an kepada kaum musyrikin dan lain-lain.
17. Ilmu Adab al-Tilawah al-Qur’an
Yaitu ilmu yang mempelajari segala bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan di dalam membaca al-Qur’an.

BAB VI
POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN

Islam bukan hanya terdiri dari satu dua aspek, tetapi memilki berbagai aspek. Agama ini mempunyai aspek teologi, ibadat, moral, mistisme, filsafat, sejarah, kebudayaan, dan lain sebagainya. Seperti halnya penjelasan singkat dibawah ini.
Ilmu Tauhid, ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud tuhan, sifat-sifat yang musti ada, sifat yang mustahil dan sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, sifat yang wajib, mustahil dan jaiz padanya.
Ilmu hukum, Hukum Islam atau fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah praktis, diambil dari dalil-dalil yang terinci. Dalil-dalil yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah antara lain bersumber pada al-Qur’an. Perincian ilmu hukum yang terdapat pada al-Qur’an hanya terdapat 5,8% dan pada ayat-ayat berikut ini : 140 ayat tentang ibadah shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lin, 70 ayat tentang hidup berkeluarga, 70 ayat mengenai perdagangan, 30 ayat tentang soal kriminal, 25 ayat tentang hubungan Islam dan non-Islam, 13 ayat mengenai soal pengadilan, 10 ayat tentang kaya dan miskin, dan 10 ayat tentang kenegaraan.
Ilmu Tasawuf, tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada di hadirat Tuhan.
Ilmu Filsafat Islam, Filsafat Islam adalah ilmu yang berbicara tentang segala sesuatu yang ada untuk dicari hakikat atau dasar serta prinsip-prinsipnya, secara sistematik, radikal, dan universal.
Pada intinya secara garis besar apa yang terkandung dalam pengertian Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok ajaran dan kelompok non ajaran. Dalam kelompok non ajaran dapat dimasukan sejarah, kebudayaan, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang datag ke dalam Islam sebagai hasil dari perkembangan Islam dalam sejarah. Kelompok ajaran dapat dibagi kepada ajaran dasar sebagai terdapat di dalam al-Qur’an dan hadist, dan ajaran bukan dasar yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulma-lma dan ahli Islam terhadap ajaran-ajaran dasar itu.

BAB VII
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AJARAN

Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan totalitas kehidupan manusia. Dalam kenyataan empirik, tidak dapat dipungkiri, bahwa ketika sumber ajaran itu hendak dipahami dan dikomunikasikan dengan kehidupan manusia yang prulalistik, diperlukan keterlibatan pemikiran yang merupakan kreativitas manusia. Hal ini jelas terlihat pada tradisi ijtihad yang dikembangkan para pakar hukum Islam dan lainnya.
Keterlibatan unsur budaya dalammemahami al-Qur’an terlihat antara lain pada pemakaian ‘uruf. ‘Uruf adalah suatu yang dibiasakan oleh manusia dan dijadikan pegangan dalam setiap perbuatan yang berkembang diantara mereka, atau perkataan yang difahami maksudnya dengan arti tertentu dan tidak membawanya kepada pengertian lain bagi orang yang mendengarnya, dan hal itu berarti kebiasaan kolektif yang meliputi perbuatan dan perkataan.’Uruf yang dapat digunkan adalah ‘uruf yang tidak bertentangan dengan teks l-Qur’an dan hadist.
Disamping unsur budaya, unsur nalar juga digunkan dalam memahami al-Qur’an. Ini dapat dilihat pada pemakaian al-ra’yu atau qiyas (analogi) dan istihsan, salah satu bentuk analogi juga, yang digunkan oleh para ulama. Quyas sangat diperlukan dalam memahami dan menerapkan hukum al-Qur’an karena tidak semua persoalan yang berkembangh dalam kehidupan manusia disebutkan hukumnya secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Salah satu cara yang dapat mengkomunikasikan al-Qur’an dengan suatu asus yang tumbuh di masyarakat adalah qiyas.
Muhkam, adalah kuat, kokoh, rapi, indah susunannya, dan sama sekali tidak mengandung kelemahan, baik dalam lafal-lafalnya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya. Dalam kaitan itulah Allah berfirman yang artinya : “kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi”.
Mutasyabih, adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal balaghah (keindahan susunannya) dan Ijaz (ringkas dan padat) serta dalam hal kesukaran membedakan mana bagian-bagian al-Qur’an yang lebih afdhal.
Qah’i, adalah ayat ayat yang bersifat positif, dan tegas adapula yang bersifat zanni, tidak positif dan tidak tegas atau ayat zanni mengandung lebih dari satu arti.
Jika dilakukan telaah secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa di dalam ayat-ayat al-Qur’an terdapat celah yang memungkinkan peranan akal atau rasio berkiprah lebih leluasa seperti pada ayat mutasyabih dan zanni. Disamping itu terdapat pula ayat yang tidak meminta ikut campur penalaran di dalamnya, yaitu ayat yang bersifat muhkam dan qath’i.
Dari uraian diatas jelas bahwa terlihat hakikat ijtihad, yaitu mengerahkan daya dan upaya, khususnya penalaran, untuk memperoleh suatu daya dan upaya, khususnya penalaran, untuk memperoleh suatu formulasi hukum bagi suatu maslah yang pelik dan tidak disebutkan ketentuannya didalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.

BAB VIII
BAGAIMANA MEMAHAMI AL-QUR’AN

Ma’qul atau ta’qqul dapat diartikan dengan upaya menafsirkan (menginterpretasikan) ayat agar sesuai dengan situassi dan kondisi kemaslahatan masyarakat. Menurut al-Syathibi dalam kitabnya tentang pembahasan ma’qul ada tiga yaitu : (1) Makna yang ma’qul dari suatu ayat dapat ditinjau dengan istisqro, yaitu dengan menyimpulkan bahwa syariat tidak akan bertentangan dengan kemaslahatan hamaba. Sebagai contoh ayat yang melarang memakan harta sesama dengan jalan bathil, larangan itu muncul karena menyangkut hak sesama manusia dan Tuhan menuntut agar manusia dapat hidup lebih baik. (2) Dalam masalah mu’amalat, alsyar’i memberikan penjelsan mengenai illat dan hikmat syariat. Illlat dapat diterima oleh akal, sehingga dapat dimengerti bahwa al-ayr’i memang tidak hanya berhenti pada nas ayat semata. (3) Di masa al-fatrat, umumnya orang-orang sudah berfikir menentukan masalah bagi kehidupan mereka. Tidak semua kegiatan mu’amalat mereka salah. Seperti contoh, membayat diyat, bersumpah, melakukan kredit, menutup ka’bah dan berkumpul di hari jum’at.
Adapun yang dimaksud dengan ghair ma’qul oleh al-Syathibi adalah diistilahkan dengan nama al-ta’abbud yang bertumpu pada masalah ibadat. Dan jika diperbandingkan antara ma’qul dengan ghair ma’qul, dapat dikenali secaras ingkat sebagai berikut : (1). Pada yang ma’[qul berlaku pemakaian rasio untk mencari illat dalam qiyas. Illat itulah yang menentukan ada atau tidaknya hukum. Sedangkan dalam ayat yang ghair ma’qul kaidah tersebut tidak berlaku. (2). Objek yang ma’qul adalah masalah atau mu’amalat yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan dari zaman-kezaman, sedangkan pada ghair ma’qul tidak demikian halnya. Yang ghair ma’qul bersifat permanen, tetap sepanjanga zaman. (3) masalah yang dikaji pada yang ma’qul adalah ayat global yang masih memerlukan perincian dan keterangan, sedangkan pada ghair ma’qul keadaanya sudah terinci, sehingga lebih siap untuk dipraktekan.
Secara konseptual al-Qur’an dapat dipahami dengan berpegang pada 8 perinsip berikut ini : (1) menetapkan all-Qur’an menyebut dirinya adalah dokumen untuk manusia. Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai petunjuk manusia dan berbagi sebutan lainnya. (2). Sebagai petunjuk Allah yang jelas dan berkaitan denagn manusia, pesan-pesan al-Qur’an bersifat universal. (3) harus diakui bahwa al-Qur’an diwahyukan dalam situasi kesejahteraan yang konkret. (4). Dalam kaitannya dengan muhkam, mutasyabih, nasikh-manskh, perlu pemhamn terhadap konteks sastra al-Qur’an. (5). Pemahaman terhadap konteks kesejahteraan (situasi kesejarahan pra dan pada masa al-Qur’an diturunkan) berada dalam urutan kronologisnya, dankonteks sastra (konteks tema atau istilah dalam al-Qur’an yang didekati secara kronologis). (6). Perlu memahami tujuan al-Qur’an. Ini hanya dapat diperoleh lewat kajian-kajian yang melibatkan konteks kesejarahan dan konteks literer (sastra) (7). Pemahaman akan al-Qur’an dalam konteksnya sebagaimana diuraikan dalam prinsip-prinsip diatas,maka akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademik murni bila tidak diproyeksikan untk mmemenuhi kebutuhan kontemporer. (8) tujuan-tujuan moral al-Qur’an sesungguhnya dapat dan harus emnjadi peoman dalam memberikan penjelasan terhadap problema-problema sosial yang muncul di masyarakat.
Dari delapan prinsip yang dikemukakan diatas dapat di bngun dua kerangka konseptual yaitu dengan penafsiran al-Qur’an secara pelaksanaan pada ajarannya. Kerangka pertama adalah memahami dan kerangkan kedua adalah memproyeksikannya ke dalam situasi masa kini.

BAB IX
AL-SUNNAH DAN SEKELUMIT
TENTANG PERTUMBUHANNYA

Al-Sunnah menrut bahsa berarti jalan hidup yang dijalani atau dibisakan, baik jaln hidup itu baik atau buruk..pengertian ahli hadist ialah sesuatu yang didapatkan dari nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabin ataupun sesudahnya. Sedangkan menurut istilah para ahli pokok agama (al-ushuliyyun). Sunnah ialah sesuatu yang diambil dari Nabi SAW, yang terdiri dari sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau. Menurut para ahli fiqh sunnah ialah suatu fardhu ataupun wajib, dan sunnah itu ada dua bersma wajib dan lain-lain dalam hukum yang lima.
Ada beberapa faktor-faktor yang mendukung periwayatan al-Sunnah dari Nabi SAW hingga sampai kepada kita. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Cara nbi berbicra perlhan-lahan, dengan mengulang-ulang dan jelas apa yang diucapkannya itu.
2. nabi dikenal sebagai seorang yang fasih dan bagus susunan perkataanya.
3. nabi seringkli menyesuaikan dialek ucapannya dengan lawan yang diajak berbicara
4. para sahabat yang menerima hadist, memandang nabi sebagai idola mereka. Orientalis dan sejarawan seriing kagum pada umarv bin khatib, sedangkan Umar bin Khatab itu sangat kecil di hapan Nabi.
5. sahabat yang mendengar ucapan nabi, yakin benar bahwa ucapan itu mengandung makna yang dalam dan semuanya mengandung kebenaran
6. ada kemampuan yang dimiliki masyarakat Arab pada umumnya dan sahabat pada khususnya, yaitu daya ingat dan hafalannya sangat kuat.
7. Para tabiin menganngap bahwa apa yang mereka terima dari nabi adalah sesuatu yang berharga.

Matan Al-Sunnah, menurut bahasa berarti suatu yang menjorok ke luar, atau yang namoak dan berarti pula sesuatu yang tinggi dan nampak dari bumi. Sedangkan menurut istilah matan ialah lafal-lafal hadis yang didalamnya mengandung makna. Dinamai demikian karena ialah yang nampak, dituntut dan dituju dari suatu hadist seluruhnya. Matan hadist itu dicatat dizaman nabi sebgaimana al-Qur’an, hal ini disebabkan beberapa pertimangan diantanya : (1) Rasulullah SAW hidup bersama sahabat selama dua puluh tiga tahun, sehingga penulisan ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau secara utuh dalam suatu mushaf atau lembaran-lembarran sulit dilakukan karena maslah lokasi. (2) para sahabat banyak yang buta huruf dan menyandarkan diri kepada ingatan mereka saja untuk hal-hal yang harus mereka pelihara dan lahirkan kembali, sementara hadist boleh diriwayatkan dengan makna dan redaksi matan yang berbeda-beda. (3) di kuatirkan silapnya sebagian sabda nabi yang ingkat dan padat itu dengan al-Qur’an karena alpa tanpa sengaja.
Terdapat berbagai cara untuk menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembahangan hadist yaitu dengan menguraikan periodenya, yaitu periode periwayatan dengan lisan, periode penulisan dan pembukuan hadist secara resmi, periode penyaringan hadist dari fatwa-fatwa, periode penghafalan dan pengisnadan hadist, dan periode pengklasifikasian dan pensistematisan susunan kitab-kitab hadist.
Kitab-kitab yang mashur mengenai peulisan hadist adalah : Al-Muwatha. Kitab ini disusun oleh imam Malik pada tahun 144 H, atas anjuran Khalifah al-Mansur. Musnad al-Syafi’y. Didalam kitab ini imam al-Syafi’iy mencantumkan seluruh hadist yang dimuat dalam kitab beliau al-um. Mukhtaliful-Hadist. Karya imam Syafi’iy. Beliau menjelaskan dalam kitabnya ini cara-cara menerima hadist sebagai hujjah, dan cara-cara mengkompromikan hadisst yang nampaknya kontradiksi satu sama lain.


BAB X
FUNGSI DAN KEDUDUKAN AL-SUNNAH
TERHADAP AL-QUR’AN

Jumhur Ulama menyatakan bahwa al-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah al-Qur’an. Untuk hal ini al-Suyuti dan al-Qasaim menguemukakan argumentasi rasional dan argumentasi tekstual. Diantaranya al-Qyr’an bersifat qath’i al-wujud, sedangkan al-sunnah bersifat zhanni al wurud. Alsunnah berfungsi sebagai penjarabaran al-Qur’an. Ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan setingkat di bawah yang dijelaskan. Ada beberapa hadist dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan al-sunnah setelah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta Allah SAW sedang hadit bersal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya bahwa yang beral dari pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang bersasal dari hamba dan utasan-Nya.
Menetapkan huum yang terdapat dalam al-Qur’an. Ini tidak berarti bahwa hadist atau sunnah itu menguatkan al-Qur’an, namun menunjukan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan juga di dalam Hadist atau Sunnah itu sangat penting untuk dinamai, di jalankan dan dijakan pedoman dasar olehs etiap muslim.
Penjelasan sunnah terhadap al-Qur’an ada beberapa diantanya ialah, Bayan Tafshil, adalah bahwa al-Sunnah itu menjelaskan atau memperinci kemujmaan al-Qur’an karena al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjanga masa dan dalam keadaan bagaimanapun dilakukan diperrinci. Bayan Takhsish, yaitu al-sunnah berfungsi menjelaskan, mentafshilkan dan menta’yinkan (menyatakan) al-Qur’an, dan kelihatan tidak bertentangan, sedangkan pada bayan takhshish ini sebagai bayan (penjelasan antara pertentangan al-Qur’an dan al-Sunnah). Bayan Ta’yin, ialah bahwa al-Sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh al-Qur’an. Bayan Nasakh. Yaitu brfungsi menjelaskan mana ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang secara lahiriah bertentangan. Byan nasakhh ini juga sering disebut bayn tabdil (mengganti suatu hukum atau menghpuskannya).

BAB XI
SEBAB KERAGUAN
TERHADAP AL-SUNNAH

Sebab semakin berkembangnya daerah Islam,kebutuhan akan hadist semakin meningkat, sementara sahabat sudah banyak yang meninggal, maka Abu Hurairah menjadi tumpuan umat. Namun, banyaknya hadist yang diriwayatkan oeh Abu Hurairah itu menimbulkan keraguan para ahli hadist. Mereke mempertanyakan apakah semua hadit itu berasal dari Rasulullah? Apa hanya buatan Abu Hurairah sendiri? Dan sebagian kalangan Mu’assirin seperti Rasyid Ridha, Abu Rayyah, dan Mustafa Sadik al-rafi’i mengkritik Abu Hurairah dari dua sisi. Pertama, sisi pribadinya, dikatakan bahwa Abu Hurairah datang ke Madinah bukan Unruk agma, tetapi untuk mengisi perutnya yang lapar. Kedua, matan Hadist yang diriwayatkan ada yang bertentangan dengan akal, seperti hadist yang menerngkan tentang penciptaan Tanah pada hari Jumat.
Sementara itu kesimpulan penulis mengambil sikap bahwa barangkali, diambil dari segala prasangka yang ada seperti su’ul al-Dzan (prasangka buruk) terhadap Abu Hurairah menjadikan kita menerima bulat-bulat hadist yang diriwayatkannya, dan sebaliknya, jangan karena su’ul al-Dzan, kita meruntuhkan hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah secara keseluruhan.
Sebab-sebab keraguan pada masa penulisannya, hadist pada zaman Nabi, Sahabat Khulafur Rasyidin dan Umayah belum dibukukan dan baru disusun di zaman Umar bin Abdl al-Aziz. Dialah yang berhasil meyakinkan umat Islam akan pentingnya penulisan hadist, meletakan dasar kodifikasi hadists secara resmi, dan mendorong timbulnya kegiatan pengumpulan hadist di setiap pelosok negeri Islam saat itu. Namun demikian, penulisan yang jaraknya yang jauh dari masa Rasulullah menimbulkan keraguan sebagian orang terhadap keotentikan hadist yang dikumpulkan itu. Keraguan itu datang dari kritik yang datangnya dari Goldziher, bahwa ia menuduh bahwa penguasaan Bani Umayyah mengeksploitasi al-Zuhri, salah seorang penghimpun dan penulis hadist, untuk memperluaskan hadist-haidst palsu. Disamping itu al-Zuhri adalah seorang tabiin yang mendengar langsung hadist-hadist dari sahabat, sehingga sebenarnya ia tidak membutuhkan catatan hadist, karena ia mendengar langsung itu lebih dapat dipertanggung jawabkan dibandingkan dengan catatan. Walau hadit tidak dicatatat tetapi nilainya tidaklah kurang.
Pada kesimpulannya argumentasi tentang al-Qur’an memuat pokok-pokok agma dan prinsip hukum umum, disertai nas yang jelas untuk sebagainya, namun penjelasan Rasul teteap diperlukan terhadap nas-nas yang memang perlu penjelsan. Terhadap keraguan selanjutnya adalah jaminan Allah untuk memelihara “peringatan” al-Dzikr tidak terbatas juga al-Sunnah dan lain-lainnya dan yang dimaksudkan dengan peringatan itu juga ialah hukum Allah dan agamanya-Nya yang dibawa oleh Rasul utusan-Nya. Jadi, penegertian ayat itu lebih luas dair hanya al-Qur’an dan sunnah saja. Dan yang terakhir jawaban atas keraguan yang mengatakan bahwa tidak ada perintah dari Nabi SAW untuk menuliskan Hadist adalah bukan berarti beliau melarangnya dan bukan pula menunjukan bahwa al-Sunnah tidak dapat dijadikan sumber hujjah.

BAB XII
BAGAIMANA MEMAHAMI AL-SUNNAH

Sahabat ialah orang yang berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman, dan ketiga meninggal dunia masih dalam keadaan Islam. Untuk mengetahui apakh seseorang termasuk sahabat atau tidak diperlukan danya salah satu keterangan berikut: (1) ditentukan oleh kabar mutawatir (2) ditetapkan dengan kabar mashur atau mustafid (3) diakui oleh seorang sahabat tentang kesahabatannya (4) keterangan seorang tabiin yang siwah, bahwa orang tersebut sebagai sahabat. (5) pengakuan syarat tidak lebih 100 tahun semenjak wafatnya Nabi.
Selanjutnya pemahaman terhadap al-Sunnah sedikit banyak dipengaruhi oleh keadaan pribadi dan kecerdasan akal pikirannya. Namun secara umum pemahaman mereka terhadap hadist dapat dijamin kebenarannya, karena mereaka memandang Nabi sebagai idola, dan mereka yakin bahwa ucapan Nabi mengandung makna yang dalam dan semuanya kebenaran.
Pembagian al-Sunnah dari segi bilangan perawinya. 1) Hadist Mutawatir 2) Hadist Ahad yang meliputi (a) Hadist Masyhur (b) Hadist Aziz (c) Hadist Gharib. Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya yang menurut tradisi mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Pembagian mutawatir diantanya adalah mutawatir lafdzy yakni hadis yang diriwayatkan secara seragam baik susunan susunan redaksinya maupun maknanya oleh para perawinya pada setiap lapisan (thabaqat). Hadist ma’nawi, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap thabaqhat, namun susunan redaksinya berbeda-beda. Namun demikian maknanya tetap sama dan terpelihara.
Hadist ahad dalam bentuk yang mashur adalah hahadit yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir. Kemashurannya ini dpat dibaim kepada masyhur di kalangan muhadisitn dan lainnya, mashur di kalngan ahli ilmu tertentu, seperti kalangan fiqh ahli tasawuf dan sebagaiannya, danmasyhur di kaangan orang awam. Hadist yang aziz ialah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqat saja. Dan setelah itu diriwayatkan oleh sejumlah orang. Yang terakhir adalah hadist gharib, ialah hadist yang dalam sanadny terdapat seseorang yang menyendiri dalam periwayatannya; dimana saja penyendirian itu gharib mutlaq yaitu hadist yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi. Gharib Nisbi, apabila penyendiri itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dan perawi yang dalam hal ini mempunyai beberapa kemungkinan. Diantanya keadilan dan kedlabitan (keistiqahan)
Pembagian al-sunnah dari segi sifat perawi, sanad dan matannya. (1) Hadist shahih, yaitu hadist yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak berilat dan tidak janggal. Hadist. (2) hadist hasaan ialah yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, tak ada kejangkalan pada matnay, dan hadist itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. (3) hadist Dlaif ialah hadist yang khilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadist sahih dan hadist hasan sebagaimana disebutkan diatas. Mcam-macam hadist dlaif adalah sebagai bnerikut: hadist matruk, hadist munkar, hadist mu’alal, hadist mudraj, hadist mudltharib, hadist muharraf, hadist mukhtalith, hadist mu’alaq, hadist mudallas, hadist munqathi, hadist mu’dlal, hadist mauquf, dan hadist maqthu. Kedlaifan semua hadit tersebut adalah karna disebabkan oleh sifat matannya.