SELAMAT DATANG

selamat datang di blog kami semoga anda dapat mendapatkan infomasi yang anda butuhkan, kami senang dapat membantu anda

Kamis, 24 Desember 2009

Resume : IKTISHAR MUSHTHALAHU’L HADITS

se


Judul :
IKTISHAR
MUSHTHALAHU’L HADITS
Oleh :
Drs. Fatchur Rahman
Cetakan pertama, 1974
Diterbitkan oleh :
PT. Alma’arif Bandung
Di ragkum oleh:
Dedi Suhendar 204102322
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Fak. Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung



BAGIAN: PERTAMA
AL-HADITS DAN PERIODE PERTUMBUHANNYA
BAB I
PENGERTIAN AL-HADITS

Dalam ta’rif al-Hadits terdapat berbagai pendapat di antara para ulma dan dari semua perbedaan itu dapat ditarik benang merah yaitu ta’rif hadis terbagi ke dalam dua bagian yaitu ta’rif terbatas dan ta’rif yang luas. Pertama, ta’rif terbatas yaitu terdapat dalam empat unsur yaitu perkatan, perbuatan, pernyatan, dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad SAW. Kedua, ta’rif Hadits yang luas adalah yaitu tidak hanya mencakup sesuatu yang dimarfu’kan kepada nabi Muhammad saja, tetapi juga perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan bati’iy pun disebut al-Hadits. Dengan demikian al-Hadits menurut ta’rif ini meliputi segela berita yang marfu’ mauquf (disandarkan kepada sahabat) dan maqthu (disandarkan kepada tabi’y).
Bentuk istilah al-Hadits adalah l-Hadits, Al-Khabar, Al-Atsar dan As-Sunnah dimana para urama coba membedakan diantara semua itu, al-Hadits yaitu sesuatu yang datang dari nabi saja, al-Khabar yaitu sesuatu yang datang dari selainnya. Sedangkan klasifikasi untuk menekuni ilmu Hadits disebut MuHadits dan yang menekuni khabar disebut akhbari. Seperti pada bentuk Hadits yang telah di rekonstruksi dengan nama-nama atau istilahnya sebagai berikut; khabar-mutawatir, Hadits-mutawatir, Hadits ‘n-nabawy dan lain sebagainya.

BAB II
UNSUR-UNSUR YANG HARUS ADA
DALAM MENERIMA AL-HADITS

Dalam proses penyampaian Hadits dan penerimaannya terdapat macam-macamnya seperti langsung dan tidak langsung. Ra’wi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Sebuah Hadits sampai kepada kita dalam bentuknya yang sudah terdewan dalam dewan-dewan Hadits, melalui beberapa rawi dan sanad.
Sebuah Hadits kadang-kadang mempunyai sanad banyak. Dengan kata lain, bahwa Hadits tersebut terdpat dalam dewan-dewan atau kitab-kitab Hadits yang berbeda rawi (akhir)-nya. Misalnya ada sebuah Hadits di samping terdapt dalam shahih Bukhari juga terdapat dalam shahih muslim, juga dalam sunan Abu dawud dan lain-lain sebagainya.
Para Muhadditsin dalam usahanya menghimpun dan menyusun kitab-kitab Hadits menggunakan bentuk-bentuk seperti: Takhrij, Tashnif, dan Ikhtisar. Takhrij adalah suatu usaha sanad Hadits yang terdapat dalam sebuah kitab Hadits karya orang lain menyimpang daripada sanad Hadits yang terdapat dalamkitab Hadits karya orang lain tersebut. Istilah lain juga adalah suatu pnjelasan dari penyusunan Hadits bahwa Hadits yang dimilikinya terdapaat dalam kuitab Hadits yang disebut nama penyusunannya. Dan istilah terakhir adalah suatu usaha penusunan Hadits untuk mencari derajat sanad dan rawi Hadits yang diterangkan oleh pengarang suatu kitab.
Tashnif, adalah usaha untuk menghimpun atau menyusun beberapa Hadits (kitab Haditsy) dengan membubuhi keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberikan interpretasi sekadarnya.
Ikhtisar, ialah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab Hadits. Yang diperingkas, bisanya ialah sanadnya dan Hadits-Hadits yang telah berulang-ulang disebutkan oleh pengarangnya semula, tidak perlu ditulis kembali.
Para imam Hadits pada mendapat gelar kehian dalam bbidang ilmu Hadits sesuai dengan keahlian. Kemahiran dan kemmpuan menghafal beribu-ribu buah Hadits beserta ilmu-ilmunya, diantaranya adalah : Amiru’l-Mu’minun fi’l-Hadits (Yaitu sebuah gelar yang diberikan kepada khalifah setelah khaifah Abu Bakar As-Shiddiq para khalifah diberikan gelar demikian mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahwa khalifah itu adalah sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan Haditsnya). Al-Hakim, (yaitu suatu gelar keahlian bagi imam-imam Hadits yang menguasai seluruh Hadits yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan, maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tajrih (tercela)-nya rawi-rawi. Al-Hujjah, yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 Hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, biografinya (riwayat hidupnya). Al-Hafidh, (telaah gelar ahli Hadits yang dapat men-sahih-kan sanad dan matan Hadits dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawinya. Al-Muhaddist, menurut At-Taju’s Subhi : ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, ‘ilat-‘ilat, nama-nama rijal (rawy-rawy),’ali (tinggi) dan nazil (rendah)-nya Hadits. Al-Musnid, yakni gelar kehlian bagi orang yang meriwayatkan Hadits beserta sanadnya. Baik menguasai ilmunya maupun tidak.
Matnu’l Hadits, ialah pembicaraan (klam) atau materi yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu saba Rasulullah saw., sahabat ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
Sanad, atau thariq ialah jalan yang dapt menghubungkan matnu’l Hadits kepada Nabi Muhammad saw. Dalam bidang ilmu Hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atai dla’ifnya suatu Hadits.

BAB III
SEJARAH PERTUMBUHAN AL-HADITS

Periode Periwayatan dengan lisan, dalam periode ini adalah periode dimana dilrang menuliskan Hadits ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penuls wayu memasukkan al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’an, karena dianggap segala yang dikatakan Rasulullah saw. Adalah wahyu semuanya.
Periode Perintah menulis Al-Hadits pada abad ke II, perintis pembukuan Hadits ini adalah pada masa bani Umayah yaitu khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz yang menjabat ke khalifahannya antara tahun 99 s/d 101 Hijriah, motifnya adalah untuk tidak membiarkan al-Hadits seperti waktu yang sudah-sudah, dangan mendiwankan Hadits-Hadits tersebut. Kemauan beliau untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari Hadits-Hadits madl’u yang dibuat oleh orang-orang untuk mmpertahankan idiologi golongannya masing-masing. Alasan lainnya adalah kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah Ulama ahli Hadits, maka pada saat itu benar-benar konfrotasi tersebut terjadi.
Periode penyaringan al-Hadits pada abad ke III, daripermulaan abad ke tiga ini para ahli Hadits berusaha menyisihkan al-Hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka berusaha membukukan Hadits Rasulullah semata. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu Hadits itu apakah shahih atau dla’if.
Periode Menghafadh dan mengisnadkan Hadits mutaqaddimin pada abad ke IV, abad keempat ini merupakan abad pemisah antara Ulama mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab Hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tbi’in penghafadh Hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan Ulama mutkhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab Hadits, mereka hanya menukil dari berbagi kitab-kitab yang telah disusun oleh Ulama mutaqaddimin.
Periode Pengklasifikasian dan mensistematiskan susunan kitab-kitab Hadits pada abad V, usaha para Ulama ahli Hadits pada abad ke lima dan seterusnya adalah ditujukan untuk meng-klasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun Hadits-Hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isisnya dalam suatu kitab Hadits. Disamping itu mereka men-syarah-kan (menguraikan) kitab kitab Hadits yang telah disusun dengan luas dan meng-ikhtisar-kan (meringkasnya).


BAB IV
AL-HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM

Hampir seluruh umat Islam telah sepakat menetapkan Hadits sebagai salah satu undang-undang yang wajib di taati baik berdasarkan petunjuk akal (adalah peraturan yang dibuat oleh Rasulullah dengan hasil pemikirannya sendiri) , petunjuk nash-nash al-Qur’an (QS. An-Nisa:63, QS. Al-Ahzab:36) maupun Ijma’ para sahabat (kesepakatan diantara para sahabat tentang wajibu’l ‘i-ttiba’ terhadap al-Hadits, baik Rasul masih hidup maupun setelah Wafat).
Disamping adanya kesepakatan terhadapat penggunaan al-Hadits sebagai dasar perundang-undangan terdapat pulalah penolakan dari sejumlah kecil umat Islam mereka mengatakan cukuplah Al-Qur’an saja sebagai dasar perundang-undangan.
Al-Qur’an itu menjadi sumber ajaran hukum yang pertama dan al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah al-Qur’an. Pembendaharaan al-Hadits tidak terlepas dari tiga fungsi : (1) Berfungsi menetapkan danmemperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. (2) memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal,memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak dan memberikan tkhsish (penentuan khusus) ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. (3) menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam al-Qur’an. Seperti larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya.

BAB V
HADITS QUDSY
Hadits qudsi adalah sesuatu yang dikabarkan Allah ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian abi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapn kata beliau sendiri. Ciri yang membedakan Hadits qudsy dengan Hadits nabawi adalah pada kalimat-kalimat: Qala (yaqalu) Allahu, Firma yarwihi ‘anillahi tabaraka wata’ala, dan lafadz-lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas, setelah selesai penyebutan rawi yang menjadi sumber (pertama)-nya, yakni sahabat.
Perbedaan Hadits Qudsy dengan al-Qur’an adalah : (a) semua lafad (ayat-ayat) al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits qudsy tidak demikian. (b) ketentuan hukum yang berlaku bagi al-Qur’an, tidak berlaku bagi al-Hadits. (c) setiap huruf-huruf yang dibaca al-Qur’an memberikan hal pahala kepada pembacanya. (d) meriwayatkan al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, dan itu berlainan dengan Hadits.

BAGIAN: KEDUA
ILMU MUSHTHALAHUL HADITS
BAB I
PENGERTIAN ILMU MUSHTHALAHU’L HADITS DAN OBYEKNYA

Kebanyakan para muhadditsin mengakatan fungsi ilmu Hadits terbagi dua bagian yaitu: Pertama, ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah saw. Beserta sanad-sanad (dasar penyandarannya) dan ilmu pengetahuan untuk membedakan kehshahihannya dan kedla’ifannya dari pada lainnya, baik matan maupun sanadnya. Kedua, suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal keshahihan dan kedla’ifan Hadits, matan maupun sanad dan untuk membedakan dengan huruf lainnya.
Secara garis besar ilmu Hadits dibagi menjadi dua bagian : Ilmu Hadits-riwayah; suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, ikrar maupun lain sebagainya. Ilmu Hadits-dirayah; undang-undang (kaidah) untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan sifat-sifat rawi dan lain sebagainya. Objek ilmu Hadits riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu dewan Hadits. Faedahnya yaitu untuk menghindari kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepda Nabi saw. Obyek ilmu Hadits-dirayah ialah merinci kelakan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Faedahnya adalah untuk menetapkan makbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolak) suatu Hadits dan selanjutnya untuk diamalkan yang makbul dan ditinggalkan yang mardud.

BAB II
KLASIFIKASI AL-HADITS DARI SEGI SEDIKIT
ATAU BANYAKNYA RAWI

Ditinjau dari segi sedikit banyaknya rawi yang enjadi sumber berita Hadits itu dibagi dua yaitu Hadits mutawatir dan Hadits ahad. Hadits mutawatir adalah suatu Hadits hasil dari tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta. Syarat Hadits mutawatir adalah (1) pewartaan yang disampaikan oleh rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indera (penglihatan, pendengaran dll.). (2) jumlah rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. (3) adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqhah berikutnya. Klasifikasi Hadits mutawatir terbagi kedalam dua bagian yaitu mutawatir lafdhy dan mutawatir ma’nawi. Hadits mutawatir lafdhy adalah Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksinya dan makannya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya. Hadits mutawatir ma’nawi adalah yang rawi-rawinya berlain-lainan dalam menyusun redaksi pemberitaan tetapi berita yang berlain-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya. Faedah Hadits mutawatir adalah Hadits ini tidak perlu diselidiki lagi tentang keadilan dan kedlabithannya (kuatnya ingatan), karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin dari berkesepakatan dusta.
Hadits ahad adalah Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, jumlah rawi-rawinya dalam thabaqat (lapisan) pertama dan kedua atau ketiga dan seterusnya pada Hadits ahad itu, mugkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang. Klasifikasi ini dibagi menjadi beberapa uraian; Hadits mashur yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh tiga oraang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir. Hadits mashur terbagi tiga yaitu mashur di kalangan para muHaditsin, mashur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, dan mashur dikalangan orang-orang umum. Hadits aziz ialah Hadits yang diriwaytkan oleh dua orang, wlaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya. Hadits Gharib adalah Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwatkan, dimana saja penyendiriannya dalam sana itu terjadi. Klasifikasi gharib adalah gharib mutlak dan gharib nisbi.

BAB III
KLASIFIKASI HADITS AHAD KEPADA
SHAHIH, HASAN DAN DLA’IF

Hadits ahad terbagi menjadi tiga bagian yaitu: Hadits Shahih, Hasan, dan dla’if. Hadits Shahih adalah Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sananya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal. Persyaratan Hadits shahih adalah rawinya bersifat adil, sempurna ingatan, sandnya tiada putus, Hadits itu tidak ber’ilat dan tidak janggal. Keadilan seorang rawi adalah selalu menjaga perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil dan sopan santun, tidak melakukan perkara-perkara yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penysalan, tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’. Arti sanad bersambung adalah sanad yang selmat dari keguguran dengan artian rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya. I’Ilat Hadits adalah penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai keshahihan suatu Hadits. Kejanggalan dalam Hadits adalah perlawanan antara suatuHadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang kuat diterima perawiannya) dengan Hadits yang dirawikan oleh rawi yang tarjih (lebih kuat) dari padanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kpe-dlabhitan rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.Martabat Hadits shahih Hadits mutafaq-‘laihi atau muttafaq-‘ala shihatihi. Yaitu Hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua imam Hadits bukhari dan Muslim, tentang sanadnya.
Hadits hasan ialah Hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan Hadits itu diriwayatkan tidak dari suatu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. Klasifikasi Hadits hasan adalah, Hadits hasan lidzatih dan hasan lighairih. yang mememenuhi syarat Hadits hasan adalah hasan lidzatih yang disebut Hadits hasan lighairih adalah Hadits yang sanadnya tidak sepi dari orang yang matsur taknyata keahliannya bukan pelupa yang bnyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan Haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain. Martabat Hadits hasan adalah terletk pada tinggi rendahnya kedlabhitan dan keadilan para rawinya Hadits hasan yang tinggi martabatnya, ialah yang bersanad ahsanul’il-asanid.
Kedudukan Hadits shahih dan hasan dalam berhujjah adalah kedua-duanya sifat dapat diterim (maqbul) walu rawi Hadits hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi Hadits shahih, tetapi rawi Hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melaukan perbuatan dusta.
Cara mengatasi Hadits makbul yang saling berlawanan (mukatalif) adalah pertama kita berusaha untuk mengumpulkan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya. Kedua hendaklah kita mencari, mana diantara kedua Hadits tersebut yang datang lebih dahulu, dan mana yang datang kemudian. Ketiga, yaitu beralih kepada penelitian mana Hadits yang kuat baik sanad maupun matannya untuk ditarjihkan. Keempat, jika semuanya tahapan diatas gagal maka kedua Hadits tersebut mesti dibekukan.
Hadits Dhaif ialah Hadits yang kehilangan suatu syarat atau lebih dari syata-syarat Hadits shahih atau Hadits hasan. Klasifikasinya adalah terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun kehafalannya, dan ketidak bersambungan-sambunbgannya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebnih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Macam, macam Hadits dla’if: Hadits maudlu’ adalah Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah saw., secrara palsu dan dusta, hal itu disengaja, maupun tidak. Ciriciri yang terdapat pada sanad adalah: pengakuan dari si pembuat sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat Hadits maudlu’, qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya. Sumber-suber yang diriwayatkan dalam Hadits maudlu’ adalah biasanya dari fikiran sendiri atau pendapat sendiri dan kutipan dari orang-orang besar atau torang ‘alim pada waktu itu.
Motif yang bisa mendorong untuk membuat Hadits maudlu’ adalah mempertahankan idiologi partainya (golonganny) sendiri dan menyerang partai lawannya. Untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang zindiq. Fanatik kebangsaan, kesukuan, kedaerahan, kebahasaan dan kultus individu terhadap imam mereka. Membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat untuk menarik minat para pendengarnya. Mempertahankan mazhab dalam masalah khalifiah fiqhiyah dan kalamiyah. Mencari muka dihadapan para penguasa untuk mencari kedudukan atau mencari hadiah. Kejahilan mereka dalam agama disertai dengan adanya kemauan keras untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya.
Usaha para ulama dalam memberantas pemalsuan Hadits adalah dengan : mengisnadkan Hadits, meningkatkan perlawatn mencari Hadits, mengambil tindakan kepada para pemalsu Hadits, menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya, membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi Hadits, membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri Hadits maudlu’,
Hadits Matruk ialah Hadits yang menyendiri dalam periwayatannya, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perHaditsan. Hadits Ma’ruf adaah Hadits yang menyendiri dalam periwayan yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahan atau jelas klasifikasinya yang bukan karena dusta.
Hadits Mu’alal adalah suatu Hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyidikan, tampak adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewashalkan (menganggap bersambung suatu sanad) Hadits yang munqathi (terputus) atau memasukan sebuah Hadits pada suatu Hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu.
Hadits Mudraj (saduran) hadis ini adalah yang disadur dengan sesuatu yang bukan Hadits perkiraan, bahwa sandaran itu termasuk Hadits.
Hadits Maqlub, yaitu Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi Hadits lain) di sebabkan mendahulukan dan mengakhirkan.
Hadits Mudltharrib, adalah Hadits yang mengkhalafahnya (menyalahi dengan Hadits lain) terjadi dengan pergantian pada satu segi, yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarihkan.
Hadits Muharraf, ialah Hadits yang mukhalafahnya (menyalahi Hadits riwayat orang lain) terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata, dengan masih tetapnya bentu tulisannya.
Hadits Mubham, majhul dan matsur, Hadits mubham madalah Hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang dijelaskan pakah laki-laki atau perempuan,
Hadits Syadz dan mahfudh, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqoh) menyalahi riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi-segi pentarjihannya.
Hadits Mukhtalih adalah Hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Macam-macam Hadits dla’if adalah Hadits Mu’allaq ialah Hadits yang gugur rowinya seorang atau lebih dari awal sanad. Dan Hadits Mursal, yaitu Hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seorang setelah tabi’iy. Klasifikasinya adalah mursal jaly dan mursal shahaby.
Hadits Mudallas, adalah Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa Hadits itu tiada bernoda. Macamnya adalah tadlis isnad, Tadlis Syuyukh dan tad-lis taswiyah (tajwid). Hukum Hadits mudalas adalah karena terdorong oleh suatu maksud jahat untuk menutupi cacata gurunya atau menutupi kelemahan suatu Hadits.
Hadits Munqathi, adalah Hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat, di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
Hadits Mu’dlal, adalah Hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat tabi’y bersama tabi’in, maupun orangs ebeblum shahaby dan tabi’iy.

BAB IV
MENGISNA-KAN DAN HAL-HAL
YANG BERHUBUNGAN DENGAN ISNAD

Mengisnadkan Hadits yakni mencari sanad suatu Hadits, merupakan usaha yang urgen dalam bidang perHaditsan, karena dengan usaha ini, tercapailah maksud untuk membersihkan hits dari0 noda-noda yang dapat merusakan keshahihan Hadits.
Hadits ‘Aliy adalah Hadits yang melalui rijalu’s sanad yang sedikit jumlahnya sedangkan Hadits Nazil Hadits yang melalui rijalu’s sanad yang banyak. Macam-mcamnya adalah : ‘aliy mutlak, ‘ali nisby, ‘aliy tanzil, ‘ali bitaqdimi’l-wafat dan ‘ali bitaqdimi-sama.
Al-mazid fil-asanid adalah suatu Hadits yang bersanad satu, setelah diselidiki kadang-kadang diketemukan adanya kelebihan pada sanadnya penyelidikan tersebut dilakukan dengan memeriksa periwayatan para ahli Hadits yang lain.

BAGIAN: KETIGA
PERIWAYATAN AL-HADITS
BAB I
PENERIMAAN RIWAYAT (AL-HADITS)

Periwayatan anak-anak, orang kafir dan orang fasik, Jumhur muhadditsin berpendapat, bahwa seseorang yang menerima Hadits sewaktu masih kanak-knak atau masih dalam keadaan kafir atau keadaan fasik dapat diterima periwayatannya, bila disampaikannya setelah masing-masing dewasa, memeluk agama Islam dan bertobat. Adapun alasan jumhur tentang anak yang belum dewasa, dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ‘ijma. Yakni seluruh umat islam tidak ada yang membantah dan tidak ada yang membeda-bedkan riwayat-riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Banyak para sahabat yang menerima Hadits sewaktu beliau masih belum dewasa, seperti Abu Hsan, Al-Husein, Ibn ‘Abbas, Nu’man bin Basyir dan lain-lain.
Macam-macam menerima Hadits adalah, (1) sama’min lafdhi’s-saikhi, yani mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara didiktekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. (2) al-qira’ah ‘ala’s-syaikhi atau disebut juga dengan ‘aradl. Dikatakan demikian, karena si pembaca menyuguhan Haditsnya ke hadapn sang guru, baik ia sendiri yang membcanya maupun orang lain yang membacanya sedang dia mendengarkannya. (3) Ijazah, yakni memberikan izin kepada ornag lain, untuk meriwayatkan Hadits daripadanya, atau kitab-kitanya.

BAB II
MERIWAYATKAN (MENYAMPAIKAN) AL-HADITS

Suatu Hadits yang disampaikan dengan menggunakan lafadz atau shighat dengan menggunakan lafadz (sami’tu, sami’na) tahdits (hadatsany, haddatsna) dan ikhba (akhbarani, akhbaran) lebih meyakinkan kepada kitra bahwa rawinya mendengar sendiri dri guru yang pernah memberikannya, dari pada kalau diriwayatkan dengan shighat ‘an ‘anah itu memberi kesimpulan adanya kemungkinan untuk menyampaikan Hadits itu mendengar sendiri langsung dari gurunya atau sudah melalui orang lain.
Hadits mu’an’an dan Hadits muannan, adalah jik seorang rawi meriwayatkan suatu Hadits dengan lafadh ‘an (dari), Haditsnya disebut dengan Hadits mu’an’an, dan ia disebut mu’an’in. dan jika seorang rawi meriwayatkan dengan lafsdz anna (bahwasanya), Haditsnya disebut mu-an-nan, dan ia disebut muannin. Suatu Hadits yang disampaikan dengan cara tersebut agar dapat di hukumi sebagaiman Hadits muttashil harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut : (a) si mu’an’in bukan seornag mudallis (b) si mu’an’in harus pernah berjumpa dengan orang yang pernah memberinya.

BAB III
TAMBAHAN RIWAYAT DARI RAWI TSIQAH
(ZIYADATU’TS-TSIQAH)

kadang-kadang seorang rawi tsiqah menambahkan perkataannya sendiri atau perkataan orang lain, pada matan suatu Hadits dengan maksud untu memberi penjelasan atau menambah ke tentuan baru, yang tidak tercakup di dalam aslinya. Tambahan riwayat dari rawi tsiqah ini, dipersilahkan oleh para ulama tentang diterima atau tidaknya. Secara terperinci perselisihan tersebut menimbulkan 11 macam pendapat. (1) diterima secara mutlak, baik tambahan tersebut berasal dari rawwi yang meriwayatkan Hadits tanpa tambahan, maupun dari rawi yang meriwayatkannya dengan sempurna (menambah), baik bertambah itu berpautan dengan hukum syara’ maupun tidak, baik sampai mengubah ketentuan hukum yang sudah positif maupun tidak, baik samapi merusakan hukum yang telah ditetapkan oleh sebuah Hadits yang bukan Hadits itu maupun tidak. (2) tidak diterima secara mutlak baik tambahan tersebut berasal dari rawi yang meriwayatkannya tanpa tambahan,maupun dari rawi yang selainnya (3) diterima, bila memberikan tambahan itu bukan orang yang meriwayatkan dengan tambahan. (4) diterima, apabila rawi tersebut mendengar Hadits kedua-keduanya. Baik yang memakai tambahan maupun tidak. (5) tidak diterima (ditolak) bila kebanyakan rawi membuang tambhan tersebut. Kalau saqma banyak jumlah antara rawi yang membuang tambahan rawi yang memberi tambahan, maka dapat diterima, apalagi kalau memberi tambahn itu lebih banyak, tentu lebih dapat diterima, pendapat ini dinukil dari imam razy (6) tidak diterima, bila masing-masing Hadits, baik yang ada ziyadah maupun tdak, diriwayatkan oleh dua orang atau lebih, sedang rawi-rawi yang tidak memberi tambahan itubukan karena lupa. (7) tidak diterima, kalu tambahanb tersebut tidak membwa akibat hukum. Adapun kalu membawa akibat hukum diterima. (8) diterima selama tambahan tersebut tidak mengubah ‘irannya, yang menimbulkan suatu perlawanan (ta’arudl). (9) tidak diterima selama tambahan tersebut mengubah I’rab secara mutlak. (10) diterima bila rawi yang menambahnya seorang hafidz. (11) diterima selama tambahannya itu hanya lafadhnya saja. Tidak sampai mengubah artinya. 0

BAB IV
PERLAWANAN RIWAYAT RAWI-RAWI TSIQAH

Muttasil dan mursal, al-Bukhary berpendapat deikian dengan mengemukakan alasan, bahwa rawi-rawi yang meng-ittisalkan itu tentunya mempunyai pengetahuan yang melebihi daripada rawi-rawi yang tsiqah dalam hal ini, ialah berupa hafalan mengenai sanad yang tidak diketahui oleh rawi-rawi yang lain. Hafalan itu merupakan salah satu syarat untk menerima suatu Hadits dalam berhujjah.
Marfu’ dan mauquf apabila sebagian dari rawi-rawi tsiqah meriwayatkan Hadits yang diriwayatkan dengan cara yang marfu, dan sebagian rawi shiqah yang lain meriwayatkan dengan cara mauquf.

BAB V
MACAM-MACAM RIWAYAT

Riwayat ‘i-aqran adalah seorang rawi meriwayatkan sebuah Hadits dari kawan-kawannya yang sebaya umurnya, atau yang seperguruan, yakni sama-sma belajar dari seorang guru.
Riwayatu’l-akabir ‘ani’l-ashaghir ialah periwayatan Hadits seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih dari rawi yang lebih rendah usianya atau lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru.
Riwayatu’sh-shahabah ‘ani’t-tabi’in ‘anish-shahabah ialah periwayatan seorang shababy yang diterima dari seorang tabi’iy, sedang tabi’iy ini menerima dari seorang shahaby pula.
Riwayatu’s-sabiq dan riwayatu’l-lahiq, yaitu apabila dua orang rawi yang pernah bersama-sama menerima Hadits dari seorang guru, kemudian salah seorang daripadanya meninggal dunia, maka riwayat yang disampaikan oleh rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut dengan riwyatu’s-sabiq, sdang riwayat yang disampaikan oleh orang yng terakhir meniggalkannya disebut ‘il-lahiq.
Hadits Musalsal, adalah merupakan salah satu sifat yang terdapat pada sanad (rawi) saja. Berlainan dengan marfu’ yang merupakan salah satu sifat yang terdapat pad matan saja.
Muttafiq dan muftariq adalah persesuaian mengenai sifat-sifat dan keadaan para rawi dalam menyampaikan Hadits. Adapun mengenai persesuaian antara rawi yang satu dengan yang lain itu mengenai nama asli, samaran, keturunan atau lain sebagainya dalam bentuk ucapan dan bentuk tulisannya, tetapi berkainan dengan orang yang dimaksud dengan nama tersebut.
Mu’talif dan mukhtalif kalau persamaan nama rawi kun-yah laqab dan lain sebagainya itu pada bentuk tulisannya (khat) saja, sedang pada lafdh (ucapannya), maka Hadits yang sanadnya demikian itu disebut mu’talif dan sebagai lawannya disebut Hadits mukhtalif.

BAGIAN: KEEMPAT
ILMU-ILMU HADITS
BAB I
ILMU RIJALI’L-HADITS

Ilmu Rijali’l Hadits adalah ilmu pengetahuan yang dalam pembahasanya, membicarakan hal ikhwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Sahabat, didefinisikan menurut MuHaditsin adalah orang yang bertemu Rasulullah saw. Dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw. Masih hidup, dalam keadaan Islam lagi iman.
Sahabat yang murtad, adalah sahabat yang yang pernah bergaul dengan Rasulullah saw. Dalam keadaan Islam dan iman, tetapi kemudian murtad, seperti ‘abdullah bin jahsy dan ‘abdullah bin khathai, bukan lagi dianggap sahabat, akan tetapi kalau seorang sahabat yang murtad itu kemudian kembali lagi menjadi seorang Islam, baik kembalinya itu di saat Nabio masih hidup maupun setelah wafat, masih dapat di masukan dalam golongan sahabat.
Cara mengetahui sahabat: (1) ditentukan oleh khabar-mutawatir, (2) ditetapkan oleh khabar masyhur dan mustafidl, (3) diberitakan oleh sahabat yang lain (4) keterangan seorang tabi’iy yang tsiqah. (5) pengakuan sendiri seorang yang dianggap adil di zaman Rasulullah.
Keadilan sahabat adalahkeadilan dalam periwayatan hadits, bukan keadilan dalam soal persaksian. Baik mereka yang terlibat fitnah pembunuhan, maupun yang tidak terlibat.
Nilai dan kedudukan Sahabat, nilai dan kedudukan para sahabat itu berbeda-beda, mengingat perbedaan ilmu pengetahuan, kecakapan dan keadaan yan terdapat pada diri mereka masing-masing. Seperti banyak atau sedikitnya ilmu mereka membrikan fatwa, hafidz atau tidaknya terhadap al-Qur’an, awal atau akhirnya dalam memeluk agama Islam dan lains ebagaiya.
Seutama-utamanya sahbat adalah Abu Bakar ash-ghiddiq, kemudian setelah itu ‘umar bin Khattab, Ustman dan ‘Ali.
Sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits adalah: Abu Hurairah neliau mriwayatkan Hadits sebanyak 5374 buah. Abdullah bin ‘Umar beliau meriwayatkan 2630 buah. Anas bin Malik beliau meriwayatkan 2286 buah. Ummu’l-mukminin ‘Aisyah beliau meriwayatkan 2210 buah. ‘Abdullah Ibn’l ‘Abbas beliau meriwayatkan 1660 buah. Jabir bin ‘Abdullah beliau meriwayatkan 1540 buah. Abu Sa’id al-Khudry beliau meriwayatkan Hadits 1170 buah.
Sahabat yang banyak fatwanya: ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Umar ibn’l Khatthab, Ummu’l-mukminin ‘Aisyah,, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ali bin ‘Abi Thalib.
Sahabat yang mendapat gelar Abdilllah adalah: ‘Abdullah Ibnu ‘Umar, ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah Ibnu ‘Zubair, ‘Abdullah Ibnu Amr ibni ‘l Ash
Seutama-utama tabi’in adalah Uwais bin ‘Amir Al-Qarny. Golongan tabi’in adalah : Muhadlramin, adalah orang-orang yang mengalami hidup pada jaman Jahiliah dan hidup pada jaman Nabi Muhammad saw., dalam keadaan Islam, tetapi tidak sempat menemuinya dan mendengarkan Hadits daripadanya. Al-Mawaly, adalah para rawi dan ulama yang semula asalnya budak. Mengetahui mawaly ini juga termasuk hal yang tidak baik untk diabaikan.
Dalam pembagian ilmu rijal’i-hadits : Ilmu tarikhu’r-ruwah dan ilmu jarhu wat-ta’dil.

BAB II
ILMU TAWARIHI’R-RUWAH

Ilmu untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan Hadits. Karena itu ia mencakup keterangan tentang hal ikhwal para rawi, tanngal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari guu-gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dankampung halamannya, perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri-negeri yang berbeda-beda, mendengarkan Hadits dari sebagian guru sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan lain sebagainya ada hubungannya dengan masalah perhaditsan. Faedah ilmu ini adalah mengetahui muttashil atau munqhathi’nya sanad Hadits dan untuk mengetahui marfu’ atau mursalnya pemberian hadits.

BAB III
ILMU THABAQAH

Thabaqah adalah ilmu pengetahuan yang dalam poko pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama. Istilah thabaqat ini ialah ibarat kelompok rawi yang sebaya umurnya dan bersama-sama mendapat ilmu dari guru-guru mereka. Para Ulma membagi thabaqat shahabah kepada beberapa golongan yaitu; Ahli badar, Mereka yang masuk Islam lebih dulu, berhijrah ke Habsyi danmeyaksikan pertemuan-pertemuan sesudahnya., mereka yang ikut perang khandaq, wanita-wanita yang masuk Islam, setelah Mekkah terkalakan dan sesudahnya, Anak-anak.
Faedah memgetahui thabaqat dan tabi’in ialah untuk mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suat Hadits, sebab suatu hadits dapat ditentukan sebagi hadits muttashil atau mursal, kalau tidak diketahui apakah tabi’iy yang meriwayatkan Hadits dari shahaby itu hidup segenerasi atau tidak.

BAB IV
ILMU JAHRI WA’T-TA’DIL
(Mencatat dan meng-adil-kan rawi)

Ilmu in adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang meberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi. Atau ialah ilmu yang membahas hal ikhwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Faedah mengetahui ilmu jarh wat-ta’dil itu ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapt diterima atau harus ditolak sama sekali.
Macam-macam keaiban rawi: Bid’ah (melakukan tindakan tercela) Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah) Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya) Jahalatu’l-hal (tidak dikenal identitasnya) dan Da’wa’l-inqitha (diduga keras sanadnya tidak tersambung)
Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi adalah dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, dan dengan pujian seseorang yang adil (gelar).
Perlawanan antara jahr dan ta’dil adalah jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak dari pada jarhnya. Ta’dil harus didahulukan daripada jrh karena si jrh mengaibkan si rawi kurang tepat. Bila jumlah mu’addil-nya lebih banyak dari padanya, didahulukan ta’dil sebab jumlah yang banyak itu dapat memperuat kedudukan mereka. Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.

BAB V
ILMU GHARIBI’L-HADITS

Ilmu ini adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan Hadits yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali digunakannya.
Cara muhaditsin mengemukakan hal-hal yang dapat digunakan untuk mentafsirkan ke ghariban matan Hadits diantanya adalah; Hadits yang sanadnya berlainan dengan Hadits yang bermatan gharib tersebut. Penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau dari sahaba lain yang tidak meriwayatkannya. Dan penjelsan dari rawi selain sahabat.

BAB VI
ILMU ASBABI WURUDI’L-HADITS

Yang dimaksud dengan ilmu asbabul wurudi’l-hadits tau sebab lahirnya Hadits sama dengan ilmu tarikhul hadits akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya tercakup dalam ilmutarukh dan mempunyai faedah yang besar sekali dalam lapangan ilmu Hadits, nmaka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu ini suatu ilmu pengetahun tersendiri, sebagai cabang ilmu Hadits dari jurusan matan.
Faedah mengetahui ilmu asbabi wurudi’il Hadits yaitu untuk menolong memahami dan mentafsirkan al-Hadits, mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari’at (hukum), untuk mentkhsiskan hukum, bagi orang yang berpedoman kaidah ushul fiqh.
Cara mengetahui sebab-sebab lahirnya Hadits adalah hanya dengan jalan riwayat saja, karena tidak ada jalan bagi logika.

BAB VII
ILMU TAWARIKHU’LMUTUN

Hadits ini menitik beratkan tentang membahas latar belakang dan sebab-sebab lahirnya Hadits, dengan kata lain kenapa Nabi bersabda atau berbuat demikian?. Faedahnyauntk mengetahui nasikh dan masukhnya suatu Hadits, sehingga diamalkan yang nasikh dan ditinggalkan yang mansukh.

BAB VIII
ILMU NASIHK DAN MANSUKH

Ilmu yang membahas Hadits-Hadits yang saling berlawan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hokum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus) karena itu Hadits yang mendahului adalah sebagai manskh dan Hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.
Faedah mengetahui ilm ini adalah termasuk kewajiban yang penting bagi orang-orangyang memperdalam ilmu-ilmu syari’at. Karena seseorang pembahas ilmu syari;at tidak akan dapat memetik ,hukum dari dalil-dalil naskh dalam kaitan ini adalah Hadits tanpa mengetahui dalil-dalil yang sudah dinasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya.
Jalan atau cara untk mengetahui nask adalah dengan penjelsan nash atau syar’i sendiri yang dalam hal yang terakhir ialah Rasulullah saw., peribadi. Dengan penjelsan dari sahabat, dengan mengetahui tarikh keluarga Hadits.

BAB IX
ILMU MUKHTALIFU’L-HADITS

Adalah ilmu yang membahas Hadits-Hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas Hadits-Hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya untuk menghilangkan kesukaran dan menjel;askan hakikatnya.
Yang menjadi obyek hadits ini adalah hadits yang saling berlawan itu, untuk dikompromikan kandungannya baik dengan jalan membatasi kemutlakannya maupundengan mengkhususkan keutamaannya dan lain sebagainya, atau Hadits yang musykil, untuk dita’wilkan hingga hilng kemusykilannya, walaupun Hadits-hadits musykil ini tidak saling berlawanan. Kepentingannya adalah ilmu Hadits yang dibutuhkan oleh para Muhaditsin dan para fuqoha dan lainnya.


BAB X
ILMU ‘ILALI’L-HADITS

Yaitu ilmu yang mebahas tentang sebab-sebab yang samar-samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatran suatu hadits. Seperti memuttasshilkan (menggangap bersambung) sanad suatu Hadits yang sebenarnya sanad itu muqaathi’ (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai kepada nabi)berita yang mauquf (berit yang berakhir kepada sahabat), menyisipkan Hadits pada hadits yang lain. Meruwetkan sanad dengan matannya atau lain sebagainya.
Tempat-tempat ‘illat adalah sanad, matan dan sanad dan matan bersama-sama. Pada sanad ‘illat yang terdapat di dalam sanad lebih banyak terjadi jika dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada matan. Mia adakalanya menjadikan cacat pada sanadnya saja, tidak sampai mencatat matannya dan adakalnmya kecacatannya itu merembet kepada matan matannya sekali.
Pada matan ‘illat yang terdapat pada matan itu tidak sebanyak ‘illat yang terdapat pada sanad. Sebagian contoh hadit yang ber’ilt pada matannya ialah Hadits yang di0triwayatkasbn oleh Ibrahin bin Thuhman.
Pada sanad dan matan ‘illat ini yang dapat pada sanad dan matan mempunyai pengaruh yng mencacatkan kepada keduan (sand dan matan) contoh Hadits yang berilat pada sanad dan matan seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Baqiyah bin Al-Walid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar