SELAMAT DATANG

selamat datang di blog kami semoga anda dapat mendapatkan infomasi yang anda butuhkan, kami senang dapat membantu anda

Kamis, 24 Desember 2009

Resume : Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern

Judul :
Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern
Oleh :
J.J.G. Jansen
Pengantar :
Muhammad Nur Kholis, MA
Diterjemahkan dari buku
“The Interpretation of The Koran in The Modern Egypt”
Penerjemah :
Hairussalim, Syarif Hidayatullah
Diterbitkan oleh :
PT. Tiara Wacana Yogya, Cetakan Pertama, Agustus 1997
Di ragkum oleh:
Dedi Suhendar 204102322
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Fak. Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung



Kesimpulan
Ada dua alasan yang menyebabkan kita mendapatkan kesulitan dalam membandingkan tafsir al-Qur’an dan tafsir Injil. Pertama, kedudukan al-Qur’an dalam Islam berbeda sekali dengan kedudukan Injil dalam Kristen, sebab umat Islam menganggap al-Qur’an sebagai kalamullah yang qadim, yang hampir setara dengan anggapan umat Kristiani terhadap Yesus sebagai anak Tuhan. Kedua, dalam agama Yahudi dan Kristen, para penganutnya dapat mempertimbangkan secara bertahap teks-teks mana saja yang dianggap masuk atau tidak dalam kitab sucinya. Ini artinya berarti tidak ada norma yang mendrong terhadap kebutuhan bersekala besar akan penafsiran teks-teks suci tersebut. Si sisi lain, ketika Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 M, umat Islam dihadapkan kepada kebutuhan mendasar untuk menjelaskan dan mempergunakan ayat-ayat suci yang telah mereka terima melalui Muhammad. Setelah Muhammad wafat, sangat jelas, tidak ada harapan bagi mereka untuk menerima wahyu-wahyu tambahan. Atas dasar inilah, kaum muslimin akhirnya dihadapkan kepada tugas untuk memberikan penafsiran-penafsiran dan tanggapan-tanggapan terhadap materi al-Qur’an yang ada. Hal ini bisa dijelaskan mengapa semenjak awal, tafsir al-Qur’an tampak agak dibuat-buat (artifisial).
Dikalangan orientalis, selalu ada perhatian yang sangat besar terhadap tafsir-tafsir Islam. Sebagian besar tafsir al-Qur’an yang diterbitkan di Mesir semenjak awal-awal abad ini dan terhadap mana karya-karya Barat tetang tafsir al-Qur’an dan sejarahnya (terutama yang penting karya I Goldziher, J. Jomier dan J.M.S. Baljon), tida merujuknya, memerlukan perhatian yang lebih teliti.
Kebanyakan isi dari tafsir-tafsir modern mengungkapkan tentang filologi al-Qur’an, tentang al-Qur’an dan sejarah alam, dan tentang al-Qur’an dan masalah-masalah sehari-hari umat Islam dunia. Bisa dikatakan bahwa ada tiga aspek dalam tafsir-tafsir mesir modern, aspek sejarah Islam, aspek filologi dan aspek praktis. Isi masing-masing tafsir sedikit banyak heterogen. Karena itu, sangat tidak akurat membahas hanya ada tiga “kecenderungan” saja dalam tafsir modern, yang pasti tidak berarti bahwa kalangan mufassir dapat dipetakan kedalam tiga tiga kelompok, dan menurut tiga kecenderungan ini saja. Barangkali yang dapat dipastikan adalah bahwa suatu penafsiran al-Qur’an seharusnya memilki tiga aspek, yakni; makna “literal” dari naskh (tafsir filologi), signifikansi antara nash dengan maslah-masalah sehari-hari (tafsir praktis), dan signifikansi nash dengan masalah pengetahuan manusia (tafsir “ilmiah”, tafsir ‘ilmi). Dengan demikian sangatlah mungkin untuk menganalisis tafsir-tafsir lama dengan menggunakan cara yang sama. Bagaimana pun, tafsir-tafsir al-Qur’an yang dihasilkan semenjak zaman Muhammad Abduh (1848/9-1905 M) sangat diwarnai dengan tiga aspek ini. Tak ada tembok besar Cina yang membedakan antara tafsir-tafsir lama dan baru. Karena itu seringkali sukar dalam memahami salah-satunya tanpa mempertimbangkan yang lainnya. sekarang, orang-orang Mesir yang mencurahkan perhatian mereka terhadap tafsir al-Qur’an mempelajari keduanya (lama dan baru) secara cermat dari sudur ke sudut. Tampaknya, perbedaan terpenting dari kedua kelompok tafsir tersebut terletak pada bahwa tafsir-tafsir “klasik” ditulis pada zaman di mana orang yang mampu membacanya adalah mereka yang semata-mata telah menerima pendidikan agama (tehoritical trainng), sebaiknya, tafsir-tafsir modern (sering secara eksplisit) tertuju kepada masyarakat yang belajar membaca dan menulis di teras (luar) masjid. Namun sangat mengherankan, bentuk dan sisi tafsir-tafsir modern seringkali bercorak tradisional. Sungguh luar biasa bahwa kaum Muslim yan berkarya pada tafsir “ilmiah” menggunkan ilmu pengetahuan alam dari Barat, hingga pada tingkat dimana tafsir-tafsir itu bisa lebih akurat berbicara tentang pokok-pokok elementer “sejarah alam”. Dilain pihak, dalam agma Yahudi dan kristen, teks kitab suci sering dignakan untuk menyelidiki kebenaran sejarah; umat yahudi dan kristiani tertentu memiliki anggapan bahwa janji yang harapkan akan jatuh sebuah kerajaan 6yang saling bermusuhan dapat diperoleh dengan cara melakukan penelitian secara cermat terhadapa kitab suci. Jenis tafsir “sejarah” ini hampir tidak dikenal oleh umat Islam.
Tafsir filologi islam tidak pernah mendasarkan pada prinsip e mente autoris yang dipergunakan di lingkungan Kristiani tertentu, sebab umat Islam meyakini bahwa Allah adalah “pengarang” al-Qur’an. Bagaimanapun, prinsip e mente auctoris biasanya dipergunakan dengan cara negatif, suatu penafsiran yang karena satu atau lain alasan ditolak, sebab sebagaimna yang dilakukan oleh Lukas sang pengabar Injil – ketika mencatat teks injil, tidak bisa memahaminya.
Kenyataan bhwa orang tidak dapat enilai apa yang Tuhan Maha Besar memaksudkan dan apa yang tidak menyebabkan perinsip e mente auctoris tidak dapat diterapkan karena dianggap sebagi suatu kaidah penafsiran yang “negatif” bagai para mufasir Muslim. Akan tetapi, ada suatu kesamaan prinsip yang dipergunakan oleh para mufassir modern; yaitu kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa al-Qur’an harus diphami sebagaimana yang telah dipahami olek kaum Muslimin Mekah dan Madinah generasi pertama. Dan bahwa sebuah penafsiran yang tidak sesuai dengan lingkungantersebut tidak sah.
Akhirnya, perlu diperhatikan bahwa tafsir filologi al-Qur’an telah menunjukan suatu tahap stratifikasi tertentu. “Tahap” pertama adalah, stui tentang makna pasti dari kosa-kata (mufrodat) al-Qur’an, telah dilakukan pada masa Ibn Abbas (Abad ke-7 M.) “tahap” kedua, studi tentang sintaksis al-Qur’an, dimulai oleh karya Abu ‘Ubaydah (abad ke-9, M) dan encapai puncaknya pada karya az-Zamakhsyari (abad ke 12 M). Sedikit dari “tahapan” tersebut kini telah hilang. Dalam tafsir-tafsir paling baru sekarang ini kelihatan “jejak-jejak” dari karya Ibn Abbas, Abu’Ubaydah dan az-Zamakhsyari tersebut.
Tafsir-tafsir praktis al-Qur’an masih berkaitan dengan seluruh keghidupan Umat Islam. Tidak saja mencurahkan pada persoalan ketatan seperi puasa, namun juga membicarakan persoalan-persoalan duniawi seperti hukum pidana dan perselisihan yang terjadi di masyarakat Muslim. Ketika membaca tafsir-tafsir yang demikian orang harus mengingat bahwa sejauh pembicaraan tersebut tidak terdiri dari generalisasi-generalisasi yang dibuat, ia seringkali hanya membuat potensi yang berkaitan dengan al-Qur’an dan penafsiran-penafsiran secara baik. Seringkali subjek perdebatan yang sebebnarnya berada pada tingkat pengaruh Barat terhadap para sarjana (ulama) dan aspek-aspek kehidupan religius dan keduniaan bisa ditolelir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar