se
Judul :
Al-Qur’an dan Hadist (Dirasah Islamiyah I)
Oleh :
Drs. Abuddin Nata, M.A.
Penyunting :
H.a. Hafiz Anshary AZ.
Cetakan ke enam, Oktober 1998
Diterbitkan oleh :
PT. RajaGrafindo Persada Jakarta
Di ragkum oleh:
Dedi Suhendar 204102322
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Fak. Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
BAB I
AGAMA DAN MENGAPA MANUSIA BERAGAMA
Dalam mayarakat Indonesia selain dikenal kata agama, dikenal pula kata al-dien dari bahasa Arab dan religi dari bahasa Eropa . Sebagian ada yang mengatakan agma bersal dari kata a = tidak dan agama = kacau atau kocar-kacir.dari keterangan diatas Harun nasution menyimpuilkan beberapa definisi agama sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib.
2. Pengakuan terhadap kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. mengikatkan diri pada suatu bentuk yang berada diluar diri manusia dan mempengaruhi perbuaan manusia.
4. kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang bersal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiaban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Rasul .
Unsur-unsur penting dalam agama yaitu
1. Kekuatan gaib yang dibutuhkan oleh manusia karena manusia merasa lemah dan berhajat kepadanya sebagi tempat memohon pertolongan.
2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraanya didunia dan hidupnya di akhirat nanti tergantung pada hubungan yang baik dengan kekuatan gaib itu.
3. Respon bersifat emosional dari manusia.
4. Paham adanya yang kudus/suci dalam bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu .
Secara psikologis manusia memilki perasaan akan adanya sesuatu yang menguasai alam dirinya, yaitu sesuatu yang mengatur dan menyususn peresaran alam ini. Secara sosiologis manusia sebagai makhluk sosial mutlak memerlukan agama. Kehidupan sosial yang tidak diatur oleh agam akan melahirkan kekacauan, dan menyeret manusia kepada kehidupan ala binatang yang tidak mengenal nilai-nilai moral, kesopanan, dan budi pekerti.
BAB II
TUJUAN-TUJUAN POKOK AGAMA ISLAM
Menurut ilmu bahasa (etimologi), Islam bersal dari bahasa Arab, dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri. Agma Islam secara umum adalah membawa manusia kepada kehidupan yang baik, sejahtera lahir dan batin, sehingga memperoleh kedamaian dan ketentraman hidup dunia dan akhirat. Dan agma Islam berpdoman kepada al-Quran sebagai ajarannya yang meliputi tiga bidang yaitu aqidah, akhlak dan ibadah.
Aqidah, bersal dari kata ‘aqada-ya’qidu-aqdan atau ‘aqaidatan yang berarti mengikatkan. Bentuk jamk dari ‘aqidah adalah ‘aqaid yang berarti simpulan atau ikatan iman. Pengertian awidah itu terdiri dari enam perkara: (1) Makrifat kepada Allah, (2) Makrifat terhadap alam yang ada dibalik alam semesta ini (3) makrifat terhadao kitab-kitab Allah SWT, (4) Makrifat dengan Nabi-nabi dan rasul-rasul yang dipili Allah SWT. (5) makrifat terhadap hari akhir, (6) makrifat kepada takdir (qadha dan qadar)
Akhlak bersal dari kata khilkun atau khuluqun yang mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun serta erat hubungannya dengan khaliq atau mukhaluq. Dari sinilah asal muasal ilmu akhlak yang mnerupakan koleksu ugeran (kaidah/norma) yang memungkinkan timbulnya hubungan baik antara makhluq dengan khaliq dan diantara sesama makhluk. Ilmu akhlak pada intinya adalah bertujuan mendidik manusia dan mensucikan jiwanya, mengangkat kedudukannya de tempat yang terhormat secara individual maupun kolektif, dan mengajarkan rasa tolong menolong diantara sesama manusia dengan sikap-sikap yang positif.
Ibadah bersal dari bahasa Arab ‘abada ya’bidu-‘ibadatan,’ubudatan dan ‘budiyatan, yang secara etimologis berbarti menyembah, menurut, dan merendahkan diri. Ibadah merupakan ihkwal penting dan wajib dilakukan oleh setiap manusia. Ibadah bertujuan memberikan latihan rohani yang diperlukan manusia. Juga menjadikan suci dalam jiwa yang akan menjadi alat kendali bahwa nafsu agar tidak melanggar nilai-nilai moral, peraturan, dan hukum Tuhan.
Hubungan di antara ketiganya yaitu akidah, ibadah dan akhlak dalam Islam adalah satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan karena, aqidah mendasari dan mengarahkan ibadah agar tertuju kepada tuhan, sedangkan ibadah membuktikan bahwa akudah ada dalam diri seseorang dan akhlak yang mulia adalah merupakan hasil perpaduan dari akidah dan ibadah tersebut.
BAB III
AL-QUR’AN BUKTI KEBENARAN ISLAM
Secara lughawi (bahasa) al-Qur’an berarti saling berkaitan, berhubungan antar suatu ayat dengan ayat lain, dan berarti pula bacaan. Semua pendapat yang dikemukakan oleh para Ulama dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an memperlihatkan kedudukannya sebagai kitabullah yang ayat-ayat dan surat-suratnya sling berhubungan, dan ia merupakan bacaan bagi kaum muslimin.
Al-Qur’an dinamai al-Qur’an karena ia dibaca, pembacanya adalah ibadah, dan orang yang membacanya mendapatkan pahala. Dinamani al-Furqan karena ia memisahkan anatar yang hak dan yang batil. Dinamai al-Kitab karena ditulis, an dinamai al_Dzikir karena ia berisi peringatan dari Allah. Didalamnya Allah menerangkan hal-hal yang halal, haram, hudud, faraid, dan lain-lain.
Al-Qur’an terdiri dari 6666 ayat yang dihimpun dalam 114 surat, mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas, kemurnian dan keaslian ayat-ayat tersbut dapat dilhat antara lain dari proses penulisannya. Wahyu pertama yang ditema Nabi ialah ayat 1 s/d 4 surat al-‘alaq, ketika belia berada di Gua Hira, sedangkan wahyu terakhir adalah ayat ke 3 surat al-Maidah, pada waktu beliau wukuf di Arefah melakukan haji Wada’ 9 Zulhijah, tahun kesepuluh Hijriah, bertepatan dengan 7 Maret 632 M.
Yang memmbedakan al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya adalah :
1. Isi al-Qur’an, adalah kalamullah atau firman Allah.
2. Cara turunannya, diturunkan melalui malaikat Jibril yang terpercaya.
3. Pembawaannya, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW seorang Rasul yang bergelar al-Amin (terpercaya).
4. Fungsinya, adalah sebagai dalil dan petunjuk atas kerasulan Nabi Muhammad SAW, pedoman hidup manusia, membacanya jadi ibadah, serta menjadi sumber petunjuk bagi kehidupan.
5. Susunannya, ayat-ayat al-Quran disusun sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW, karena itu susunan ayat ini bersifat tauqifi.
6. Penyampaiannya, al-Qur’an disampaikan kepada kita dengan cara mutawatir, dalam arti, disampaikan oleh sejumlah orang yang semuanya sepakat bahwa ia benar-benar wahyu Allah SWT, terpelihara dari perubahan atau pergantian.
BAB IV
TEMA-TEMA POKOK AL-QUR’AN
Tema pokok al-Qur’an adalah suatu cara penafsiran al-Qur’an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda-beda dalam surat al-Qur’an yang berkaitan dengan topik tertentu. Metode tafsir dengan melihat nama al-Tafsir al-Maudlu’i yang oleh Mahmud Syaltotout dinilai sebagai cara penafsiran yang seharusnya diteladani. Dalam operasionalnya, metode tafsir al-Maudlu’i menempuh langkah-lamgkah sebagai berikut :
1. Menentukan masalah yang akan dikaji.
2. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut
3. Menerangkan urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunannya atau perincian maslahnya denganmemisahkan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah.
4. Memahami hubungan (munasabah) ayat-ayat dalam surat-suratnya.
5. Menyusun pembahasan dalam suatu kerangka yang sempurna.
6. Melengkapi pembahasandengan hadist-hadist yng menyangkut masalah yang dibahas.
7. mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya, atau mengkompromikannya antaa yang ‘am (umum) dengan yang khas, yang muthlaq dengan muqayyad, atau yang kelihatannya kontradiktif, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan penafsiran.
Berikut ini adalah cara memahami tema-tema poko al-Qur’an mengenai keadilan, persamaan, musyawarah, dan perdamaian. Keadilan, di dalam al-Qur’an kata-kata adil diulang sebanyak 28 kali dalam bentuk kata kerja dan kata benda. Kata adil dalam al-Qur’an terkadang berarti seimbang, tebusan, menyimpang, mempersekutukan, adil, jujur dan benar. Musyawarah, dalam al-Qur’an term musyawarah didapati dalam tiga ayat, yaitu dalam surat al-syura 38 dengan memakai kata syura. Dalam al-Baqarah ayat 233 dengan memakai bentuk ungkapan tasyawur, dan dalam surat ali-‘Imran ayat 159 dengan ungkapan syawir. ketiga ayat tersebut mengandung pngertian istikhraj al-ra’y bi muraja’ah al-ba’dl ila ba’dl (menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok). Sekalipun ketiga ayat tersebut berbicara dalam konteks yang berbeda, namun term musyawarah terlihat punya esensi yang sama dalam ketiga ayat tersebut, yaitu mengambil keputusan melalui proses pemikiran bersma baik dalam skala besar maupun dalam skala yang kecil. Konsep Ibadah, dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 278 kali, suatu jumlah yang amat banyak dibandingkan dengan penyebutan kata-kata lainnya. kata tersebut dibagi kedalam tiga pengertian :
1. Kata ibadah atau al-abad berarti seorang budak, atau memperhamba diri kepada sesuatu yang dianggap lebih tinggi.
2. Kata ibadah dalam bentuknya yang lain yaitu al-‘ibadatu berarti tunduk
3. Kata ibadah dalam bentuk masdar (kata jadian) yaitu ‘abdahu, ma’badatan berarti tumbuh dan berlindung pada-Nya.
BAB V
AL-QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari berbagai defini yang ada penyusunn menyimpulkan banhwa ilmu pengetahuan adalah fakta-fakta yang disusun secara seksama dan sistematis sehingga ia merupkan suatu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Fakta-fakta tersebut diperoleh melalui proses pengkajian yang mendalam, seperti pengamatan, penggolongan, penguraian, dan penyimpulan. Salah satu sifat umum ilmu pengethauan adalah dapat diterima oleh rasio atau akal. Dengan penggunan akal dan pikiran tersebut ilmu pengethuan dapat diperoleh dan dikembangkan. Kata-kata yang yang dipakai dalam al-Qyr’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir adalah sebagai berikut :
1. Nazara, yaitu melihat secara abstrak, dalam arti berfikir dan merenung.
2. Tadabbara, yaitu merenungkan suatu yang tersurat dan yang tersirat.
3. Tafakkara, yaitu berfikir secara mendalam
4. Faqiha, yitu mengerti secara mendalam.
5. Tazakkara, berarti mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari.
6. Fahima, memahami dalam bentuk pemahaman yang mendalam.
7. ‘Aqala, yang artinya menggunakan akal rasio. Di dalam al-Qur’an tidak kurang dari 45 ayat yang berbicara tentang pemakaian akal merupakan bagian integral dari pengembangan ilmu pengetahuan.
Menurut pandangan penulis buku ini nyatalah bahwa sebagian ilmu al-Qur’an itu tidak dapat diketahui kecuali dengan berpegang kepada naqal semata-mata dan sebagian lainnya dapat di-peroleh dengan jalan tafakur dan ta’ammul dengan pembahasan dan penyelidikan. Berikut ini adalah pokok-pokok ilmu al-Qur’an :
1. Ilmu Mawathin al-Nuzul
Yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat turunnya ayat, masanya awal dan akhirnya.
2. Ilmu Tawarikh al-nuzul
Yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu, dari awal turun hingga akhirnya, dan tertib turunnya surat dengan sempurna.
3. Ilmu Asbab al-Nuzul
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat.
4. Ilmu Qira’at
Yaitu ilmu yang menerangkan rupa-rupa qira’at (bacaan al-Qur’an yang diterima Rasulllulah SAW)
5. Ilmu Tajwid
Ilmu yang menerangkan cara membaca al-Qur’an, tempat mulai dan pemberhentiannya, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu.
6. Ilmu Gharib al-Qur’an
Ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapt dalam percakapan sehari-hari.
7. Ilmu I’rabil Qur’an
Ilmu yang menerangkan baris al-Qur’an dan kedudukan lafal dalam ta’bir (susunan kalimat).
8. Ilmu Wujuh wa al-Nazahair
Yaitu ilmu yang menerangkan dimaksud pada satu tempat. Ilmu ini dapat mempelajari dalam kitab mu’tarak di aqran, karangan al-Suyuti
9. Ilmu Ma’rifat al-Muhkam wa al-Mutasyabih
Ilmu yang menyatakan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyabih.
10. Ilmu al-Nasikh wa al-Mansyukh
Yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian mufasir.
11. Ilmu Bada’i alQur’an
Ilmu yang membahas keindahan-keindhan al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan tentang kesusastraan al-Qur’an, kepelikan-kepelikan dan ketinggian-ketinggian balaghah.
12. Ilmu I’daz al-Qur’an
Yaitu ilmu yang menerangkan kekuatan susunan tutur al-Qur’an, sehingga ia dipandang sebagai mukjijat, dapat melemahkan segala ahli bahasa Arab.
13. Ilmu Tanasub ayat al-Quran
Ilmu yang menerangkan persesuaian anatra satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
14. Ilmu Aqsam al-Qur’an
Yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan atau sumpah-sumpah lainnya yang terdapat di dalam al-Qur’an
15. Ilmu Amstsal al-Qur’an
Ilmu yang menerangkan segala perumpamaan yang ada didalam al-Qur’an.
16. Ilmu Jidal al-Qur’an
Ilmu untuk mengetahui rupa-rupa debat yang dihadapkan al-Qur’an kepada kaum musyrikin dan lain-lain.
17. Ilmu Adab al-Tilawah al-Qur’an
Yaitu ilmu yang mempelajari segala bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan di dalam membaca al-Qur’an.
BAB VI
POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN
Islam bukan hanya terdiri dari satu dua aspek, tetapi memilki berbagai aspek. Agama ini mempunyai aspek teologi, ibadat, moral, mistisme, filsafat, sejarah, kebudayaan, dan lain sebagainya. Seperti halnya penjelasan singkat dibawah ini.
Ilmu Tauhid, ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud tuhan, sifat-sifat yang musti ada, sifat yang mustahil dan sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, sifat yang wajib, mustahil dan jaiz padanya.
Ilmu hukum, Hukum Islam atau fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah praktis, diambil dari dalil-dalil yang terinci. Dalil-dalil yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah antara lain bersumber pada al-Qur’an. Perincian ilmu hukum yang terdapat pada al-Qur’an hanya terdapat 5,8% dan pada ayat-ayat berikut ini : 140 ayat tentang ibadah shalat, puasa, haji, zakat, dan lain-lin, 70 ayat tentang hidup berkeluarga, 70 ayat mengenai perdagangan, 30 ayat tentang soal kriminal, 25 ayat tentang hubungan Islam dan non-Islam, 13 ayat mengenai soal pengadilan, 10 ayat tentang kaya dan miskin, dan 10 ayat tentang kenegaraan.
Ilmu Tasawuf, tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada di hadirat Tuhan.
Ilmu Filsafat Islam, Filsafat Islam adalah ilmu yang berbicara tentang segala sesuatu yang ada untuk dicari hakikat atau dasar serta prinsip-prinsipnya, secara sistematik, radikal, dan universal.
Pada intinya secara garis besar apa yang terkandung dalam pengertian Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok ajaran dan kelompok non ajaran. Dalam kelompok non ajaran dapat dimasukan sejarah, kebudayaan, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang datag ke dalam Islam sebagai hasil dari perkembangan Islam dalam sejarah. Kelompok ajaran dapat dibagi kepada ajaran dasar sebagai terdapat di dalam al-Qur’an dan hadist, dan ajaran bukan dasar yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulma-lma dan ahli Islam terhadap ajaran-ajaran dasar itu.
BAB VII
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AJARAN
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan totalitas kehidupan manusia. Dalam kenyataan empirik, tidak dapat dipungkiri, bahwa ketika sumber ajaran itu hendak dipahami dan dikomunikasikan dengan kehidupan manusia yang prulalistik, diperlukan keterlibatan pemikiran yang merupakan kreativitas manusia. Hal ini jelas terlihat pada tradisi ijtihad yang dikembangkan para pakar hukum Islam dan lainnya.
Keterlibatan unsur budaya dalammemahami al-Qur’an terlihat antara lain pada pemakaian ‘uruf. ‘Uruf adalah suatu yang dibiasakan oleh manusia dan dijadikan pegangan dalam setiap perbuatan yang berkembang diantara mereka, atau perkataan yang difahami maksudnya dengan arti tertentu dan tidak membawanya kepada pengertian lain bagi orang yang mendengarnya, dan hal itu berarti kebiasaan kolektif yang meliputi perbuatan dan perkataan.’Uruf yang dapat digunkan adalah ‘uruf yang tidak bertentangan dengan teks l-Qur’an dan hadist.
Disamping unsur budaya, unsur nalar juga digunkan dalam memahami al-Qur’an. Ini dapat dilihat pada pemakaian al-ra’yu atau qiyas (analogi) dan istihsan, salah satu bentuk analogi juga, yang digunkan oleh para ulama. Quyas sangat diperlukan dalam memahami dan menerapkan hukum al-Qur’an karena tidak semua persoalan yang berkembangh dalam kehidupan manusia disebutkan hukumnya secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Salah satu cara yang dapat mengkomunikasikan al-Qur’an dengan suatu asus yang tumbuh di masyarakat adalah qiyas.
Muhkam, adalah kuat, kokoh, rapi, indah susunannya, dan sama sekali tidak mengandung kelemahan, baik dalam lafal-lafalnya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya. Dalam kaitan itulah Allah berfirman yang artinya : “kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi”.
Mutasyabih, adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal balaghah (keindahan susunannya) dan Ijaz (ringkas dan padat) serta dalam hal kesukaran membedakan mana bagian-bagian al-Qur’an yang lebih afdhal.
Qah’i, adalah ayat ayat yang bersifat positif, dan tegas adapula yang bersifat zanni, tidak positif dan tidak tegas atau ayat zanni mengandung lebih dari satu arti.
Jika dilakukan telaah secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa di dalam ayat-ayat al-Qur’an terdapat celah yang memungkinkan peranan akal atau rasio berkiprah lebih leluasa seperti pada ayat mutasyabih dan zanni. Disamping itu terdapat pula ayat yang tidak meminta ikut campur penalaran di dalamnya, yaitu ayat yang bersifat muhkam dan qath’i.
Dari uraian diatas jelas bahwa terlihat hakikat ijtihad, yaitu mengerahkan daya dan upaya, khususnya penalaran, untuk memperoleh suatu daya dan upaya, khususnya penalaran, untuk memperoleh suatu formulasi hukum bagi suatu maslah yang pelik dan tidak disebutkan ketentuannya didalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.
BAB VIII
BAGAIMANA MEMAHAMI AL-QUR’AN
Ma’qul atau ta’qqul dapat diartikan dengan upaya menafsirkan (menginterpretasikan) ayat agar sesuai dengan situassi dan kondisi kemaslahatan masyarakat. Menurut al-Syathibi dalam kitabnya tentang pembahasan ma’qul ada tiga yaitu : (1) Makna yang ma’qul dari suatu ayat dapat ditinjau dengan istisqro, yaitu dengan menyimpulkan bahwa syariat tidak akan bertentangan dengan kemaslahatan hamaba. Sebagai contoh ayat yang melarang memakan harta sesama dengan jalan bathil, larangan itu muncul karena menyangkut hak sesama manusia dan Tuhan menuntut agar manusia dapat hidup lebih baik. (2) Dalam masalah mu’amalat, alsyar’i memberikan penjelsan mengenai illat dan hikmat syariat. Illlat dapat diterima oleh akal, sehingga dapat dimengerti bahwa al-ayr’i memang tidak hanya berhenti pada nas ayat semata. (3) Di masa al-fatrat, umumnya orang-orang sudah berfikir menentukan masalah bagi kehidupan mereka. Tidak semua kegiatan mu’amalat mereka salah. Seperti contoh, membayat diyat, bersumpah, melakukan kredit, menutup ka’bah dan berkumpul di hari jum’at.
Adapun yang dimaksud dengan ghair ma’qul oleh al-Syathibi adalah diistilahkan dengan nama al-ta’abbud yang bertumpu pada masalah ibadat. Dan jika diperbandingkan antara ma’qul dengan ghair ma’qul, dapat dikenali secaras ingkat sebagai berikut : (1). Pada yang ma’[qul berlaku pemakaian rasio untk mencari illat dalam qiyas. Illat itulah yang menentukan ada atau tidaknya hukum. Sedangkan dalam ayat yang ghair ma’qul kaidah tersebut tidak berlaku. (2). Objek yang ma’qul adalah masalah atau mu’amalat yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan dari zaman-kezaman, sedangkan pada ghair ma’qul tidak demikian halnya. Yang ghair ma’qul bersifat permanen, tetap sepanjanga zaman. (3) masalah yang dikaji pada yang ma’qul adalah ayat global yang masih memerlukan perincian dan keterangan, sedangkan pada ghair ma’qul keadaanya sudah terinci, sehingga lebih siap untuk dipraktekan.
Secara konseptual al-Qur’an dapat dipahami dengan berpegang pada 8 perinsip berikut ini : (1) menetapkan all-Qur’an menyebut dirinya adalah dokumen untuk manusia. Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai petunjuk manusia dan berbagi sebutan lainnya. (2). Sebagai petunjuk Allah yang jelas dan berkaitan denagn manusia, pesan-pesan al-Qur’an bersifat universal. (3) harus diakui bahwa al-Qur’an diwahyukan dalam situasi kesejahteraan yang konkret. (4). Dalam kaitannya dengan muhkam, mutasyabih, nasikh-manskh, perlu pemhamn terhadap konteks sastra al-Qur’an. (5). Pemahaman terhadap konteks kesejahteraan (situasi kesejarahan pra dan pada masa al-Qur’an diturunkan) berada dalam urutan kronologisnya, dankonteks sastra (konteks tema atau istilah dalam al-Qur’an yang didekati secara kronologis). (6). Perlu memahami tujuan al-Qur’an. Ini hanya dapat diperoleh lewat kajian-kajian yang melibatkan konteks kesejarahan dan konteks literer (sastra) (7). Pemahaman akan al-Qur’an dalam konteksnya sebagaimana diuraikan dalam prinsip-prinsip diatas,maka akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademik murni bila tidak diproyeksikan untk mmemenuhi kebutuhan kontemporer. (8) tujuan-tujuan moral al-Qur’an sesungguhnya dapat dan harus emnjadi peoman dalam memberikan penjelasan terhadap problema-problema sosial yang muncul di masyarakat.
Dari delapan prinsip yang dikemukakan diatas dapat di bngun dua kerangka konseptual yaitu dengan penafsiran al-Qur’an secara pelaksanaan pada ajarannya. Kerangka pertama adalah memahami dan kerangkan kedua adalah memproyeksikannya ke dalam situasi masa kini.
BAB IX
AL-SUNNAH DAN SEKELUMIT
TENTANG PERTUMBUHANNYA
Al-Sunnah menrut bahsa berarti jalan hidup yang dijalani atau dibisakan, baik jaln hidup itu baik atau buruk..pengertian ahli hadist ialah sesuatu yang didapatkan dari nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabin ataupun sesudahnya. Sedangkan menurut istilah para ahli pokok agama (al-ushuliyyun). Sunnah ialah sesuatu yang diambil dari Nabi SAW, yang terdiri dari sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau. Menurut para ahli fiqh sunnah ialah suatu fardhu ataupun wajib, dan sunnah itu ada dua bersma wajib dan lain-lain dalam hukum yang lima.
Ada beberapa faktor-faktor yang mendukung periwayatan al-Sunnah dari Nabi SAW hingga sampai kepada kita. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Cara nbi berbicra perlhan-lahan, dengan mengulang-ulang dan jelas apa yang diucapkannya itu.
2. nabi dikenal sebagai seorang yang fasih dan bagus susunan perkataanya.
3. nabi seringkli menyesuaikan dialek ucapannya dengan lawan yang diajak berbicara
4. para sahabat yang menerima hadist, memandang nabi sebagai idola mereka. Orientalis dan sejarawan seriing kagum pada umarv bin khatib, sedangkan Umar bin Khatab itu sangat kecil di hapan Nabi.
5. sahabat yang mendengar ucapan nabi, yakin benar bahwa ucapan itu mengandung makna yang dalam dan semuanya mengandung kebenaran
6. ada kemampuan yang dimiliki masyarakat Arab pada umumnya dan sahabat pada khususnya, yaitu daya ingat dan hafalannya sangat kuat.
7. Para tabiin menganngap bahwa apa yang mereka terima dari nabi adalah sesuatu yang berharga.
Matan Al-Sunnah, menurut bahasa berarti suatu yang menjorok ke luar, atau yang namoak dan berarti pula sesuatu yang tinggi dan nampak dari bumi. Sedangkan menurut istilah matan ialah lafal-lafal hadis yang didalamnya mengandung makna. Dinamai demikian karena ialah yang nampak, dituntut dan dituju dari suatu hadist seluruhnya. Matan hadist itu dicatat dizaman nabi sebgaimana al-Qur’an, hal ini disebabkan beberapa pertimangan diantanya : (1) Rasulullah SAW hidup bersama sahabat selama dua puluh tiga tahun, sehingga penulisan ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau secara utuh dalam suatu mushaf atau lembaran-lembarran sulit dilakukan karena maslah lokasi. (2) para sahabat banyak yang buta huruf dan menyandarkan diri kepada ingatan mereka saja untuk hal-hal yang harus mereka pelihara dan lahirkan kembali, sementara hadist boleh diriwayatkan dengan makna dan redaksi matan yang berbeda-beda. (3) di kuatirkan silapnya sebagian sabda nabi yang ingkat dan padat itu dengan al-Qur’an karena alpa tanpa sengaja.
Terdapat berbagai cara untuk menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembahangan hadist yaitu dengan menguraikan periodenya, yaitu periode periwayatan dengan lisan, periode penulisan dan pembukuan hadist secara resmi, periode penyaringan hadist dari fatwa-fatwa, periode penghafalan dan pengisnadan hadist, dan periode pengklasifikasian dan pensistematisan susunan kitab-kitab hadist.
Kitab-kitab yang mashur mengenai peulisan hadist adalah : Al-Muwatha. Kitab ini disusun oleh imam Malik pada tahun 144 H, atas anjuran Khalifah al-Mansur. Musnad al-Syafi’y. Didalam kitab ini imam al-Syafi’iy mencantumkan seluruh hadist yang dimuat dalam kitab beliau al-um. Mukhtaliful-Hadist. Karya imam Syafi’iy. Beliau menjelaskan dalam kitabnya ini cara-cara menerima hadist sebagai hujjah, dan cara-cara mengkompromikan hadisst yang nampaknya kontradiksi satu sama lain.
BAB X
FUNGSI DAN KEDUDUKAN AL-SUNNAH
TERHADAP AL-QUR’AN
Jumhur Ulama menyatakan bahwa al-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah al-Qur’an. Untuk hal ini al-Suyuti dan al-Qasaim menguemukakan argumentasi rasional dan argumentasi tekstual. Diantaranya al-Qyr’an bersifat qath’i al-wujud, sedangkan al-sunnah bersifat zhanni al wurud. Alsunnah berfungsi sebagai penjarabaran al-Qur’an. Ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan setingkat di bawah yang dijelaskan. Ada beberapa hadist dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan al-sunnah setelah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta Allah SAW sedang hadit bersal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya bahwa yang beral dari pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang bersasal dari hamba dan utasan-Nya.
Menetapkan huum yang terdapat dalam al-Qur’an. Ini tidak berarti bahwa hadist atau sunnah itu menguatkan al-Qur’an, namun menunjukan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan juga di dalam Hadist atau Sunnah itu sangat penting untuk dinamai, di jalankan dan dijakan pedoman dasar olehs etiap muslim.
Penjelasan sunnah terhadap al-Qur’an ada beberapa diantanya ialah, Bayan Tafshil, adalah bahwa al-Sunnah itu menjelaskan atau memperinci kemujmaan al-Qur’an karena al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjanga masa dan dalam keadaan bagaimanapun dilakukan diperrinci. Bayan Takhsish, yaitu al-sunnah berfungsi menjelaskan, mentafshilkan dan menta’yinkan (menyatakan) al-Qur’an, dan kelihatan tidak bertentangan, sedangkan pada bayan takhshish ini sebagai bayan (penjelasan antara pertentangan al-Qur’an dan al-Sunnah). Bayan Ta’yin, ialah bahwa al-Sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh al-Qur’an. Bayan Nasakh. Yaitu brfungsi menjelaskan mana ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang secara lahiriah bertentangan. Byan nasakhh ini juga sering disebut bayn tabdil (mengganti suatu hukum atau menghpuskannya).
BAB XI
SEBAB KERAGUAN
TERHADAP AL-SUNNAH
Sebab semakin berkembangnya daerah Islam,kebutuhan akan hadist semakin meningkat, sementara sahabat sudah banyak yang meninggal, maka Abu Hurairah menjadi tumpuan umat. Namun, banyaknya hadist yang diriwayatkan oeh Abu Hurairah itu menimbulkan keraguan para ahli hadist. Mereke mempertanyakan apakah semua hadit itu berasal dari Rasulullah? Apa hanya buatan Abu Hurairah sendiri? Dan sebagian kalangan Mu’assirin seperti Rasyid Ridha, Abu Rayyah, dan Mustafa Sadik al-rafi’i mengkritik Abu Hurairah dari dua sisi. Pertama, sisi pribadinya, dikatakan bahwa Abu Hurairah datang ke Madinah bukan Unruk agma, tetapi untuk mengisi perutnya yang lapar. Kedua, matan Hadist yang diriwayatkan ada yang bertentangan dengan akal, seperti hadist yang menerngkan tentang penciptaan Tanah pada hari Jumat.
Sementara itu kesimpulan penulis mengambil sikap bahwa barangkali, diambil dari segala prasangka yang ada seperti su’ul al-Dzan (prasangka buruk) terhadap Abu Hurairah menjadikan kita menerima bulat-bulat hadist yang diriwayatkannya, dan sebaliknya, jangan karena su’ul al-Dzan, kita meruntuhkan hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah secara keseluruhan.
Sebab-sebab keraguan pada masa penulisannya, hadist pada zaman Nabi, Sahabat Khulafur Rasyidin dan Umayah belum dibukukan dan baru disusun di zaman Umar bin Abdl al-Aziz. Dialah yang berhasil meyakinkan umat Islam akan pentingnya penulisan hadist, meletakan dasar kodifikasi hadists secara resmi, dan mendorong timbulnya kegiatan pengumpulan hadist di setiap pelosok negeri Islam saat itu. Namun demikian, penulisan yang jaraknya yang jauh dari masa Rasulullah menimbulkan keraguan sebagian orang terhadap keotentikan hadist yang dikumpulkan itu. Keraguan itu datang dari kritik yang datangnya dari Goldziher, bahwa ia menuduh bahwa penguasaan Bani Umayyah mengeksploitasi al-Zuhri, salah seorang penghimpun dan penulis hadist, untuk memperluaskan hadist-haidst palsu. Disamping itu al-Zuhri adalah seorang tabiin yang mendengar langsung hadist-hadist dari sahabat, sehingga sebenarnya ia tidak membutuhkan catatan hadist, karena ia mendengar langsung itu lebih dapat dipertanggung jawabkan dibandingkan dengan catatan. Walau hadit tidak dicatatat tetapi nilainya tidaklah kurang.
Pada kesimpulannya argumentasi tentang al-Qur’an memuat pokok-pokok agma dan prinsip hukum umum, disertai nas yang jelas untuk sebagainya, namun penjelasan Rasul teteap diperlukan terhadap nas-nas yang memang perlu penjelsan. Terhadap keraguan selanjutnya adalah jaminan Allah untuk memelihara “peringatan” al-Dzikr tidak terbatas juga al-Sunnah dan lain-lainnya dan yang dimaksudkan dengan peringatan itu juga ialah hukum Allah dan agamanya-Nya yang dibawa oleh Rasul utusan-Nya. Jadi, penegertian ayat itu lebih luas dair hanya al-Qur’an dan sunnah saja. Dan yang terakhir jawaban atas keraguan yang mengatakan bahwa tidak ada perintah dari Nabi SAW untuk menuliskan Hadist adalah bukan berarti beliau melarangnya dan bukan pula menunjukan bahwa al-Sunnah tidak dapat dijadikan sumber hujjah.
BAB XII
BAGAIMANA MEMAHAMI AL-SUNNAH
Sahabat ialah orang yang berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman, dan ketiga meninggal dunia masih dalam keadaan Islam. Untuk mengetahui apakh seseorang termasuk sahabat atau tidak diperlukan danya salah satu keterangan berikut: (1) ditentukan oleh kabar mutawatir (2) ditetapkan dengan kabar mashur atau mustafid (3) diakui oleh seorang sahabat tentang kesahabatannya (4) keterangan seorang tabiin yang siwah, bahwa orang tersebut sebagai sahabat. (5) pengakuan syarat tidak lebih 100 tahun semenjak wafatnya Nabi.
Selanjutnya pemahaman terhadap al-Sunnah sedikit banyak dipengaruhi oleh keadaan pribadi dan kecerdasan akal pikirannya. Namun secara umum pemahaman mereka terhadap hadist dapat dijamin kebenarannya, karena mereaka memandang Nabi sebagai idola, dan mereka yakin bahwa ucapan Nabi mengandung makna yang dalam dan semuanya kebenaran.
Pembagian al-Sunnah dari segi bilangan perawinya. 1) Hadist Mutawatir 2) Hadist Ahad yang meliputi (a) Hadist Masyhur (b) Hadist Aziz (c) Hadist Gharib. Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya yang menurut tradisi mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Pembagian mutawatir diantanya adalah mutawatir lafdzy yakni hadis yang diriwayatkan secara seragam baik susunan susunan redaksinya maupun maknanya oleh para perawinya pada setiap lapisan (thabaqat). Hadist ma’nawi, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap thabaqhat, namun susunan redaksinya berbeda-beda. Namun demikian maknanya tetap sama dan terpelihara.
Hadist ahad dalam bentuk yang mashur adalah hahadit yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir. Kemashurannya ini dpat dibaim kepada masyhur di kalangan muhadisitn dan lainnya, mashur di kalngan ahli ilmu tertentu, seperti kalangan fiqh ahli tasawuf dan sebagaiannya, danmasyhur di kaangan orang awam. Hadist yang aziz ialah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqat saja. Dan setelah itu diriwayatkan oleh sejumlah orang. Yang terakhir adalah hadist gharib, ialah hadist yang dalam sanadny terdapat seseorang yang menyendiri dalam periwayatannya; dimana saja penyendirian itu gharib mutlaq yaitu hadist yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi. Gharib Nisbi, apabila penyendiri itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dan perawi yang dalam hal ini mempunyai beberapa kemungkinan. Diantanya keadilan dan kedlabitan (keistiqahan)
Pembagian al-sunnah dari segi sifat perawi, sanad dan matannya. (1) Hadist shahih, yaitu hadist yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak berilat dan tidak janggal. Hadist. (2) hadist hasaan ialah yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, tak ada kejangkalan pada matnay, dan hadist itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. (3) hadist Dlaif ialah hadist yang khilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadist sahih dan hadist hasan sebagaimana disebutkan diatas. Mcam-macam hadist dlaif adalah sebagai bnerikut: hadist matruk, hadist munkar, hadist mu’alal, hadist mudraj, hadist mudltharib, hadist muharraf, hadist mukhtalith, hadist mu’alaq, hadist mudallas, hadist munqathi, hadist mu’dlal, hadist mauquf, dan hadist maqthu. Kedlaifan semua hadit tersebut adalah karna disebabkan oleh sifat matannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar