A. Pendahuluan
Pada abad ke 19 Inggris terkenal dengan sebtan English Victorian karena pada masa itu merupakan abad bertahannya Ratu Victori (1837-1901). Sebagaimna zaman ini mempunyai ciri perubahan dibidang ekonomi, politik, sosial yang merupakan akibat Revolusi Industri1.
Pada pertengahan abad itu Inggris merupakan negar yang termaju dibidang industri di dunia, barulah setelah 1870-an beberapa negara lain seperti Amerika, dan Jerman merupakan saingan yang serius bagi Inggris. Segala aspek kehidupan pda zaman itu diwarni oleh mentalitas mereka yang terknal dengan sebutan “victorianism”, yaitu mentalitas yang bersifat kontrovensional dala pandangan-pandangannya mengenai moral, bernaluri cari untung, taat memajukan ibadah agama dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan sepanjang semuanya ini tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan usahanya. (Samekto, 1998:260)
Pada zaman ini industrilisasi berkembang sangat pesat dan mendrong pemerintah melakukan perubahan dalam demokratisasi sosial dan moral dalah satunya adalah memberikan hak yang sama kepada anak-anak Inggris untuk memperoleh pendidikan. Dan karena inilah yang menjadikan Inggris menjadi berkembang dibidang ilmu pngetahuan. Banyak ilmuan-ilmuan tercipta dari negeri ini dari ilmuan fisika, biologis, ilmu terapan, filsafat dan lain sebagainya. Hingga puncaknya pda zaman ini mempopulerkan nama ilmuan Darwin dengan teori evolusinya yang terdapat dalam judul buku The Origin Of Species.
Para sastrawan di zaman ini pun tak ketinggalan ambil andil dalam perubahan ini seperti alferd Lord Tennyson, Rudyard Kipling, Charles Dickens dan masih banyak yang lainnya. Mereka menginterpretasikan gambaran sosial, moral dan kehidupan sosisal masyarakat pada zaman victorian ini tentunya dengan gaya dan cara masing masing kedalam karya sastra.
B. Rumusan Masalah
Dalam analisis ini penulis menentukan permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pusi Inggris pada zaman Victorian secara struktur?
2. Bagaimanakah Tema puisi-pusi Inggris pada zaman Victorian?
C. Telaah puisi-puisi pada zaman victorian Pada karya : The Eagle by Lord Tennyson’s, Meeting at Ninght by Robert Browning’s, Longing by Mathew Arnold’s dan No Coward Soul Is Mine by Emily Brontë
1. Analisis Struktur
Kritik sastra memilki gaya dan ciri tersendiri dalam menelusuri ‘artifac’-nya. Halnya dalam analisis puisi terdapat khasanah yang luas dari semua kaidah-kaidah analisis puisi. Menurut Rene Wellek and Austin Warren, (1978:29) Fungsi alamiah sebuah analisis satra adalah sebuah kesinambungan dimana pusi berkaitan dengan alamnya setiap object atau clas dari objek adalah lebih efektiv dan rasional dipergunakan sebagaimana mestinya.
Wellek menambahkan untuk menganalisa sebuah pusi kita musti meganalisa berbagai macam karya dari berbagai cara atau methode : 1) irama, rithm dan meter 2) unit makna yang membuka sebuah makna dari gaya bahasa yang ditata secara sistematik. 3) imaginasi dan methaphore adalah sebuah pusat dari karya sastra 4) symbol dan system dari symbol yang dikenal dengan sebutan mytos. (1978: 57)
2. Analisis Tema
Menganalis tema dalam kajian sastra mungkin dapat didefinisikan sebagai satuan atau organisasi dari karya sastra sebagai pengaruh dari alur cerita fiksi (plot) atau main idea (eksposisi karya sastra) kata-kata juha kadang-kadang dipandang sebagai bentuk emosi atau jiwa dari karya sastra. Kajian struktur tema dalam kajian sastra adalah dikenal dengan metaphor yang melekat dalam topik dan emosional sebuah karya sastra yang mana mereka saling berkaitan satu dan lainnya dan menjadikan bangunan struktur yang utuh (Edgar V Roberts, 1964:131).
Berikut ini adalah mcam-macam analisis tema secara struktur puisi: Pertama, Logis cerita yang ditampilkan haruslah masuk di akal. Bagian awal dari cerita hingga akhir mustilah saling berkaitan dan dapat dicerna akal fikiran. Kedua, Kronologi ialah runtutan kejadian yang terdapat dalam cerita bik itu kejadian pada tempat dan waktu, simpelnya adalah sebab musabab itu terjadi karena ada motivasi dari satu lain hal yang menjadikan cerita berjalan hingga selesai itulah yang disebut kronologi. Ketiga, Konflik ialah adalah sebuah term yang terdapat pada puncak sebuah karya sastra yang mana akan menjadikan sebuah akhir resolusion sebuah karya sastra. Keempat, adalah macam-macam situasi dalam gaya karya sastra adalah bagaimana author membuat variasi dalam menciptakan suasana-suasana dalam karyanya. Seperti umur yang panjang, tempo permainan, berhasil dan gagal, berkembang, dan pada intinya adalah adany mutualisme antara kegagalan dengan toleransi.
Kamis, 24 Desember 2009
ANALISIS SYMBOL DALAM “DILARANG MENCINTAI BUNGA-BUNGA” KARYA
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi verbal yang tidak hanya bersifat universal, akan tetapi bahasa dapat menceriminkan segala sesuatu tentang perbuatan, tingkah laku dan budaya. Karena di dalam bahasa terdapat makna yang menunjukan sebuah ide dan aplikasi yang kesemuanya itu mencerminkan sebuah korelasi makna yang dapat dicerna oleh dirinya atau orang lain. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi; sebuah alat untuk menyampaikan sebuah ide dengan media tanda untuk menyampaikan sebuah pesan dari komunikan kepada komunikator. Sebuah puisi, cerpen novel dan lain sebagainya disampaikan dengan menggunakan bahasa. Selain memilki fungsi yang universal diatas bahasa juga sering digunkan menggambarkan sesuatu ide atau kejadian melalui symbol-symbol yang diinterpretasikan dalam bentuk bahasa verbal dalam berbagai media. Seperti halnya dalam dunia sastra bahasa digunakan bukan hanya alat penyampaian pesan saya akan tetapi bahasa digunakan sebagai unsur-unsur yang bermuatan symbol atau sesuatu yang mewakili sebuah pesan atau ide yang tersirat.
Menurut Northrop Frye (1975: 71). “Symbol, means any unit of any literary structure that can be isolated for critical attention. A word, a phrase, or an image used with some kind of special reference is all symbols when they are distinguishable elements in critical analysis”. Symbol adalah sebuah alat yang digunakan oleh banyak orang untuk mewakilkan suatu ide atau pesan dengan gambar atau kata untuk mewakilkan sebuah konsep lain.
Dalam bahasan makalah ini saya tertarik dengan sebuah karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” sebuah cerita pendek karya.... alasan yang kuat bagi saya untuk menganalisi karya ini adalah setelah membaca karya diatas, ternyata saya menemukan banyak symbol yang digunakan oleh author dalam menulis cerpennya tersebut. Jelas, dalam point pembahasan saya akan mengurai symbol-symbol yang terdpat dalam karya diatas tentunya dengan berbagai pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan atau konsep author dalam karya diatas di sampaikan kepada pembaca dengan berbagai symbol atau gambar lain yang mewakilkan ide yang ia ingin sampaikan. Seperti dikatakan oleh Chadwick (1971: 2-3) dia telah mendefinisikan Symbol: “ Symbolism can therefore be defined as the art of expressing ideas and emotions not by describing them directly, not by defining them through over comparisons with concrete images, but by suggesting what these ideas and emotions are, by re-creating them in the mind of the reader through the use of unexplained symbols”. Hemat saja, saya menyimpulkan bahwa symbol adalah sebuah term yang dapat mewakilkan sebuah ide, pesan emosional kepada sebuah perwakilan gambar atau kata yang menunjukan kepada sesuatu yang lain atau sebuah makna. Makna dan pesan itu tidak digamblangkan langsung secara jelas termaksud tapi dibuat bentuk-bentuk atau gambar-gambar lain, bahwasanya itu menjelaskan tentang makna dari sebuah pesan yang ingin disampaikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan fokus dibahas dalam analysis ini adalah berbagai symbol dan makna atau pesan yang terdapat dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”. Berikut dibawah ini rumusan masalah yang akan dibahas:
1. Bagaimana sinopsis cerita “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
2. Apa saja symbol yang terdapat dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
3. Apa makna yang terdapat dalam symbol-symbol dalam karya karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
C. Tujuan Analisis
Analisis ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir studi pada mata Introduction to Litterary Analisis. Akan tetapi bukan hanya untuk memenuhi tugas saja, analisis ini diharapkan menarik minat untuk peneliti lain umumnya mahasiswa sastra khususnya penulis dalam kajian symbol dalam sebuah karya sastra. Karena analisis symbol adalah sebuah analysis yang mendasar dalam kajian sastra yang apabila hal itu ditempuh maka analisis tentang symbol akan memberikan sumbangan besar bagi siapa pun baik itu sebagai referensi atau inspirasi bagi kita untuk menelorkan sebuah karya sastra.
D. Pembahasan
1. Sinopsis “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Diceritakan sebuah keluarga yang terdiri dari tokoh Ayah, Ibu dan seorang anak laki-laki. Mereka baru pindah dari desa kekota, karena ayahnya mendapatkan pekerjaan di kota menjadi seorang mekanik pada sebuah bengkel. Buyung adalah nama anak laki-laki itu, dia adalah anak laki-laki yang normal seperti anak-anak lainnya. akan tetapi tiba-tiba dia menjadi anak yang aneh dikeluarganya karena dia menjadi anak laki-laki yang tidak seperti biasanya pada anak laki-laki lainnya. Buyung menyukai bunga setelah ia bertemu dan bersahabat dengan seorang kakek tua. Bersama kakek tua itu dia diajarkan sesuatu tentang kedamaian dan kesempurnaan. Buyung menjadi tidak menyukai ayahnya kaerna ayahnya sangat membenci dengan apa yang ia lakukan dengan bunga-bunga itu. Ayahnya ingin buyung menjadi lelaki yang tidak suka berdiam diri di kamar dan bergaul dengan bunga-bunga. Ayahnya ingin Buyung menjadi seorang lelaki yang bekerja yang dengan tangannya dapat merubah dunia dan menjadikannya bekerja dan terus bekerja. Sementara itu ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang juga sebagai guru ngaji yang mengajari buyung mengaji setiap sore. Buyung merasa tertekan saat penolakan dan tentangan dari ayahnya dengan apa yang ia lakukan dengan bunga-bunga yang ia pelihara di kamarnya. Dan dia membenci Ayahnya sangat benci dan menjadikan ayahnya menjadi seorang yang menakutkan dalam fikirnya. Disela-sela benci dan sedihnya itu dia mendapatkan banyak jawaban atas segala tekanan yang ada bahwa dia tidak boleh menangis dan arogan karena itu semua adalah kesesesatan (seperti apa yang diajarkan oleh kakek tua itu). Diakhir cerita Buyung di bimbing oleh ayahnya digiring menjadi seorang anak lelaki yang menggunakan tanggannya untuk bekerja bukan untuk menyiram bunga dan berdiam diri di kamar. Dan di akhir paragraph dia mengatakan “Bagaimanapun, aku adalah anak ayah dan ibuku”
2. Symbol-symbol pada karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka point penting yang akan dibahas disini adalah symbol apa saja; maksudnya symbol tu digunakan dan diterapkan atas objek apa dan mewakilkan apa? Menurut Guth (1997:189), symbols are images that have a meaning beyond themselves. Symbol is a detail, a character, or an incident that has a meaning beyond its literal role in the narrative. In order to fully respond to a story, it is necessary to become sensitive to symbolic overtones and implications. Dalam ungkapannya itu kita bisa menaggkap sebuah makna atau ide di dalam symbol yang diterapkan kepada bentuk gambar, setting, , charakter, bentuk narasi dalam sebuah cerita menjadi simbol-simbol yang mengimplikasikan sesuatu. Untuk lebih jelasnya maka kita dapat melihat symbol-symbol yang diterapkan digunakan kedalam bentuk lain dan lebih jelasnya dibawah ini klasifikasi symbol-sybol tersebut:
Tabel daftar symbol yang digunakan dalam
“Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Symbol Keterangan
Desa Setting
Kota Setting
Pintu Pagar Properti
Rumah Kakek Place
Bengkel Place
Ayah Character
Kakek Character
Tangan Alat
Bunga Benda/tumbuhan
3. Makna symbol dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Pada point sebeumnya telah di uraikan symbol apa saja yang terdapat dalam “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” dan dalam symbol itu terdapat makna yang mewakilkan sebuah ide atau pesan. Seperti apa yang dikatakan oleh Dadan Rusmana, (2004; 50) makna konvensional dari sebuan makna dari hubungan sebuah sybol adalah seperti apa yang dikatakan oleh Pierce,bahwaa sign atau symbol had memiliki dua dasar prinsip atau dua aspek, yaitu Representative and interpretative. Representative adalah sign yang merepresentasikan dari sebuah substitusi atau hal lain, sedangkan interpretative adalah sebuah situasi dimana sign dibubuhkan untuk supaya pembaca dapat menginterpretasikan maknanya sendiri masing masing. Dengan demikian maka pemaknaan terhadap symbol-symbol yang ada dalam “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” akan di di uraikan pada tabel dibawah ini:
Representative Symbol Interpretative Symbol
Desa Masa depan suram, malas-malasan, dan pengangguran. “Benar, di desa kita banyak tetangga, tetapi mereka membuat banci, pikiran. Dan itu ayah tidak suka”
Kota Pusat pekerjaan, menggairahkan memberi semangat dan kesibukan. “bukan main senang hati ayah, mendapatkan kerja di kota. Ayah sibuk dengan pekerjaan, karena malas adalah musuh terbesar laki-laki”
Pintu Pagar Sebuah sinekdok yang menyimbokan wajah kakek tua, dengan melihat pintu pagar saja para tetangga seakan melihat sosok seorang kakek, karena ia jarang keluar rumah dan rumahnya di tutup penuh oleh pagar tembok. Jadi pintu pagar adalah perwakilan dari sosok character kakek tua, “Kepada pintu pagar itu aku tersenyum”
Rumah Kakek Tua Tempat yang memisakan dari bisingnya kota dan tempat yang paling tenang dari semua rumah yang ada, selain itu adalah symbol misterius karena rumah itu tidak nampak dari luar, “Rumah ini,” katanya, “sebagian kecil dari sorga”.
Bengkel Hiruk-pikuk, nafsu, dunia laki-laki, kerja, kesibukan lelaki di dunia dan kesempurnaan laki-laki ketika bekerja disana, “Ayah”, aku bertanya, “kenapa tidak mencari hidup sempurna?” Ayah berhenti. Menatap aku. Ia melihat mataku. “ya”, katanya. “aku mencari itu, buyung”. “di mana dicari, yah?” “dalam kerja.” “ya. Tetapi dimana?” “Dibengkel, tetu”.
Ayah Ambisius, Keras, tegas, kasar, kotor, kerja, dan diktator, “aku mulai segan bertemu dengan Ayah. Seperti ada orang lain dalam rumah bila ayah di rumah. Kehadiran ayah menjadikan aku gelisah. Pasti, ayah akan datang dengan baju gemuk. Kotor, seluruh badan berlumur minyak hitam. Bungkahan-bungkahan badan menonjol. Terasa rumah menjadi bergetar oleh kedatangan Ayah. Kadang kulihat ayah menggosokan tangan kotor itu pada dagu ibu, ibu tersenyum, sementara aku sangat kasihan.”
Kakek Misterius, ketenangan/ketentraman hati , ilmu kese-mpurnaan, dan pengucilan. ”tentu saja akutahu. Kau ank baik, cucu. Karena mata batinku lebih tejam dari mata kepalaku.” Aku mulai tentramduduk di sampignya. Tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan.”
Tangan Tangan untuk mengubah dunia. Simbol kekuasaan untuk merubah dunia dan membuatnya berkembang dan terus berubah sepanjang masa. “engkau mesti bekerja, sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun. Gedung didirikan, sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti, mesti, Buyung. Lihat tanganmu! Ayah meraih tanganku. “untuk apa tangan ini, heh?” aku berpikir sebentar, “untuk apa tangan ini buyung?” tanya ayah mengulang. Kemudian aku menemukan jawaban. “kerja!” kataku.
Bunga Ketenangan,Budi, kesempurnaan, kedamaian, dan keindahan. “Aku punya banyak bunga disini. Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai angkrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya.”
E. Kesimpulan
Berdasarkan judul “dilarang mencintai bunga-bunga” dengan cepat kita bisa menagkap kata “bunga-bunga” yang mana bukan kata “bunga”. Bunga-bunga itu menyimbolkan rumah kakek tua yang di dalam rumahya dan dipekarangnya terdapat bunga-bunga. Sementara itu berlawanan dengan cerita dari awal; diceritakan keluarga Buyung berserta ayah dan ibunya pergi kekota adalah untuk bekerja dan menjadi orang sibuk. Bukan untuk menjadi kakek tua itu yang tinggal dirumah dan duduk termenung dengan bunga-bunga itu. Ayah dan ibunya khawatir kalau Buyung tumbuh dan berkembang menjadi orang yang tidak “berguna”, yang hanya duduk diam dan sehari-harinya menyiram bunga.
Diparagraph selanjutnya hingga sampai akhir cerita pada cerita “dilarang mencintai bunga-bunga” Character Buyung dihadapkan dengan dua pilihan yaitu “ketenangan dengan bunga” atau menjadi “orang sibuk dengan kerja”. Dengan pilihan itu maka munculah symbol-symbol yang digunakan author untuk memperkomplek dua pilihan tersebut. Symbol yang dihadirkan berupa character, benda (bunga) dan alat (tangan); dan kesemuanya itu dijelaskan sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Bunga menjadi symbol kedamaian, ketenangan dan kesempurnaan dalam hidup; karena bunga terjauh dari hiruk-pikuk dunia dan nafsu keinginan untuk menguasai dunia. Sedangkan symbol yang centere dan dominan kuat berlawanan dengan bunga adalah bengkel. Symbol bengkel di uraikan menjadi sesuatu yang dapat menjadikan dunia berubah dari masa kemasa. Alasannya bengkel adalah tempat dimana semua pembangunan diseluruh dunia berawal.
Hemat saya pandangan tentang symbol bunga dan bengkel adalah bunga digambarkan menjadi sesuatu yang “statis” sedangkan bengkel disimbolkan menjadi sesuatu yang “dinamis”. Saya berandai-andai bagaimana jika character si kakek tua itu digantikan oleh character lain misalkan diganti dengan karakter Anak muda atau seorang gadis, maka ceritanya tidak menjurus kepada perdebatan antara masalah bunga dan bengkel. Karena saya yakin dari awal cerita sudah dijelaskan bahwa mereka berhijrah dari desa ke kota adalah untuk bekerja dan bekerja. Dan faktanya kakek tua adalah simbol pensiun dan sudah tidak produktif. Jadi tidaklah pantas menurut ayahnya seorang anak kecil banyak bermain dan duduk-duduk dengan seorang kakek, mestinya ia harus sekolah, mengaji dan bekerja untuk mendapatkan kepuasan duniawi.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat di simpulan akhir dari tulisan ini adalah bagaimana kita dapat melihat seorang author dalam menjelaskan sebuah pilihan, apakah bekerja atau duduk diam diri di kamar dengan dunia sendiri?. Juga ada kritik sosial kota pula mengisi rentetan cerita “dilarang mencintai bunga-bunga” adalah suasan kota yang bising dan ambisius penuh nafsu. Yang menjadikan para pembaca karya ini sadar bahwa dibalik hiruk-pikuknya dunia ini masih ada ketenangan atau surga kecil, yaitu taman bunga yang menyegarkan dan menenagkan.
F. Daftar Pustaka
- Chadwick, Charles.1971. Symbolism. USA: Metheun
- Dadan Rusmana. 2004. Madzhab dan Pemikiran Semiotika Kontemporer dari Semiotika Struktural hingga Dekontruksi. Bandung: Tazkiya Press
- Frye, Northrop. 1975. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton, New Jersey: Princeton University Press
- Guth, Hans P. and Gabrielle L. Rico. 1997. Discovering Literature: Stories, Poems, Plays. Englewood Cliffs: Blair Press Book
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi verbal yang tidak hanya bersifat universal, akan tetapi bahasa dapat menceriminkan segala sesuatu tentang perbuatan, tingkah laku dan budaya. Karena di dalam bahasa terdapat makna yang menunjukan sebuah ide dan aplikasi yang kesemuanya itu mencerminkan sebuah korelasi makna yang dapat dicerna oleh dirinya atau orang lain. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi; sebuah alat untuk menyampaikan sebuah ide dengan media tanda untuk menyampaikan sebuah pesan dari komunikan kepada komunikator. Sebuah puisi, cerpen novel dan lain sebagainya disampaikan dengan menggunakan bahasa. Selain memilki fungsi yang universal diatas bahasa juga sering digunkan menggambarkan sesuatu ide atau kejadian melalui symbol-symbol yang diinterpretasikan dalam bentuk bahasa verbal dalam berbagai media. Seperti halnya dalam dunia sastra bahasa digunakan bukan hanya alat penyampaian pesan saya akan tetapi bahasa digunakan sebagai unsur-unsur yang bermuatan symbol atau sesuatu yang mewakili sebuah pesan atau ide yang tersirat.
Menurut Northrop Frye (1975: 71). “Symbol, means any unit of any literary structure that can be isolated for critical attention. A word, a phrase, or an image used with some kind of special reference is all symbols when they are distinguishable elements in critical analysis”. Symbol adalah sebuah alat yang digunakan oleh banyak orang untuk mewakilkan suatu ide atau pesan dengan gambar atau kata untuk mewakilkan sebuah konsep lain.
Dalam bahasan makalah ini saya tertarik dengan sebuah karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” sebuah cerita pendek karya.... alasan yang kuat bagi saya untuk menganalisi karya ini adalah setelah membaca karya diatas, ternyata saya menemukan banyak symbol yang digunakan oleh author dalam menulis cerpennya tersebut. Jelas, dalam point pembahasan saya akan mengurai symbol-symbol yang terdpat dalam karya diatas tentunya dengan berbagai pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan atau konsep author dalam karya diatas di sampaikan kepada pembaca dengan berbagai symbol atau gambar lain yang mewakilkan ide yang ia ingin sampaikan. Seperti dikatakan oleh Chadwick (1971: 2-3) dia telah mendefinisikan Symbol: “ Symbolism can therefore be defined as the art of expressing ideas and emotions not by describing them directly, not by defining them through over comparisons with concrete images, but by suggesting what these ideas and emotions are, by re-creating them in the mind of the reader through the use of unexplained symbols”. Hemat saja, saya menyimpulkan bahwa symbol adalah sebuah term yang dapat mewakilkan sebuah ide, pesan emosional kepada sebuah perwakilan gambar atau kata yang menunjukan kepada sesuatu yang lain atau sebuah makna. Makna dan pesan itu tidak digamblangkan langsung secara jelas termaksud tapi dibuat bentuk-bentuk atau gambar-gambar lain, bahwasanya itu menjelaskan tentang makna dari sebuah pesan yang ingin disampaikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan fokus dibahas dalam analysis ini adalah berbagai symbol dan makna atau pesan yang terdapat dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”. Berikut dibawah ini rumusan masalah yang akan dibahas:
1. Bagaimana sinopsis cerita “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
2. Apa saja symbol yang terdapat dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
3. Apa makna yang terdapat dalam symbol-symbol dalam karya karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”?
C. Tujuan Analisis
Analisis ini ditujukan untuk memenuhi tugas akhir studi pada mata Introduction to Litterary Analisis. Akan tetapi bukan hanya untuk memenuhi tugas saja, analisis ini diharapkan menarik minat untuk peneliti lain umumnya mahasiswa sastra khususnya penulis dalam kajian symbol dalam sebuah karya sastra. Karena analisis symbol adalah sebuah analysis yang mendasar dalam kajian sastra yang apabila hal itu ditempuh maka analisis tentang symbol akan memberikan sumbangan besar bagi siapa pun baik itu sebagai referensi atau inspirasi bagi kita untuk menelorkan sebuah karya sastra.
D. Pembahasan
1. Sinopsis “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Diceritakan sebuah keluarga yang terdiri dari tokoh Ayah, Ibu dan seorang anak laki-laki. Mereka baru pindah dari desa kekota, karena ayahnya mendapatkan pekerjaan di kota menjadi seorang mekanik pada sebuah bengkel. Buyung adalah nama anak laki-laki itu, dia adalah anak laki-laki yang normal seperti anak-anak lainnya. akan tetapi tiba-tiba dia menjadi anak yang aneh dikeluarganya karena dia menjadi anak laki-laki yang tidak seperti biasanya pada anak laki-laki lainnya. Buyung menyukai bunga setelah ia bertemu dan bersahabat dengan seorang kakek tua. Bersama kakek tua itu dia diajarkan sesuatu tentang kedamaian dan kesempurnaan. Buyung menjadi tidak menyukai ayahnya kaerna ayahnya sangat membenci dengan apa yang ia lakukan dengan bunga-bunga itu. Ayahnya ingin buyung menjadi lelaki yang tidak suka berdiam diri di kamar dan bergaul dengan bunga-bunga. Ayahnya ingin Buyung menjadi seorang lelaki yang bekerja yang dengan tangannya dapat merubah dunia dan menjadikannya bekerja dan terus bekerja. Sementara itu ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang juga sebagai guru ngaji yang mengajari buyung mengaji setiap sore. Buyung merasa tertekan saat penolakan dan tentangan dari ayahnya dengan apa yang ia lakukan dengan bunga-bunga yang ia pelihara di kamarnya. Dan dia membenci Ayahnya sangat benci dan menjadikan ayahnya menjadi seorang yang menakutkan dalam fikirnya. Disela-sela benci dan sedihnya itu dia mendapatkan banyak jawaban atas segala tekanan yang ada bahwa dia tidak boleh menangis dan arogan karena itu semua adalah kesesesatan (seperti apa yang diajarkan oleh kakek tua itu). Diakhir cerita Buyung di bimbing oleh ayahnya digiring menjadi seorang anak lelaki yang menggunakan tanggannya untuk bekerja bukan untuk menyiram bunga dan berdiam diri di kamar. Dan di akhir paragraph dia mengatakan “Bagaimanapun, aku adalah anak ayah dan ibuku”
2. Symbol-symbol pada karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka point penting yang akan dibahas disini adalah symbol apa saja; maksudnya symbol tu digunakan dan diterapkan atas objek apa dan mewakilkan apa? Menurut Guth (1997:189), symbols are images that have a meaning beyond themselves. Symbol is a detail, a character, or an incident that has a meaning beyond its literal role in the narrative. In order to fully respond to a story, it is necessary to become sensitive to symbolic overtones and implications. Dalam ungkapannya itu kita bisa menaggkap sebuah makna atau ide di dalam symbol yang diterapkan kepada bentuk gambar, setting, , charakter, bentuk narasi dalam sebuah cerita menjadi simbol-simbol yang mengimplikasikan sesuatu. Untuk lebih jelasnya maka kita dapat melihat symbol-symbol yang diterapkan digunakan kedalam bentuk lain dan lebih jelasnya dibawah ini klasifikasi symbol-sybol tersebut:
Tabel daftar symbol yang digunakan dalam
“Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Symbol Keterangan
Desa Setting
Kota Setting
Pintu Pagar Properti
Rumah Kakek Place
Bengkel Place
Ayah Character
Kakek Character
Tangan Alat
Bunga Benda/tumbuhan
3. Makna symbol dalam karya “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”
Pada point sebeumnya telah di uraikan symbol apa saja yang terdapat dalam “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” dan dalam symbol itu terdapat makna yang mewakilkan sebuah ide atau pesan. Seperti apa yang dikatakan oleh Dadan Rusmana, (2004; 50) makna konvensional dari sebuan makna dari hubungan sebuah sybol adalah seperti apa yang dikatakan oleh Pierce,bahwaa sign atau symbol had memiliki dua dasar prinsip atau dua aspek, yaitu Representative and interpretative. Representative adalah sign yang merepresentasikan dari sebuah substitusi atau hal lain, sedangkan interpretative adalah sebuah situasi dimana sign dibubuhkan untuk supaya pembaca dapat menginterpretasikan maknanya sendiri masing masing. Dengan demikian maka pemaknaan terhadap symbol-symbol yang ada dalam “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” akan di di uraikan pada tabel dibawah ini:
Representative Symbol Interpretative Symbol
Desa Masa depan suram, malas-malasan, dan pengangguran. “Benar, di desa kita banyak tetangga, tetapi mereka membuat banci, pikiran. Dan itu ayah tidak suka”
Kota Pusat pekerjaan, menggairahkan memberi semangat dan kesibukan. “bukan main senang hati ayah, mendapatkan kerja di kota. Ayah sibuk dengan pekerjaan, karena malas adalah musuh terbesar laki-laki”
Pintu Pagar Sebuah sinekdok yang menyimbokan wajah kakek tua, dengan melihat pintu pagar saja para tetangga seakan melihat sosok seorang kakek, karena ia jarang keluar rumah dan rumahnya di tutup penuh oleh pagar tembok. Jadi pintu pagar adalah perwakilan dari sosok character kakek tua, “Kepada pintu pagar itu aku tersenyum”
Rumah Kakek Tua Tempat yang memisakan dari bisingnya kota dan tempat yang paling tenang dari semua rumah yang ada, selain itu adalah symbol misterius karena rumah itu tidak nampak dari luar, “Rumah ini,” katanya, “sebagian kecil dari sorga”.
Bengkel Hiruk-pikuk, nafsu, dunia laki-laki, kerja, kesibukan lelaki di dunia dan kesempurnaan laki-laki ketika bekerja disana, “Ayah”, aku bertanya, “kenapa tidak mencari hidup sempurna?” Ayah berhenti. Menatap aku. Ia melihat mataku. “ya”, katanya. “aku mencari itu, buyung”. “di mana dicari, yah?” “dalam kerja.” “ya. Tetapi dimana?” “Dibengkel, tetu”.
Ayah Ambisius, Keras, tegas, kasar, kotor, kerja, dan diktator, “aku mulai segan bertemu dengan Ayah. Seperti ada orang lain dalam rumah bila ayah di rumah. Kehadiran ayah menjadikan aku gelisah. Pasti, ayah akan datang dengan baju gemuk. Kotor, seluruh badan berlumur minyak hitam. Bungkahan-bungkahan badan menonjol. Terasa rumah menjadi bergetar oleh kedatangan Ayah. Kadang kulihat ayah menggosokan tangan kotor itu pada dagu ibu, ibu tersenyum, sementara aku sangat kasihan.”
Kakek Misterius, ketenangan/ketentraman hati , ilmu kese-mpurnaan, dan pengucilan. ”tentu saja akutahu. Kau ank baik, cucu. Karena mata batinku lebih tejam dari mata kepalaku.” Aku mulai tentramduduk di sampignya. Tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan.”
Tangan Tangan untuk mengubah dunia. Simbol kekuasaan untuk merubah dunia dan membuatnya berkembang dan terus berubah sepanjang masa. “engkau mesti bekerja, sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun. Gedung didirikan, sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti, mesti, Buyung. Lihat tanganmu! Ayah meraih tanganku. “untuk apa tangan ini, heh?” aku berpikir sebentar, “untuk apa tangan ini buyung?” tanya ayah mengulang. Kemudian aku menemukan jawaban. “kerja!” kataku.
Bunga Ketenangan,Budi, kesempurnaan, kedamaian, dan keindahan. “Aku punya banyak bunga disini. Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai angkrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya.”
E. Kesimpulan
Berdasarkan judul “dilarang mencintai bunga-bunga” dengan cepat kita bisa menagkap kata “bunga-bunga” yang mana bukan kata “bunga”. Bunga-bunga itu menyimbolkan rumah kakek tua yang di dalam rumahya dan dipekarangnya terdapat bunga-bunga. Sementara itu berlawanan dengan cerita dari awal; diceritakan keluarga Buyung berserta ayah dan ibunya pergi kekota adalah untuk bekerja dan menjadi orang sibuk. Bukan untuk menjadi kakek tua itu yang tinggal dirumah dan duduk termenung dengan bunga-bunga itu. Ayah dan ibunya khawatir kalau Buyung tumbuh dan berkembang menjadi orang yang tidak “berguna”, yang hanya duduk diam dan sehari-harinya menyiram bunga.
Diparagraph selanjutnya hingga sampai akhir cerita pada cerita “dilarang mencintai bunga-bunga” Character Buyung dihadapkan dengan dua pilihan yaitu “ketenangan dengan bunga” atau menjadi “orang sibuk dengan kerja”. Dengan pilihan itu maka munculah symbol-symbol yang digunakan author untuk memperkomplek dua pilihan tersebut. Symbol yang dihadirkan berupa character, benda (bunga) dan alat (tangan); dan kesemuanya itu dijelaskan sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Bunga menjadi symbol kedamaian, ketenangan dan kesempurnaan dalam hidup; karena bunga terjauh dari hiruk-pikuk dunia dan nafsu keinginan untuk menguasai dunia. Sedangkan symbol yang centere dan dominan kuat berlawanan dengan bunga adalah bengkel. Symbol bengkel di uraikan menjadi sesuatu yang dapat menjadikan dunia berubah dari masa kemasa. Alasannya bengkel adalah tempat dimana semua pembangunan diseluruh dunia berawal.
Hemat saya pandangan tentang symbol bunga dan bengkel adalah bunga digambarkan menjadi sesuatu yang “statis” sedangkan bengkel disimbolkan menjadi sesuatu yang “dinamis”. Saya berandai-andai bagaimana jika character si kakek tua itu digantikan oleh character lain misalkan diganti dengan karakter Anak muda atau seorang gadis, maka ceritanya tidak menjurus kepada perdebatan antara masalah bunga dan bengkel. Karena saya yakin dari awal cerita sudah dijelaskan bahwa mereka berhijrah dari desa ke kota adalah untuk bekerja dan bekerja. Dan faktanya kakek tua adalah simbol pensiun dan sudah tidak produktif. Jadi tidaklah pantas menurut ayahnya seorang anak kecil banyak bermain dan duduk-duduk dengan seorang kakek, mestinya ia harus sekolah, mengaji dan bekerja untuk mendapatkan kepuasan duniawi.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat di simpulan akhir dari tulisan ini adalah bagaimana kita dapat melihat seorang author dalam menjelaskan sebuah pilihan, apakah bekerja atau duduk diam diri di kamar dengan dunia sendiri?. Juga ada kritik sosial kota pula mengisi rentetan cerita “dilarang mencintai bunga-bunga” adalah suasan kota yang bising dan ambisius penuh nafsu. Yang menjadikan para pembaca karya ini sadar bahwa dibalik hiruk-pikuknya dunia ini masih ada ketenangan atau surga kecil, yaitu taman bunga yang menyegarkan dan menenagkan.
F. Daftar Pustaka
- Chadwick, Charles.1971. Symbolism. USA: Metheun
- Dadan Rusmana. 2004. Madzhab dan Pemikiran Semiotika Kontemporer dari Semiotika Struktural hingga Dekontruksi. Bandung: Tazkiya Press
- Frye, Northrop. 1975. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton, New Jersey: Princeton University Press
- Guth, Hans P. and Gabrielle L. Rico. 1997. Discovering Literature: Stories, Poems, Plays. Englewood Cliffs: Blair Press Book
STRUKTUR NARASI DALAM PUISI SISTER HELEN KARYA DANTE GABRIEL ROSSETTI
A. Latar Belakang Masalah
Puisi memilki ragam gaya dan cara untuk memikat pembacanya, karena itulah puisi disebut eksotik text (teks yang menakjubkan). Dalam bentuknya puisi kadang terdapat narasi atau alur cerita yang meliputi intro, starting point hingga ending atau resolusi. Kali ini dalam makalah yang penulis akan bahas adalah bagaimana sebuah puisi dapat di konstruksikan menjadi sebuah plot yang teratur secara inti dari isi puisi itu. Mungkin secara kontektual puisi dapat diterima dengan dangkal bahwa stanza pertama hingga stanza akhir dapat diwakilkan dengan keindahan kata yang dipilih untu mewakilkan ide sang author. Akan tetapi ada hal lain yang lebih menarik khususnya bagi penulis adalah mengkonstruksikan alur puisi yang alurnya tidak beraturan atau bahkan tidak pada tempatnya, biasanya tersirat dengan symbol dan perkiraan atau praduga pembaca saja bahwa jalan puisi itu berjalan seperti itu.
Menurut Chatman (1980:22-45), cerita disebut sebagai isi, sedangkan wacana disebut ekspresi. Baik cerita maupun wacana, masing-masing terdiri atas bentuk dan substansi. Dalam bentuk terkandung motif-motif (event) dan eksistensi, yang masing-masing berisi aksi dan kejadian (happening) serta tokoh dan latar. Jadi jika puisi dibuat dengan bentuk bertautan dari satu stanza dengan stanza lain yang mana itu saling berkaitan antara tokoh ini dan itu, maka narasi musti di bangun menjadi bangunan yang utuh yaitu jalan cerita yang ber-alur yang mana menampakan adanya sebab akibat.
Yang terjadi pada pusi Sister Helen ini konstruksi plot dalam narasinya tidak secara langsung diungkapkan kepada pembaca bahwa di stanza pertama adalah starting point tapi gaya yang digunakan agalah gaya yang unik, bisa saja alur ceritanya dikatakan alur mundur atau dari tengah ke depan lalu kebelakang atau dari semua arah. Inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengangkat tema penarasian alur cerita dalam puisi Sister Helen.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan masalah dalam pembahasan makalah kali ini adalah bagaimana struktur narasi yang dibagun dari deretan stanza pada puisi Sister Helen karya Dante Gabriel Rossetti?
C. Pembahasan
Seperti yang dikatakan Gerard Genette (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2007:252), menbedakan cirri-ciri naratif menjadi tiga sisi, yaitu: histoir, recit dan narration, yang sejajar dengan story, narrative, dan narrating. Menurutnya histoir adalah perangkat pristiwa, sebagai isi naratif, recit adalah wacana atau teks naratif itu sendiri, sedangkan narration adalah tindak naratif yang menghasilkan teks.
Adalah recit yang akan mendominasi analisis ini, bagaimana cerita yang sebenarnya atau kejadian pertama yang akan dikonstruksikan menjadi story. Dalam puisi Sister Helen terdiri dari 42 stanza dengan banyak repetition atau pengualangan kata yang sama pada tiap stanzanya akan tetapi ada kata-kunci dari slipan pengulangan kata-kata itu terdapat cerita yang dinarasikan. Pengulangan kata-kata di setiap stanzanya yaitu; kata “sister Helen”, “little Brother” dan kata “between hell and heaven”. Maka penulis akan mengungkap alur cerita yang tersirat dalam puisi ini kedalam tiga unsure yanitu Eksposisi, Playmax/konflik, dan resolusi, yang tidak secara langsung oleh Dante Gabriel di susun teratur di awal stanza hingga akhir stanza.
1. Eksposisi/starting point
Cerita ini dimulai menurut recit naration adalah bermula dari seorang kesatria dari Eastholm yang ditangkap bersama saudaranya dia dihadapkan dengan sebuah ancaman atas keselamatan saudaranya dan sebuah pilihan yang menjadikan ia mesti meninggalakan kekasihnya adalah desakan dari Dark Lady yang tidak menghendaki Kesatria itu berhubungan dengan Sister Helen.
190 "Oh he prays you, as his heart would rive,
191 Sister Helen,
192 To save his dear son's soul alive."
193 "Fire cannot slay it, it shall thrive,
194 Little brother!"
195 (O Mother, Mary Mother,
196 Alas, alas, between Hell and Heaven!)
..................
260 "They have rais'd the old man from his knee,
261 Sister Helen,
262 And they ride in silence hastily."
263 "More fast the naked soul doth flee,
264 Little brother!"
265 (O Mother, Mary Mother,
266 The naked soul, between Hell and Heaven!)
Kesatria itu telah mengecewakan Sister Helen; Sister Helen dia menganggap kesatria itu telah pergi bersama dengan perempuan lain untuk menikahinya. Kejadiannya adalah tiga hari kebelakang; tiga hari tiga malam lelaki itu meninggakan Helen dan menikahi perempuan lain.
92 "Three days ago, on his marriage-morn,
93 Sister Helen,
94 He sicken'd, and lies since then forlorn."
95 "For bridegroom's side is the bride a thorn,
96 Little brother?"
97 (O Mother, Mary Mother,
98 Cold bridal cheer, between Hell and Heaven!)
Lalu kesatria itu jatuh sakit dan menderita karena kutukan dan sumpah serapah yang dikeluarkan oleh Sister Helen. Selama tiga hari tiga malam kesatria itu tidak bersama istrinya atau orang lain kecuali dia telah berbohong dengan menikahi orang lain karena Dia sangat menderita dan menjadikannya terkena penyakit yang sangat parah dan mematikan,
99 "Three days and nights he has lain abed,
100 Sister Helen,
101 And he prays in torment to be dead."
102 "The thing may chance, if he have pray'd,
103 Little brother!"
104 (O Mother, Mary Mother,
105 If he have pray'd, between Hell and Heaven!)
2. Konflik
Kesatria berfikir bahwa dia akan segera mati dan oleh karena itu walaupun ia tengah sakit dan mendekati ajalnya dia berusaha pergi mendatangi Sister Helen, untuk meminta maaf dan menjelaskan semua yang terjadi sebenarnya. Saat dia pergi untuk menemui Sister Helen Kesatria Eastholm itu di kejar oleh dua penunggang kuda dari tangan kanan Dark Lady mereka tidak menginginkan Kesatria itu dapat bertemu dengan Helen.
78 "He has made a sign and called Halloo!
79 Sister Helen,
80 And he says that he would speak with you."
81 "Oh tell him I fear the frozen dew,
82 Little brother."
83 (O Mother, Mary Mother,
84 Why laughs she thus, between Hell and Heaven?)
Litle Brother menceritakan kejadian yang tidak pernah diketahui oleh Helen bahwa Kesatria itu tidak pernah menghianati cintanya. Dia pergi bersama orang lain untuk menikahinya adalah akal-akalan dark Lady yang tidak menginginkan Helen dapat bersatu dengan Kesatria itu.
204 "A lady's here, by a dark steed brought,
205 Sister Helen,
206 So darkly clad, I saw her not."
207 "See her now or never see aught,
208 Little brother!"
209 (O Mother, Mary Mother,
210 What more to see, between Hell and Heaven?)
211 "Her hood falls back, and the moon shines fair,
212 Sister Helen,
213 On the Lady of Ewern's golden hair."
214 "Blest hour of my power and her despair,
215 Little brother!"
216 (O Mother, Mary Mother,
217 Hour blest and bann'd, between Hell and Heaven!)
3. Resolusi
Kesatria itu terus memohon dan meminta supaya Helen memaafkannya dan mau bertemu dengan Helen. Akhirnya Kesatria itu mati dan tersungkur di jalanan di samping towe dimana Helen dan Litle Brother berada. Menyadari hal itu Helen menyesali dirinya dan pergi menemui Kesatria itu dan sadar bahwa kekasihnya telah mati akhirnya dia pun mengakhiri hidupnya dengan melenyapkan segala harap dan asa yang ada.
176 "He looks at me and he tries to speak,
177 Sister Helen,
178 But oh! his voice is sad and weak!"
179 "What here should the mighty Baron seek,
180 Little brother?"
181 (O Mother, Mary Mother,
182 Is this the end, between Hell and Heaven?]
...........
197 "He cries to you, kneeling in the road,
198 Sister Helen,
199 To go with him for the love of God!"
200 "The way is long to his son's abode,
201 Little brother."
202 (O Mother, Mary Mother,
203 The way is long, between Hell and Heaven!)
..........
288 "Ah! what white thing at the door has cross'd,
289 Sister Helen?
290 Ah! what is this that sighs in the frost?"
291 "A soul that's lost as mine is lost,
292 Little brother!"
293 (O Mother, Mary Mother,
294 Lost, lost, all lost, between Hell and Heaven!)
Cerita diatas diceritakan oleh Litle Brother kepada pembaca bahwa puisi itu menceritakan tentang dua kekasih yang dipisahkan yaitu tentang kakanya yang bernama Helen dengan Kesatria dari Eastholm. Jadi Kesatria, Sister Helen, dua horseman dan dark lady adalah history. Sedangkan yang menceritakan semua kejadian itu adalah Litle Brother sebagai narrator.
E. Kesimpulan
Banyak puisi yang berisifat cerita, baik itu cerita panjang yang disingkat kedalam alusi atau imagery yang menjadikan cerita yang komplek dapat di wujudkan kedalam teks hanya dengan beberapa stanza saja. Puisi pada jaman dahulu dipercaya sebagai mantra atau pujian-pujian pada suatu hal yang kramat. Tapi sesuai dengan perubahan waktu pusi digunakan oleh orang-orang untuk mengenang perjalanan hidup seseorang atau riwayat, kisah perjalanan, dan kisah-kisah kehidupan lainya. Hal yang biasa kita temukan dalam puisi yang berisikan tentang sebuah cerita perjalanan kehidupan seseorang atau sebuah kejadian atau tragedy itu bisanya dapat dimengerti dengan cepat karena susunan kronologis dalam puisi itu dibuat logis dan teratur.
Akan tetapi adakalanya hal itu tidak menjadi hal yang musti patokan dalam menciptakan puisi karena pada hakikatnya puisi adalah hasil imaginasi dan karenanya itu imaginasi bersifat bebas dan tidak mengenal aturan atau baying-bayang aturan yang baku. Dia akan mengekspresikan apa saja yang dia kehendaki. Seperti pada Puisi sister Helen sekilas puisi ini adalah sebuah cerita dua orang perempuan yang bercengkrama disebuah tempat dekat jendela dan menyaksikan banyak hal. Akan tetapi ternyata obrolan mereka mengalusikan semua kejadian tiga hari kebelakang saat mereka bercengkrama di dekat jendela itu.
Dan recit yang terdapat dalam narasi ini mengungkapkan apa saja yang telah terjadi selama tiga hari hingga kejadian dimasa lampau itu berkaitan dengan apa yang sedang mereka lihat pada waktu itu. Jika kita lihat urutan stanza yang menunjukan runtutan cerita diatas adalah sangat tidak beraturan starting point berada di stanza 28 dan disambung agi ke stanza 38 dan selanjutnya urutan stanza tidak menjadi ukuran bahwa letaknya musti ditaruh diawal puisi atau tidak yang mesti pembaca tahu adalah keindahan imaginasi dalam menceritakan sebuah tragedy adalah harus indah dan menarik dengan menyamarkan kronologis dengan alusi-alusi atau penyimbolan kepada symbol lain
.
D. Daftar Pustaka
Kutha Ratna, Nyoman. 2007, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Puisi memilki ragam gaya dan cara untuk memikat pembacanya, karena itulah puisi disebut eksotik text (teks yang menakjubkan). Dalam bentuknya puisi kadang terdapat narasi atau alur cerita yang meliputi intro, starting point hingga ending atau resolusi. Kali ini dalam makalah yang penulis akan bahas adalah bagaimana sebuah puisi dapat di konstruksikan menjadi sebuah plot yang teratur secara inti dari isi puisi itu. Mungkin secara kontektual puisi dapat diterima dengan dangkal bahwa stanza pertama hingga stanza akhir dapat diwakilkan dengan keindahan kata yang dipilih untu mewakilkan ide sang author. Akan tetapi ada hal lain yang lebih menarik khususnya bagi penulis adalah mengkonstruksikan alur puisi yang alurnya tidak beraturan atau bahkan tidak pada tempatnya, biasanya tersirat dengan symbol dan perkiraan atau praduga pembaca saja bahwa jalan puisi itu berjalan seperti itu.
Menurut Chatman (1980:22-45), cerita disebut sebagai isi, sedangkan wacana disebut ekspresi. Baik cerita maupun wacana, masing-masing terdiri atas bentuk dan substansi. Dalam bentuk terkandung motif-motif (event) dan eksistensi, yang masing-masing berisi aksi dan kejadian (happening) serta tokoh dan latar. Jadi jika puisi dibuat dengan bentuk bertautan dari satu stanza dengan stanza lain yang mana itu saling berkaitan antara tokoh ini dan itu, maka narasi musti di bangun menjadi bangunan yang utuh yaitu jalan cerita yang ber-alur yang mana menampakan adanya sebab akibat.
Yang terjadi pada pusi Sister Helen ini konstruksi plot dalam narasinya tidak secara langsung diungkapkan kepada pembaca bahwa di stanza pertama adalah starting point tapi gaya yang digunakan agalah gaya yang unik, bisa saja alur ceritanya dikatakan alur mundur atau dari tengah ke depan lalu kebelakang atau dari semua arah. Inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengangkat tema penarasian alur cerita dalam puisi Sister Helen.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan masalah dalam pembahasan makalah kali ini adalah bagaimana struktur narasi yang dibagun dari deretan stanza pada puisi Sister Helen karya Dante Gabriel Rossetti?
C. Pembahasan
Seperti yang dikatakan Gerard Genette (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2007:252), menbedakan cirri-ciri naratif menjadi tiga sisi, yaitu: histoir, recit dan narration, yang sejajar dengan story, narrative, dan narrating. Menurutnya histoir adalah perangkat pristiwa, sebagai isi naratif, recit adalah wacana atau teks naratif itu sendiri, sedangkan narration adalah tindak naratif yang menghasilkan teks.
Adalah recit yang akan mendominasi analisis ini, bagaimana cerita yang sebenarnya atau kejadian pertama yang akan dikonstruksikan menjadi story. Dalam puisi Sister Helen terdiri dari 42 stanza dengan banyak repetition atau pengualangan kata yang sama pada tiap stanzanya akan tetapi ada kata-kunci dari slipan pengulangan kata-kata itu terdapat cerita yang dinarasikan. Pengulangan kata-kata di setiap stanzanya yaitu; kata “sister Helen”, “little Brother” dan kata “between hell and heaven”. Maka penulis akan mengungkap alur cerita yang tersirat dalam puisi ini kedalam tiga unsure yanitu Eksposisi, Playmax/konflik, dan resolusi, yang tidak secara langsung oleh Dante Gabriel di susun teratur di awal stanza hingga akhir stanza.
1. Eksposisi/starting point
Cerita ini dimulai menurut recit naration adalah bermula dari seorang kesatria dari Eastholm yang ditangkap bersama saudaranya dia dihadapkan dengan sebuah ancaman atas keselamatan saudaranya dan sebuah pilihan yang menjadikan ia mesti meninggalakan kekasihnya adalah desakan dari Dark Lady yang tidak menghendaki Kesatria itu berhubungan dengan Sister Helen.
190 "Oh he prays you, as his heart would rive,
191 Sister Helen,
192 To save his dear son's soul alive."
193 "Fire cannot slay it, it shall thrive,
194 Little brother!"
195 (O Mother, Mary Mother,
196 Alas, alas, between Hell and Heaven!)
..................
260 "They have rais'd the old man from his knee,
261 Sister Helen,
262 And they ride in silence hastily."
263 "More fast the naked soul doth flee,
264 Little brother!"
265 (O Mother, Mary Mother,
266 The naked soul, between Hell and Heaven!)
Kesatria itu telah mengecewakan Sister Helen; Sister Helen dia menganggap kesatria itu telah pergi bersama dengan perempuan lain untuk menikahinya. Kejadiannya adalah tiga hari kebelakang; tiga hari tiga malam lelaki itu meninggakan Helen dan menikahi perempuan lain.
92 "Three days ago, on his marriage-morn,
93 Sister Helen,
94 He sicken'd, and lies since then forlorn."
95 "For bridegroom's side is the bride a thorn,
96 Little brother?"
97 (O Mother, Mary Mother,
98 Cold bridal cheer, between Hell and Heaven!)
Lalu kesatria itu jatuh sakit dan menderita karena kutukan dan sumpah serapah yang dikeluarkan oleh Sister Helen. Selama tiga hari tiga malam kesatria itu tidak bersama istrinya atau orang lain kecuali dia telah berbohong dengan menikahi orang lain karena Dia sangat menderita dan menjadikannya terkena penyakit yang sangat parah dan mematikan,
99 "Three days and nights he has lain abed,
100 Sister Helen,
101 And he prays in torment to be dead."
102 "The thing may chance, if he have pray'd,
103 Little brother!"
104 (O Mother, Mary Mother,
105 If he have pray'd, between Hell and Heaven!)
2. Konflik
Kesatria berfikir bahwa dia akan segera mati dan oleh karena itu walaupun ia tengah sakit dan mendekati ajalnya dia berusaha pergi mendatangi Sister Helen, untuk meminta maaf dan menjelaskan semua yang terjadi sebenarnya. Saat dia pergi untuk menemui Sister Helen Kesatria Eastholm itu di kejar oleh dua penunggang kuda dari tangan kanan Dark Lady mereka tidak menginginkan Kesatria itu dapat bertemu dengan Helen.
78 "He has made a sign and called Halloo!
79 Sister Helen,
80 And he says that he would speak with you."
81 "Oh tell him I fear the frozen dew,
82 Little brother."
83 (O Mother, Mary Mother,
84 Why laughs she thus, between Hell and Heaven?)
Litle Brother menceritakan kejadian yang tidak pernah diketahui oleh Helen bahwa Kesatria itu tidak pernah menghianati cintanya. Dia pergi bersama orang lain untuk menikahinya adalah akal-akalan dark Lady yang tidak menginginkan Helen dapat bersatu dengan Kesatria itu.
204 "A lady's here, by a dark steed brought,
205 Sister Helen,
206 So darkly clad, I saw her not."
207 "See her now or never see aught,
208 Little brother!"
209 (O Mother, Mary Mother,
210 What more to see, between Hell and Heaven?)
211 "Her hood falls back, and the moon shines fair,
212 Sister Helen,
213 On the Lady of Ewern's golden hair."
214 "Blest hour of my power and her despair,
215 Little brother!"
216 (O Mother, Mary Mother,
217 Hour blest and bann'd, between Hell and Heaven!)
3. Resolusi
Kesatria itu terus memohon dan meminta supaya Helen memaafkannya dan mau bertemu dengan Helen. Akhirnya Kesatria itu mati dan tersungkur di jalanan di samping towe dimana Helen dan Litle Brother berada. Menyadari hal itu Helen menyesali dirinya dan pergi menemui Kesatria itu dan sadar bahwa kekasihnya telah mati akhirnya dia pun mengakhiri hidupnya dengan melenyapkan segala harap dan asa yang ada.
176 "He looks at me and he tries to speak,
177 Sister Helen,
178 But oh! his voice is sad and weak!"
179 "What here should the mighty Baron seek,
180 Little brother?"
181 (O Mother, Mary Mother,
182 Is this the end, between Hell and Heaven?]
...........
197 "He cries to you, kneeling in the road,
198 Sister Helen,
199 To go with him for the love of God!"
200 "The way is long to his son's abode,
201 Little brother."
202 (O Mother, Mary Mother,
203 The way is long, between Hell and Heaven!)
..........
288 "Ah! what white thing at the door has cross'd,
289 Sister Helen?
290 Ah! what is this that sighs in the frost?"
291 "A soul that's lost as mine is lost,
292 Little brother!"
293 (O Mother, Mary Mother,
294 Lost, lost, all lost, between Hell and Heaven!)
Cerita diatas diceritakan oleh Litle Brother kepada pembaca bahwa puisi itu menceritakan tentang dua kekasih yang dipisahkan yaitu tentang kakanya yang bernama Helen dengan Kesatria dari Eastholm. Jadi Kesatria, Sister Helen, dua horseman dan dark lady adalah history. Sedangkan yang menceritakan semua kejadian itu adalah Litle Brother sebagai narrator.
E. Kesimpulan
Banyak puisi yang berisifat cerita, baik itu cerita panjang yang disingkat kedalam alusi atau imagery yang menjadikan cerita yang komplek dapat di wujudkan kedalam teks hanya dengan beberapa stanza saja. Puisi pada jaman dahulu dipercaya sebagai mantra atau pujian-pujian pada suatu hal yang kramat. Tapi sesuai dengan perubahan waktu pusi digunakan oleh orang-orang untuk mengenang perjalanan hidup seseorang atau riwayat, kisah perjalanan, dan kisah-kisah kehidupan lainya. Hal yang biasa kita temukan dalam puisi yang berisikan tentang sebuah cerita perjalanan kehidupan seseorang atau sebuah kejadian atau tragedy itu bisanya dapat dimengerti dengan cepat karena susunan kronologis dalam puisi itu dibuat logis dan teratur.
Akan tetapi adakalanya hal itu tidak menjadi hal yang musti patokan dalam menciptakan puisi karena pada hakikatnya puisi adalah hasil imaginasi dan karenanya itu imaginasi bersifat bebas dan tidak mengenal aturan atau baying-bayang aturan yang baku. Dia akan mengekspresikan apa saja yang dia kehendaki. Seperti pada Puisi sister Helen sekilas puisi ini adalah sebuah cerita dua orang perempuan yang bercengkrama disebuah tempat dekat jendela dan menyaksikan banyak hal. Akan tetapi ternyata obrolan mereka mengalusikan semua kejadian tiga hari kebelakang saat mereka bercengkrama di dekat jendela itu.
Dan recit yang terdapat dalam narasi ini mengungkapkan apa saja yang telah terjadi selama tiga hari hingga kejadian dimasa lampau itu berkaitan dengan apa yang sedang mereka lihat pada waktu itu. Jika kita lihat urutan stanza yang menunjukan runtutan cerita diatas adalah sangat tidak beraturan starting point berada di stanza 28 dan disambung agi ke stanza 38 dan selanjutnya urutan stanza tidak menjadi ukuran bahwa letaknya musti ditaruh diawal puisi atau tidak yang mesti pembaca tahu adalah keindahan imaginasi dalam menceritakan sebuah tragedy adalah harus indah dan menarik dengan menyamarkan kronologis dengan alusi-alusi atau penyimbolan kepada symbol lain
.
D. Daftar Pustaka
Kutha Ratna, Nyoman. 2007, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,Pustaka Pelajar. Yogyakarta
KONSEP PENYATUAN DIRI DENGAN TUHAN DALAM PUISI HUSWIFERY KARYA EDWARD TAYLOR
A. Latar Belakang Masalah
Tuhan, sebuah kata yang mewakili sejumlah muatan yang tidak terhingga luas dan banyaknya. Dialah yang menjadikan ada menjadi tiada, menjadikan tiada menjadi ada dan kuasanya yang luas tidak dapat ditapaki oleh manusia dan makhluk apapun, karena manusia atau makhluk adalah jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan sehingga manusia dan makhluk lain hanya akan tergumpal dengan debu-debu yang menyertai jalan yang telah dibentangkan Tuhan itu. Sejak jaman purba manusia telah percaya bahwa ada kekuatan lain diluar kuasa panca indra yaitu kekuatan gaib. Dan kekuatan gaib itu kuasanya tidak dapat terlepas dari segala urusan dan langkah manusia. Kekuatan gaib itu sangat agung dan penuh misteri.
Menurut Aristoteles, dalam proses perubahan yang bergerak dari materi menuju forma, mengandaikan adanya forma terakhir yang tidak dapat “dikeruhkan” lagi dengan materi (tidak dapat menjadi materi yang baru). Inilah forma terakhir (actus purus). Kalau demikian halnya, maka harus ada pula penggerak pertama yang tidak digerakkan. Penggerak pertama itu adalah forma yang tak bermateri; tujuan tertinggi yang menyebabkan semua gerak. Boleh disimpulkan bahwa seluruh kenyataan bergerak antara dua kutub abstrak yaitu materi yang tak berbentuk dan forma yang tak bermateri. Di sinilah kita dapat menyebutnya Tuhan. Tuhan ini tidak bermateri, hanya kenyataan atau realitas saja. Ia juga roh murni (nous); pikiran semata. Ia tidak dapat memikirkan dunia; hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan ia puas dengan dirinya sendiri, tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia. Aristoteles sama sekali tidak mengenal Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tuhannya adalah Tuhan para filsuf dan bukan Tuhannya Abraham, dan sebagainya.
Berbagai cara dilakukan oleh manusia dimuka bumi ini untuk mengagungkan Tuhan dengan ritual, pemujaan, puisi, syair, cerita bahkan berbagai pengorbanan sebuah kehidupan, demi untuk mencapai kepada Tuhan. Seperti apa yang dilakukan oleh Edward Taylor dia menggunakan imaginasinya dalam membuat penyembahan untuk mencapai kuasa tuhan dan sederet kebahagiaan untuknya melalui puisi yang ia buat. Adalah Huswifery sebuah pusi yang ia tulis untuk memuja Tuhannya dengan berbagai metaphor dan berbagai symbol ia gunakan demi untuk mengagungkan Tuhannya itu.
B. Rumusan Masalah
Setelah menguraikan sekilas tentang Tuhan dan penghambaan dari para makhluknya, maka penulis dalam hal ini merumuskan sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam analysis puisi Huswifery karya Edward Taylor ini adalah bagaimana konsep yang di hadirkan melalui symbolisasi penyatuan diri dengan Tuhannya dalam puisinya itu?
C. Pembahasan
Acapkali ketika penulis menuliskan tentang Tuhan, biasanya menempatkan Tuhan kepada Tempat yang menakjubkan atau mulia. Seringkali penulis melupakan existensi dirinya secara logika demi sebuah pemujaan terhadap Tuhan dari apa yang ia tetapkan, atau yang disebut dengan takdir. Kemanusiaan berada dalam akhir sudut spektrum yang mana terjadi perang dalam jiwa spiritualnya semisal apa yang di sajakan oleh Anne Breadstreets dalam The Flash and The Spirit.
Sehubungan dengan kegiatan analysis puisi ini kegitan berfikir dari author yang menjadikan puisinya ini merupakan objek untuk dikaji dalam pemaknaanya. Dikatakan oleh Aminuddin, (2003:58) Adalah author menggunakan bahasa yang juga digunakan dalam pengolahan pesan lewat bahasa atau enkoding, penyampaian pesan atau koding dan pemahaman pesan atau decoding dapat dipetakan kedalam proses pembuatan pesan yang akan disampaikan kepada pembaca sebagai satu kesatuan yang utuh. Apa yang membuat Pusi Edward Taylor menjadikan sebuah puisi meditasi yang unik, adalah sebuah hubungan fisik dunia atau eksistensi kemanusiaan yang dalam antara dirinya dengan Tuhan. Dalam penyatuan Tuhan kedalam tubuhnya Taylor dia mengawinkan secara bersamaan antara manusia dan dzat Tuhannya. Dalam pemujaanya kepada Tuhannya dian menjadi apa saja yang nelekatkan dirinya dengan Tuhan tanpa rasa malu atau rendah diri.
Dalam puisinya Huswifery taylor taylor merujuk kepada perbuatan manusia yang paling mendasar seperti pekerjaan yang biasa dikerjakan dirumah dan sebagai domestik adlah perempuan pemintal kain yang dijakian metaphore oleh Taylor. Sebuah konsep yang mendasar dari diri manusia yaitu tentang menutupi dirinya dengan kain dan bukan hanya itu akan tetapi kain yang menutupi tubuh pun memberikan makna dan nilai itnggi untuk pemakainnya.
Pusi ini yang menjadikan puisi yang tidak seperti biasanya Taylor menjadikan dirinya seperti perempuan yang memintal pakaian untuk majikannya 徹 Lord, thy Spinning Wheel complete_ (1). Dengan puisi ini dia telah berhasil melenyapkan sebuah ikatan gender; dalam artian dia tidak mewajibkan dirinya menjadi pemintal laki-laki tapi perempuan, lah yang ia jadikan dirinya seperti apa yang biasanya pemintal adanya. Bahkan ia menjadikan Tuhan menjadikannya sebagai sebuah alat pemintal dan larut kedalam pemintalan kain tersebut.
Dalam memulai pemintalan serat yang ia gulungkan kedalam alat tenun, taylr meminta kepada Tuhannya untuk membimbingnnya dengan kata-kata bijak atau ilham untuk menuntunnya baik dalam perkataan dan perbuatan menjadikan dia orang yang shaleh. Penggulungan serat yang baik dan hati-hati serta luwes pada pemintal tersebut adalah maksudnya ia ingin diputarkan atau dijalankan oleh Tuhan dan menjadikan perwatakannya yang penuh kasih sayang menyatu dalam segala perbuatannya, seperti pada baris 2-3 dibawah ini:
2 Thy Holy Worde my Distaff make for mee.
3 Make mine Affections thy Swift Flyers neate
Dalam roda pemintal terdapat spool atau kumparan yang mengatur baik lebar atau ramping, tebal atau tipisnya hasil pemintalan, maka disini ia ingin Tuhan menjadikan jiwanya sebagai spool yang dapat istiqomah atau exist berada dalam keadaan yang stabil dan konsisten dalam memegang doktrin atau kepercayaanya terhadap Tuhan. Setelah menjadi kumparan atau spool lalu ia pun menjadikan kata-katanya seperti gulungan serat yang akan dikeluarkan lewat spool tersebut lalu tersirkulasi dalam putaran roda tenun hingga menjadikan ia ada dalam koridor atau dalam putaran yang diberkati oleh Tuhan
4 And make my Soule thy holy Spoole to bee.
5 My Conversation make to be thy Reele
6 And reele the yarn thereon spun of thy Wheele.
Lalu setelah proses penennunan selesai Taylor beranjak kepada helayan kain yang sudah jadi lembaran kain. Ia meminta kepada tuhannya memberikan sebuah keindahan-keindahan syurga yang diwakilkan dengan sebuah metaphor warna-warna syurga. Metaphor ini mewakilkan corak warna yang tiada di dunia dan hanya ada disurga dikerenakan Taylor percaya bahwa keindahan syurga adalah keindahan yang sejati dan tinggi diatas keindahan-warna warna yang berada didunia ini. Setelah kain itu diwarnai dengan warna-warni syurga maka Taylor menambahkan kain itu dengan gembar bunga yang hanya ada disyurga karena itu dia yakin pula bahwa bunga syurga adalah bunga yang tiada tanding dengan bunga yang ada didunia ini. Ini mennyiratkan bahwa ia menginginkan dirinya yang telah diciptakan oleh Tuhan sebagai manusia memilki sikap dan budi pekerti yang indah dan mulia melalui ilham atau bimbingan yang diberikan Tuhan kepadanya, seperti pada baris puisi dibawh ini:
7 Make me thy Loome then, knit therein this Twine:
8 And make thy Holy Spirit, Lord, winde quills:
9 Then weave the Web thyselfe. The yarn is fine.
10 Thine Ordinances make my Fulling Mills.
11 Then dy the same in Heavenly Colours Choice,
12 All pinkt with Varnisht Flowers of Paradise.
Pemintalan serat telah menjadi kain dan kain telah di warnai dengan warna-warni syurga serta gambar bunga syurga. Selanjutnya Taylor menjadikan dirinya menjadi sebuah pakaian yang agung adalah jubah yang besar dan anggun. Dengan jubah itu dia telah di cover segala fikiran, perbuatan, dan perkataan dengan indahnya penampilan atau menjadikannya menjadi sosok yang menawan dan patutu untuk menjadi figure atau tauladan bagi siapapun yang melihatnya. Dengan jubah itu Taylor melambangkan bahwa Glory atau kebahagiaan yang tiada terkira adalah sebuah hadiah yang sangat nilai tingginya dari Tuhan. Seperti apa yang ditulisnya pada stanza terakhir dibawah ini:
13 Then cloath therewith mine Understanding, Will,
14 Affections, Judgment, Conscience, Memory
15 My Words, and Actions, that their shine may fill
16 My wayes with glory and thee glorify.
17 Then mine apparell shall display before yee
18 That I am Cloathd in Holy robes for glory.
D. Kesimpulan
Banyak orang percaya dengan menggunakan pakaian yang baik, bersih dan indah adalah memberikan sebuah kepercayaan diri yang tinggi. Pun Taylor dengan puisi ini ingin dirinya menyatu dengan segala keindahan, kekuasaan dan semua yang ada berada pada Tuhan melekat pada tubuhnya dan jiwanya. Ini diluar koridor analisa dari penulis bahwa nama Taylor mungkin berasal dari kata tailor yang artinya penjahit. Apakah hanya dugaan penulis saja tidak tau tau benar adanya mungkin Edward telah dijuluki seorang penjahit “Taylor” dengan puisi ini.
Simbolisasi dalam puisi ini Taylor memberikan metaphor dengan menjadikan dirinya seperti rajutan yang dibuat untuk menjadi jubah keagungan sebagai alat kekuasaan Tuhan. melalui puisinya juga dia melakukan periode atau tahapan penjernihan yang mana dia menyakan kepada Tuhannya untuk menyucikannya dan menjadikan Tuhan sebagai pusat segala hidupnya.
Nada puisi ini adalah nada penuh pengharapan dan penerimaan sebuah masa depan karena dia menantikan Tuhannya untuk menggunakan dirinya untuk tujuannya dan membalut dirinya dengan jubah ke jayaan.
E. Daftar Pustaka
- Aminuddin, 2003, Semantik; Pengantar Studi Makna, Sinar Baru Algesindo, Bandung.
- http://pormadi.wordpress.com/2006/05/17/konsep-tuhan-menurut-aristoteles/
- Taylor, Edward. "Huswifery." The Norton Anthology American Literature. Ed. Nina Baym, et al. Shorter 2nd Ed. Vol. 1. New York: Norton & Company, 2008.
Tuhan, sebuah kata yang mewakili sejumlah muatan yang tidak terhingga luas dan banyaknya. Dialah yang menjadikan ada menjadi tiada, menjadikan tiada menjadi ada dan kuasanya yang luas tidak dapat ditapaki oleh manusia dan makhluk apapun, karena manusia atau makhluk adalah jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan sehingga manusia dan makhluk lain hanya akan tergumpal dengan debu-debu yang menyertai jalan yang telah dibentangkan Tuhan itu. Sejak jaman purba manusia telah percaya bahwa ada kekuatan lain diluar kuasa panca indra yaitu kekuatan gaib. Dan kekuatan gaib itu kuasanya tidak dapat terlepas dari segala urusan dan langkah manusia. Kekuatan gaib itu sangat agung dan penuh misteri.
Menurut Aristoteles, dalam proses perubahan yang bergerak dari materi menuju forma, mengandaikan adanya forma terakhir yang tidak dapat “dikeruhkan” lagi dengan materi (tidak dapat menjadi materi yang baru). Inilah forma terakhir (actus purus). Kalau demikian halnya, maka harus ada pula penggerak pertama yang tidak digerakkan. Penggerak pertama itu adalah forma yang tak bermateri; tujuan tertinggi yang menyebabkan semua gerak. Boleh disimpulkan bahwa seluruh kenyataan bergerak antara dua kutub abstrak yaitu materi yang tak berbentuk dan forma yang tak bermateri. Di sinilah kita dapat menyebutnya Tuhan. Tuhan ini tidak bermateri, hanya kenyataan atau realitas saja. Ia juga roh murni (nous); pikiran semata. Ia tidak dapat memikirkan dunia; hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan ia puas dengan dirinya sendiri, tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia. Aristoteles sama sekali tidak mengenal Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tuhannya adalah Tuhan para filsuf dan bukan Tuhannya Abraham, dan sebagainya.
Berbagai cara dilakukan oleh manusia dimuka bumi ini untuk mengagungkan Tuhan dengan ritual, pemujaan, puisi, syair, cerita bahkan berbagai pengorbanan sebuah kehidupan, demi untuk mencapai kepada Tuhan. Seperti apa yang dilakukan oleh Edward Taylor dia menggunakan imaginasinya dalam membuat penyembahan untuk mencapai kuasa tuhan dan sederet kebahagiaan untuknya melalui puisi yang ia buat. Adalah Huswifery sebuah pusi yang ia tulis untuk memuja Tuhannya dengan berbagai metaphor dan berbagai symbol ia gunakan demi untuk mengagungkan Tuhannya itu.
B. Rumusan Masalah
Setelah menguraikan sekilas tentang Tuhan dan penghambaan dari para makhluknya, maka penulis dalam hal ini merumuskan sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam analysis puisi Huswifery karya Edward Taylor ini adalah bagaimana konsep yang di hadirkan melalui symbolisasi penyatuan diri dengan Tuhannya dalam puisinya itu?
C. Pembahasan
Acapkali ketika penulis menuliskan tentang Tuhan, biasanya menempatkan Tuhan kepada Tempat yang menakjubkan atau mulia. Seringkali penulis melupakan existensi dirinya secara logika demi sebuah pemujaan terhadap Tuhan dari apa yang ia tetapkan, atau yang disebut dengan takdir. Kemanusiaan berada dalam akhir sudut spektrum yang mana terjadi perang dalam jiwa spiritualnya semisal apa yang di sajakan oleh Anne Breadstreets dalam The Flash and The Spirit.
Sehubungan dengan kegiatan analysis puisi ini kegitan berfikir dari author yang menjadikan puisinya ini merupakan objek untuk dikaji dalam pemaknaanya. Dikatakan oleh Aminuddin, (2003:58) Adalah author menggunakan bahasa yang juga digunakan dalam pengolahan pesan lewat bahasa atau enkoding, penyampaian pesan atau koding dan pemahaman pesan atau decoding dapat dipetakan kedalam proses pembuatan pesan yang akan disampaikan kepada pembaca sebagai satu kesatuan yang utuh. Apa yang membuat Pusi Edward Taylor menjadikan sebuah puisi meditasi yang unik, adalah sebuah hubungan fisik dunia atau eksistensi kemanusiaan yang dalam antara dirinya dengan Tuhan. Dalam penyatuan Tuhan kedalam tubuhnya Taylor dia mengawinkan secara bersamaan antara manusia dan dzat Tuhannya. Dalam pemujaanya kepada Tuhannya dian menjadi apa saja yang nelekatkan dirinya dengan Tuhan tanpa rasa malu atau rendah diri.
Dalam puisinya Huswifery taylor taylor merujuk kepada perbuatan manusia yang paling mendasar seperti pekerjaan yang biasa dikerjakan dirumah dan sebagai domestik adlah perempuan pemintal kain yang dijakian metaphore oleh Taylor. Sebuah konsep yang mendasar dari diri manusia yaitu tentang menutupi dirinya dengan kain dan bukan hanya itu akan tetapi kain yang menutupi tubuh pun memberikan makna dan nilai itnggi untuk pemakainnya.
Pusi ini yang menjadikan puisi yang tidak seperti biasanya Taylor menjadikan dirinya seperti perempuan yang memintal pakaian untuk majikannya 徹 Lord, thy Spinning Wheel complete_ (1). Dengan puisi ini dia telah berhasil melenyapkan sebuah ikatan gender; dalam artian dia tidak mewajibkan dirinya menjadi pemintal laki-laki tapi perempuan, lah yang ia jadikan dirinya seperti apa yang biasanya pemintal adanya. Bahkan ia menjadikan Tuhan menjadikannya sebagai sebuah alat pemintal dan larut kedalam pemintalan kain tersebut.
Dalam memulai pemintalan serat yang ia gulungkan kedalam alat tenun, taylr meminta kepada Tuhannya untuk membimbingnnya dengan kata-kata bijak atau ilham untuk menuntunnya baik dalam perkataan dan perbuatan menjadikan dia orang yang shaleh. Penggulungan serat yang baik dan hati-hati serta luwes pada pemintal tersebut adalah maksudnya ia ingin diputarkan atau dijalankan oleh Tuhan dan menjadikan perwatakannya yang penuh kasih sayang menyatu dalam segala perbuatannya, seperti pada baris 2-3 dibawah ini:
2 Thy Holy Worde my Distaff make for mee.
3 Make mine Affections thy Swift Flyers neate
Dalam roda pemintal terdapat spool atau kumparan yang mengatur baik lebar atau ramping, tebal atau tipisnya hasil pemintalan, maka disini ia ingin Tuhan menjadikan jiwanya sebagai spool yang dapat istiqomah atau exist berada dalam keadaan yang stabil dan konsisten dalam memegang doktrin atau kepercayaanya terhadap Tuhan. Setelah menjadi kumparan atau spool lalu ia pun menjadikan kata-katanya seperti gulungan serat yang akan dikeluarkan lewat spool tersebut lalu tersirkulasi dalam putaran roda tenun hingga menjadikan ia ada dalam koridor atau dalam putaran yang diberkati oleh Tuhan
4 And make my Soule thy holy Spoole to bee.
5 My Conversation make to be thy Reele
6 And reele the yarn thereon spun of thy Wheele.
Lalu setelah proses penennunan selesai Taylor beranjak kepada helayan kain yang sudah jadi lembaran kain. Ia meminta kepada tuhannya memberikan sebuah keindahan-keindahan syurga yang diwakilkan dengan sebuah metaphor warna-warna syurga. Metaphor ini mewakilkan corak warna yang tiada di dunia dan hanya ada disurga dikerenakan Taylor percaya bahwa keindahan syurga adalah keindahan yang sejati dan tinggi diatas keindahan-warna warna yang berada didunia ini. Setelah kain itu diwarnai dengan warna-warni syurga maka Taylor menambahkan kain itu dengan gembar bunga yang hanya ada disyurga karena itu dia yakin pula bahwa bunga syurga adalah bunga yang tiada tanding dengan bunga yang ada didunia ini. Ini mennyiratkan bahwa ia menginginkan dirinya yang telah diciptakan oleh Tuhan sebagai manusia memilki sikap dan budi pekerti yang indah dan mulia melalui ilham atau bimbingan yang diberikan Tuhan kepadanya, seperti pada baris puisi dibawh ini:
7 Make me thy Loome then, knit therein this Twine:
8 And make thy Holy Spirit, Lord, winde quills:
9 Then weave the Web thyselfe. The yarn is fine.
10 Thine Ordinances make my Fulling Mills.
11 Then dy the same in Heavenly Colours Choice,
12 All pinkt with Varnisht Flowers of Paradise.
Pemintalan serat telah menjadi kain dan kain telah di warnai dengan warna-warni syurga serta gambar bunga syurga. Selanjutnya Taylor menjadikan dirinya menjadi sebuah pakaian yang agung adalah jubah yang besar dan anggun. Dengan jubah itu dia telah di cover segala fikiran, perbuatan, dan perkataan dengan indahnya penampilan atau menjadikannya menjadi sosok yang menawan dan patutu untuk menjadi figure atau tauladan bagi siapapun yang melihatnya. Dengan jubah itu Taylor melambangkan bahwa Glory atau kebahagiaan yang tiada terkira adalah sebuah hadiah yang sangat nilai tingginya dari Tuhan. Seperti apa yang ditulisnya pada stanza terakhir dibawah ini:
13 Then cloath therewith mine Understanding, Will,
14 Affections, Judgment, Conscience, Memory
15 My Words, and Actions, that their shine may fill
16 My wayes with glory and thee glorify.
17 Then mine apparell shall display before yee
18 That I am Cloathd in Holy robes for glory.
D. Kesimpulan
Banyak orang percaya dengan menggunakan pakaian yang baik, bersih dan indah adalah memberikan sebuah kepercayaan diri yang tinggi. Pun Taylor dengan puisi ini ingin dirinya menyatu dengan segala keindahan, kekuasaan dan semua yang ada berada pada Tuhan melekat pada tubuhnya dan jiwanya. Ini diluar koridor analisa dari penulis bahwa nama Taylor mungkin berasal dari kata tailor yang artinya penjahit. Apakah hanya dugaan penulis saja tidak tau tau benar adanya mungkin Edward telah dijuluki seorang penjahit “Taylor” dengan puisi ini.
Simbolisasi dalam puisi ini Taylor memberikan metaphor dengan menjadikan dirinya seperti rajutan yang dibuat untuk menjadi jubah keagungan sebagai alat kekuasaan Tuhan. melalui puisinya juga dia melakukan periode atau tahapan penjernihan yang mana dia menyakan kepada Tuhannya untuk menyucikannya dan menjadikan Tuhan sebagai pusat segala hidupnya.
Nada puisi ini adalah nada penuh pengharapan dan penerimaan sebuah masa depan karena dia menantikan Tuhannya untuk menggunakan dirinya untuk tujuannya dan membalut dirinya dengan jubah ke jayaan.
E. Daftar Pustaka
- Aminuddin, 2003, Semantik; Pengantar Studi Makna, Sinar Baru Algesindo, Bandung.
- http://pormadi.wordpress.com/2006/05/17/konsep-tuhan-menurut-aristoteles/
- Taylor, Edward. "Huswifery." The Norton Anthology American Literature. Ed. Nina Baym, et al. Shorter 2nd Ed. Vol. 1. New York: Norton & Company, 2008.
STUDY SYMBOL DALAM PUISI NO COWARD SOUL IS MINE KARYA EMILY BRONTE
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Fiske dalam Bukunya Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (2004) Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda yang pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu, yakni objeknya . Pun dikatakand oleh Richards lewat segi tiga dasar yang telah diperkirakan dalam bukunya, The Meaning of Meaning, (1923), seperti pada gambar dibawah ini:
Dari bagan berupa segi tiga itu dapat diketahui bahwa pikiran sebagai unsure yang mengadakan signifikasi sehingga menghadirkan makna tertentu, memilki hubungan langsung dengan reference atau acuan. Gagasan itu pun memilki hubungan langsung pula dengan symbol atau lambang . Pierce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian yaitu: ikon,indeks,simbol yang disebut tipologi tanda.
Dalam hal ini adalah Simbol, sebagai tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran. Lampu lalu lintas adalah simbol, warna merah berhenti, hujau berarti jalan, palang merah adalah simbol yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaraan melalui konvensi atau aturan dalam kebudayaan yang telah disepakati. Katagori-katagori tersebut tidaklah terpisah dan berbeda. Satu tanda bisa saja kumpulan dari berbagai tipe tanda.
Berbicara soal ymbol pada pusi adalah Figurative language berperan penting dalam hal membandingkan dan mewakilkan objek kepada tanda lain berupa smile atau methaphore yang biasanya kita jumpai pada puisi yang menyimbolkan sesuatu kepada sesuatu yang lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas penulis dalam hal ini akan menguraikan dan menelaah berbagai symbol yang terdapat dalam Puisi No Coward Soul Is Mine karya Emily Bronte maka dibawah ini adalah formulasi atau rumusan masalahnya:
1. Simbol apa saja yang digunakan Emily Bronte dalam Puisi No Coward is Mine?
2. Makana apa yang terkandung dalam symbol-symbol yang digunakan oleh Emily Bronte dalam Puisi No Coward is Mine?
C. Pembahasan
3. Symbol-symbol yang terdapat dalam Puisi No Coward Soull Is Mine karya Emily Bronte
Dalam Puisinya yang terdiri dari tujuh stanza dan perbaitnya terdapat empat line baris yang mana dari seluruh baitnya terdapat beberapa Objek atau subyek yang dijadikan sebuah symbol, dan diantara symbol-simbol itu adalah sebagaimana tertera dalam table dibawah ini:
Symbol Interpretasi Makna
Strom Strom-troubled dapat diartikan sebagai dosa yang membuat manusia menjadi takut akan sebuah ancaman di masa yang akan datang
Heaven Sebuah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Tuhan di alam lain setelah dunia
Boundless Sebuah pengakuan terhadap kuasa yang tidak dapat ditandingi oleh kuasa apapun
Rock Sebuah kekuatan yang sangat tidak terbatas dan sangat kuat melebihi kerasnya batu
Embracing love Malu mengatakan cinta karena merasa tidak sempurna dalam pembuktian cintanya kepada Tuhan.
Eternal Years Waktu yang takterbatas atau abadi
Earth and man Kuasa laki-laki yang bercokol di muka bumi, bukanlah suatu kuasa yang abadi
Atom Sesuatu urusan terkecil yang ada didunia ini
Breath Kehidupan
4. Makna yang terkandung dalam penggunaan Symbol-symbol dalam Puisi No Coward Soull Is Mine karya Emily Bronte
Pusi yang menceritakan sebuah perasaan jiwa puisi ini terdapat konsep tentang Tuhan didalamnya, melalui rangkian deskripsi tentang dirinya (narrator puisi), dan bagaimana yang lainnya berhubungan kembali dengan dirinya, suatu konsep tentang kematian dan keyakinan. Bronte dalam hal ini adalah bertujuan untuk mengekpresikan pikirannya tentang Tuhan, Seperti yang dia tampilkan pada dirinya sebagai orang pertama (subyek), dan semua perkara berhubungan dengan dirinya, seperti kematian dan keyakinan.
Pada garis pertama dalam sajak, “no coward soul is mine” juga termasuk kedalam puisinya itu menyimbolkan kedekatan dari puisinya itu sendiri dan menyampaikan perasaan dari sebuah refleksi dan kebutuhan dari sebuah ekspresi. Bronte membutuhkan untuk mengungkapkan kepada dunia bahwa dia adalah tidak berdaya, dan ini di lakukannya dalam versi puisinya ini.
Nada dalam puisi ini adalah sebuah pantulan, dari seluruh keinginannya yang besar. Bahasa yang digunkannya adalah bahasa emosional atau suara hati yang kuat tentang kesia-siaan atau tidak berharha ketika dia menceritakan yang lain. Penggunaan kata-katanya dalam konteknya adalah aktraktif, indah dan efektif. Bronte membicarakan tentang sesuatu yang mana dimaksudkan kepadanya. , “…thou art Being and Breath”, dan menggunakan bahasa yang indah dalam menyampaikan sebuah makna.
Bronte juga menggunakan banyak pencitraan image yang kuat, “Storn-Troubled Sphere,” dan “suns and universe seased to be,” dalam menceritakan Tuhannya. Imaginasi ini minumbulkan sebuah perasaan yang kuat pada setiap pembacanya, sebuah hubungan emosional kedalam sebuah kontek pusi, walaupun dengan hubungan yang simple dalam keyakinannya.
Mengajak kepada yang lain trlibat dalam ungkapan-ungkapan melalui simple metaphor dalam puisnya. “So surely anchored on. The steadfast rock of immortality”. Petikan pusi ini adalah untuk menyanjung Tuhan dalam seluruh puisinya. Bronte membandingkan Tuhan kepada sesuatu yang kuat seperti batu yang kokoh, atau seperti kepada segala yang meliputi langit dan bumi. Matahari dan seluruh jagat raya berada dalam genggamannya. Dalam setiap baris puisi ini tidak terlepas dari campur tangan Metaphor seperti smile. Penggunaan kata “as” adalah sebagai partikulasi smile disini dugunakan sebgai kalimat yang menjadi nada indah, juga mengekspresikan sebuah kontemplasi kesombongan para laki-laki. Struktur pusi ini sanagat konserpativ, yang mana penyadaran yang baik dalam isinya.
Pusi yang trwujud kedlam tujuh stanza dengan empat bait perstanzanya, yang mana pada setiap baris kedua pada rima, kecuali pada baris pertama, bait ketiga dari syair keempat dan ke enam, tapi ini menimbulkan lebih dari sekedar dari disain yang dibutuhkan. Pergerakan pusi dari satu kata ke kata yang lain sunguh baik, walaupun tanpa rhima dan ini mengalir dalam setiap kata-kata yang dilontarannya.
Berikut ini adalah sebuah tambahan analysis dari beberapa pengulangan-pengulangan alliteration, seperti pada couplet pertaman, “No coward soul is mine, No trembler in the world’s storm-troubled sphere”. Kutipan ini adalah untuk menguatkan consep, dalam hal ini bahwa bronte tidaklah lemah. Juga pada couplet pertama adalah sebuah contoh cabang judul yang menarik dari alitrasi pada hal ii adalah sebuah kata “s” adalah suara yang lembut. ini menjadikan apa yang sebaliknya pada image badai yang menyeramkan. Lebih jelasnya penggunaan alitrasi pada couplet paling terakhir. ”Since thou art Being and Breath” menciptakan sebuah perasaan kerinduan akan keingin tahuan pada sesuatu.
D. Kesimpulan
Menyambungkan sesorang untuk mencitrakan Tuhan, Bronte dalam hal ini ia telah berhasil dalam menyampaikan sebuah simpati kepada para pembaca bahwa para pembaca pun juga musti memikirkan konsep tuhan mereka sendiri. Dalam symbol-symbol yang digunakan bronte adalah proses imagery-nya yang kuat sehingga dirinya soul is mine menghubungkan sebuah keterikatan dengan Tuhannya.
Menurut Edgar V. Roberts (1964:143) “imagery is a broad term referring to the verbal comparison of one or many object, ideas, or emotional states with something else”. Imagery adalah sebuah garis penghubung dari sebuah perbandingan berbagai obyek, gagasan, atau keadaan emosional dengan yang lain. Secara umum author menggunakan Imagery untuk menimbulkan respon dari pembaca sesuai dengan imaginasi dan pengalamannya. Mungkin Imagery dapat dikatakan pula sama dengan analogy atau pengkiasan sesuatu dengan sesuatu yang pernah di ketahui sebelumnya. Seperti mengkiaskan kegetiran cinta dengan peristiwa bencana alam seperti gempa atau angin topan, atau mewakilkan keindahan, kecantikan dan perempuan dengan bunga mawar.
Penggunaan Imagery salah satu solusi ketika kita ingin menjelaskan sesuatu yang mungkin orang belum tahu tentang itu, akan tetapi kita mencoba mnyampaikannya dengan analogy-analogy yang pada umumnya mereka sudah tahu. Imagery adalah sesuatu yang penting dalam imaginative writing karena pada prakteknya sebuah karya sastra bersifat imaging something to the other extent; karena begitu luasnya material yang disampaikan maka imagery adalah tolak ukur untuk kita menemukan sebuah pesan yang terseirat dalam struktur karya sastra tersebut
B. Daftar Pustaka
- Aminuddin, 2003, Semantik; Pengantar Studi Makna, Sinar Baru Algesindo, Bandung.
- Edgar V. Roberts. 1964 Writing Theme About Litterature. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliftfs, USA.
- Fiske, Jhon. 2004. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Jalasutra.Yogyakarta
Menurut Fiske dalam Bukunya Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (2004) Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda yang pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu, yakni objeknya . Pun dikatakand oleh Richards lewat segi tiga dasar yang telah diperkirakan dalam bukunya, The Meaning of Meaning, (1923), seperti pada gambar dibawah ini:
Dari bagan berupa segi tiga itu dapat diketahui bahwa pikiran sebagai unsure yang mengadakan signifikasi sehingga menghadirkan makna tertentu, memilki hubungan langsung dengan reference atau acuan. Gagasan itu pun memilki hubungan langsung pula dengan symbol atau lambang . Pierce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian yaitu: ikon,indeks,simbol yang disebut tipologi tanda.
Dalam hal ini adalah Simbol, sebagai tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran. Lampu lalu lintas adalah simbol, warna merah berhenti, hujau berarti jalan, palang merah adalah simbol yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaraan melalui konvensi atau aturan dalam kebudayaan yang telah disepakati. Katagori-katagori tersebut tidaklah terpisah dan berbeda. Satu tanda bisa saja kumpulan dari berbagai tipe tanda.
Berbicara soal ymbol pada pusi adalah Figurative language berperan penting dalam hal membandingkan dan mewakilkan objek kepada tanda lain berupa smile atau methaphore yang biasanya kita jumpai pada puisi yang menyimbolkan sesuatu kepada sesuatu yang lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas penulis dalam hal ini akan menguraikan dan menelaah berbagai symbol yang terdapat dalam Puisi No Coward Soul Is Mine karya Emily Bronte maka dibawah ini adalah formulasi atau rumusan masalahnya:
1. Simbol apa saja yang digunakan Emily Bronte dalam Puisi No Coward is Mine?
2. Makana apa yang terkandung dalam symbol-symbol yang digunakan oleh Emily Bronte dalam Puisi No Coward is Mine?
C. Pembahasan
3. Symbol-symbol yang terdapat dalam Puisi No Coward Soull Is Mine karya Emily Bronte
Dalam Puisinya yang terdiri dari tujuh stanza dan perbaitnya terdapat empat line baris yang mana dari seluruh baitnya terdapat beberapa Objek atau subyek yang dijadikan sebuah symbol, dan diantara symbol-simbol itu adalah sebagaimana tertera dalam table dibawah ini:
Symbol Interpretasi Makna
Strom Strom-troubled dapat diartikan sebagai dosa yang membuat manusia menjadi takut akan sebuah ancaman di masa yang akan datang
Heaven Sebuah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Tuhan di alam lain setelah dunia
Boundless Sebuah pengakuan terhadap kuasa yang tidak dapat ditandingi oleh kuasa apapun
Rock Sebuah kekuatan yang sangat tidak terbatas dan sangat kuat melebihi kerasnya batu
Embracing love Malu mengatakan cinta karena merasa tidak sempurna dalam pembuktian cintanya kepada Tuhan.
Eternal Years Waktu yang takterbatas atau abadi
Earth and man Kuasa laki-laki yang bercokol di muka bumi, bukanlah suatu kuasa yang abadi
Atom Sesuatu urusan terkecil yang ada didunia ini
Breath Kehidupan
4. Makna yang terkandung dalam penggunaan Symbol-symbol dalam Puisi No Coward Soull Is Mine karya Emily Bronte
Pusi yang menceritakan sebuah perasaan jiwa puisi ini terdapat konsep tentang Tuhan didalamnya, melalui rangkian deskripsi tentang dirinya (narrator puisi), dan bagaimana yang lainnya berhubungan kembali dengan dirinya, suatu konsep tentang kematian dan keyakinan. Bronte dalam hal ini adalah bertujuan untuk mengekpresikan pikirannya tentang Tuhan, Seperti yang dia tampilkan pada dirinya sebagai orang pertama (subyek), dan semua perkara berhubungan dengan dirinya, seperti kematian dan keyakinan.
Pada garis pertama dalam sajak, “no coward soul is mine” juga termasuk kedalam puisinya itu menyimbolkan kedekatan dari puisinya itu sendiri dan menyampaikan perasaan dari sebuah refleksi dan kebutuhan dari sebuah ekspresi. Bronte membutuhkan untuk mengungkapkan kepada dunia bahwa dia adalah tidak berdaya, dan ini di lakukannya dalam versi puisinya ini.
Nada dalam puisi ini adalah sebuah pantulan, dari seluruh keinginannya yang besar. Bahasa yang digunkannya adalah bahasa emosional atau suara hati yang kuat tentang kesia-siaan atau tidak berharha ketika dia menceritakan yang lain. Penggunaan kata-katanya dalam konteknya adalah aktraktif, indah dan efektif. Bronte membicarakan tentang sesuatu yang mana dimaksudkan kepadanya. , “…thou art Being and Breath”, dan menggunakan bahasa yang indah dalam menyampaikan sebuah makna.
Bronte juga menggunakan banyak pencitraan image yang kuat, “Storn-Troubled Sphere,” dan “suns and universe seased to be,” dalam menceritakan Tuhannya. Imaginasi ini minumbulkan sebuah perasaan yang kuat pada setiap pembacanya, sebuah hubungan emosional kedalam sebuah kontek pusi, walaupun dengan hubungan yang simple dalam keyakinannya.
Mengajak kepada yang lain trlibat dalam ungkapan-ungkapan melalui simple metaphor dalam puisnya. “So surely anchored on. The steadfast rock of immortality”. Petikan pusi ini adalah untuk menyanjung Tuhan dalam seluruh puisinya. Bronte membandingkan Tuhan kepada sesuatu yang kuat seperti batu yang kokoh, atau seperti kepada segala yang meliputi langit dan bumi. Matahari dan seluruh jagat raya berada dalam genggamannya. Dalam setiap baris puisi ini tidak terlepas dari campur tangan Metaphor seperti smile. Penggunaan kata “as” adalah sebagai partikulasi smile disini dugunakan sebgai kalimat yang menjadi nada indah, juga mengekspresikan sebuah kontemplasi kesombongan para laki-laki. Struktur pusi ini sanagat konserpativ, yang mana penyadaran yang baik dalam isinya.
Pusi yang trwujud kedlam tujuh stanza dengan empat bait perstanzanya, yang mana pada setiap baris kedua pada rima, kecuali pada baris pertama, bait ketiga dari syair keempat dan ke enam, tapi ini menimbulkan lebih dari sekedar dari disain yang dibutuhkan. Pergerakan pusi dari satu kata ke kata yang lain sunguh baik, walaupun tanpa rhima dan ini mengalir dalam setiap kata-kata yang dilontarannya.
Berikut ini adalah sebuah tambahan analysis dari beberapa pengulangan-pengulangan alliteration, seperti pada couplet pertaman, “No coward soul is mine, No trembler in the world’s storm-troubled sphere”. Kutipan ini adalah untuk menguatkan consep, dalam hal ini bahwa bronte tidaklah lemah. Juga pada couplet pertama adalah sebuah contoh cabang judul yang menarik dari alitrasi pada hal ii adalah sebuah kata “s” adalah suara yang lembut. ini menjadikan apa yang sebaliknya pada image badai yang menyeramkan. Lebih jelasnya penggunaan alitrasi pada couplet paling terakhir. ”Since thou art Being and Breath” menciptakan sebuah perasaan kerinduan akan keingin tahuan pada sesuatu.
D. Kesimpulan
Menyambungkan sesorang untuk mencitrakan Tuhan, Bronte dalam hal ini ia telah berhasil dalam menyampaikan sebuah simpati kepada para pembaca bahwa para pembaca pun juga musti memikirkan konsep tuhan mereka sendiri. Dalam symbol-symbol yang digunakan bronte adalah proses imagery-nya yang kuat sehingga dirinya soul is mine menghubungkan sebuah keterikatan dengan Tuhannya.
Menurut Edgar V. Roberts (1964:143) “imagery is a broad term referring to the verbal comparison of one or many object, ideas, or emotional states with something else”. Imagery adalah sebuah garis penghubung dari sebuah perbandingan berbagai obyek, gagasan, atau keadaan emosional dengan yang lain. Secara umum author menggunakan Imagery untuk menimbulkan respon dari pembaca sesuai dengan imaginasi dan pengalamannya. Mungkin Imagery dapat dikatakan pula sama dengan analogy atau pengkiasan sesuatu dengan sesuatu yang pernah di ketahui sebelumnya. Seperti mengkiaskan kegetiran cinta dengan peristiwa bencana alam seperti gempa atau angin topan, atau mewakilkan keindahan, kecantikan dan perempuan dengan bunga mawar.
Penggunaan Imagery salah satu solusi ketika kita ingin menjelaskan sesuatu yang mungkin orang belum tahu tentang itu, akan tetapi kita mencoba mnyampaikannya dengan analogy-analogy yang pada umumnya mereka sudah tahu. Imagery adalah sesuatu yang penting dalam imaginative writing karena pada prakteknya sebuah karya sastra bersifat imaging something to the other extent; karena begitu luasnya material yang disampaikan maka imagery adalah tolak ukur untuk kita menemukan sebuah pesan yang terseirat dalam struktur karya sastra tersebut
B. Daftar Pustaka
- Aminuddin, 2003, Semantik; Pengantar Studi Makna, Sinar Baru Algesindo, Bandung.
- Edgar V. Roberts. 1964 Writing Theme About Litterature. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliftfs, USA.
- Fiske, Jhon. 2004. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Jalasutra.Yogyakarta
STUDY FIGURATIVE LANGUAGE DALAM PUISI
A. Latar Belakang Masalah
Pusi adalah sebuah term yang didalamnya terdapat beberapa jenis atau tipe seperti sonnet, lyric, ballad, song, ode, drama, epik dan drama monolog. Pada dasarnya puisi adalah sebuah luapan ekspresi dari sebuah emosional jiwa. Pusi biasanya berwujud stanza (paragrap) dan cantos (chapter) yang didalamnya terdapat macam-macam struktur variasi seperti rhyme, metter, imagery, allegory, figurative language dan lain sebagainya.
Dari keragaman itu puisi dikenal dengan kata Defamiliarization atau ketidak biasaan dalam penggunaan struktur kalimat yang biasa digunakan sehari. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2005:7) puisi adalah “mengekspresikan pemikiran yang mengembangkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan seuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan”.
Unsur-unsur dalam puisi sangatlah luas salah satunya dikenal sebuah unsure majas, kiasaan atau figurative language. Unsure kiasan ini adalah bahasa yang digunakan untuk memberikan perhatian kepada siappun yang menjadi pelaku sastra baik author atau reader. Tujuannya adalah selain menjadikan puisi lebih menarik dan variatif juga memberikan gambaran dari interpretasi imajinasi yang ada. “Biasanya bahasa kiasan mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup” (R. Djoko Pradopo, 2005:62). Banyak ragam bahasa kiasan Figurative language dalam pusi diantaranya Smile, Metaphor, Conceit, Synecdoche, Metonimy dan personifikasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasatkan latar belakang maslah diatas mengenai Figurative Language yang membahas tentang majas-majas atau kiasan maka penulis merumuskan masalah diatas dengan pertanyaan, bagaimana unsur-unsur Figurative language dalam Puisi?
C. Langkah Penelitian
Dalam penelitian teks puisi kali ini akan terdapat uraian macam-macam Imagery yang akan di klasifikasikan dengan kelasnya masing-masing, untuk lebih jelasnya dapat diperagakan dengan skema penelitian di bawah ini:
D. Pembahasan
1. Unsur Figurative Language dalam puisi
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai suatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970:15). Figurative language terdiri dari smile, metaphor, Synecdoche, Metonimy dan Personifikasi.
A. Simile
Simile adalah adalah perbandingan yang menggunakan kata “seperti” atau “bagaikan” (Edgar V. Roberts,1964:146).
Berdasarkan pendapat diatas kita dapat memahami klasifikasi pertama dari figurative language adalah smile yang selalu menggunakan kata perbandingan atau perumpamaan. Kata kiasan ini adalah kata as, like, yang sederhana atau umumnya sering digunakan dalam sajak, prosa dan aktivitas sastra lainnya. Dibawah ini contoh Smile dalam sajak Goblin Market karya Christina Georgina Rossetti:
One tramped at a rat's pace,
One crawled like a snail,
One like a wombat prowled obtuse and furry,
One like a ratel tumbled hurry-scurry.
Lizzie heard a voice like voice of doves
Cooing all together:
………..
Laura stretched her gleaming neck
Like a rush-imbedded swan,
Like a lily from the beck,
Like a moonlit poplar branch,
Like a vessel at the launch
When its last restraint is gone.
Kata like diatas membandingkan atau mengumpamakan sebuah act Laura ketika menegadahkan lehernya kepada beberapa perumpamaan, seperti melentungnya leher angsa, bunga bakung dan perumpaman lainnya.
Contoh laninnya dalam The Rubiyat of Omar Khayam karya Edward Fitzgerald:
I sometimes think that never blows so red
The Rose as where some buried Caesar bled;
Seperti bunga rose yang di umpamakan berada di atas kuburan Ceasar yang berdarah.
XXXI
Into this Universe, and Why not knowing,
Nor Whence, like Water willy-nilly flowing:
And out of it, as Wind along the Waste,
I know not Whither, willy-nilly blowing
Perumpamaan ketidak pedulian terhadap alam semesta yang memberikan pengetahuan yang di kiaskan dengan air Willy-Nilly yang mengalir, begitu saja berlalu dan tidak dipedulikan.
B. Metaphor
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, yang tidak menggunakan kata-kata perbandingan, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya, metofora itu membandingkan sesuatu dengan perantara benda yang lain (Becker, 1978:317). Jelasnya adalah mewakilkan sebuah obyek dengan obyek lain tanpa menggunakan kata yang biasa digunakan smile, bisa dengan menggunakan kata “adalah” atau deskripsi objek tersebut. Seperti pada sajak To My Dear and Loving Husband karya Anne Bradstreet:
My love is such that rivers cannot quench,
Nor ought but love from thee, give recompense.
Thy love is such I can no way repay,
Cinta yang dibandingkang dengan sungai yang tidak memuaskan rasa dahaga, dan cinta di dibandingkan atau diumpakan seperti sesuatu yang tidak dapat dibayar.
I know, and they know me—
I feel for them a transport
Of cordiality
Dia menggambarkan dirinya seperti alat penghantar penyambung bagi orang lain.
C. Metonymy
Metonimy adalah berupa atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut, (Altenbernd, 1970:21) ini dapat di misalkan seperti Presiden yang identik dengan Istana Bogor. Dalam puisi A Narrow Fellow In The Grass karya Emily Dickinson kita dapat melihat metonymy tersebut.
Have passed, I thought, a Whiplash
Unbraiding in the Sun
Pusi ini mewakilkan sebuah pecut atau cameti yang sekilas jika dilihat seperti ular kata Whiplash adalah metonymy dari the snake. Contoh lainnya dalam karya The Eagle karya Lord Tennyson:
He watches from his mountain walls
And like a thunderbolt he falls
His mountain walls adalah perwakilan dari hidung atau paruh dimana ia melihat menerabas paruh/hidungnya yang mancung seperti gunung.
D. Synecdoche
Synecdoche adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970:22). Jadi synecdoche itu dapat diatakan salah satu jenis metaphor; yaitu sesuatu yang kecil mewakilkan sesuatu yang besar seperti mewakilkan manusia dengan batang hidungnya saja. Dibawah ini adalah contoh synecdoche dalam puisi Huswifery karya Edward Taylor .
My Words, and Actions, that their shine may fill
My wayes with glory and thee glorify.
Dalam stanza ini kata dan perbuatan mewakilkan sebuah kejayaan dan kata ‘kata’ dan ‘perbuatan’ mewakilkan seluruh anggota badan manusia.
Elizabeth B Browning dalam sonnet 43
With my lost saints-I lobe with the breath,
Smiles, tears, of all my life-and, if God choose,
I shall but love thee better after death
Senyum ‘smile’ dan tangis ‘tears’ mewakilkan semua perasaan yang ada dalam kehidupan
E. Personifikasi
Personifikasi itu merupakan majas yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia. (Rachmat Djoko Pradopo, 2005:75). Seperti burung yang bernyanyi atau daun daun yang bergoyang, majas ini sebuah bahasa sastrawi yang menjadikan semua obyek bebas ber interpretasi. Personifikasi dapat kita lihat dalam puisi Sister Helen karya Dante G. Rossetti
"Oh the wind is sad in the iron chill
Puisi ini mengandaikan sebuah angina yang sedih karena panasnya cabai.
Puisi The Eagle: A Fragment karya Alfred; Lord Tennyson
He claps the crag with crooked hand
Close to the sun in lonely land
Puisi ini menyebutkan sebuah pulau yang kesepian lonely land atau pulau mati bisa pula diartikan sesuatu yang besar tetapi tiada arti.
E. Kesimpulan
Figurative language adalah sebuah majas yang mengatur struktur kata menjadi sangat komplek dan variable. Memilki banyak makna dan konotasi kepada makna lain yang kesemuanya itu tergantung kepada interpretasi pembaca.
Penggunaan majas dalam pusi seperti simile, metaphor, metonimy, sinedoche dan personifikasi semuanya adalah majas perwakilan atau perbandingan, dengan sifat dan ragam yang berbeda baik sederhana atau berlebih-lebihan. Dari kesemua perbandingan itu dapat kita amati bahwa figurative languge berperan dalam puisi sebagai ajang deskripsi sesuatu dengan yang lainnya atau memaknai makna denotasi dan konotasi. Bahkan kita dapat mendapatkan sebuah informasi tentang sebuah puisi itu dibuat dilihat dari deskripsisi sesuatu pada saat tertentu, misalkan majas metonimy pada kata “resletingnya terbuka-tak tertutup” bisa menandakan seseorang yang pelupa atau dia lupa karena tergesa-gesa. Atau kita mengetahui kapan puisi ini diceritakan; misal kita membaca puisi yang terdapat majas synecdoche menyebutkan ‘kerah kanji’ adalah deskripsi kemeja yang rapih yang di strika dengan menggunakan tepung kanji agar terlihat rapi dan keras, dan itu adalah deskripsi era tahun 70-an, dimana orang untuk merapihkan bajunya agar nampak lebih elegan dengan menambahkan tepung kanji saat menyetrika pakaiannya.
Jadi dengan figurative language kita dapat menyebutkan sesuatu yang simpel atau kompleks kedalam kata-kata yanglebih indah dan buas. Seperti halnya sebuah ukiran atau lukisan yang menggambarkan burung cendrawasih dengan deskripsi dan cara atau style yang berbeda itu akan memberikan kesan yang berbeda pula.
Daftar Pustaka
Altenbernd, Lynn dan Lislie L lewis, 1970. A Handbook for the Studyof Poetri. London: Collier-MacMillan Ltd.
Becker, A.L. 1978, Lingustik dan Analisis. Jakarta Panitia Pelaksana Penataran Sastra, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Edgar V. Roberts. 1964 Writing Theme About Litterature. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliftfs, USA.
Rachmat Djoko Pradopo, 2005, Pengkajian Puis: analisis strata norma dan analisis structural dan semiotiki, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
The Norton Anthology; Of English Literature, Seventh Edition, Norton & Company, Inc USA.
Pusi adalah sebuah term yang didalamnya terdapat beberapa jenis atau tipe seperti sonnet, lyric, ballad, song, ode, drama, epik dan drama monolog. Pada dasarnya puisi adalah sebuah luapan ekspresi dari sebuah emosional jiwa. Pusi biasanya berwujud stanza (paragrap) dan cantos (chapter) yang didalamnya terdapat macam-macam struktur variasi seperti rhyme, metter, imagery, allegory, figurative language dan lain sebagainya.
Dari keragaman itu puisi dikenal dengan kata Defamiliarization atau ketidak biasaan dalam penggunaan struktur kalimat yang biasa digunakan sehari. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2005:7) puisi adalah “mengekspresikan pemikiran yang mengembangkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan seuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan”.
Unsur-unsur dalam puisi sangatlah luas salah satunya dikenal sebuah unsure majas, kiasaan atau figurative language. Unsure kiasan ini adalah bahasa yang digunakan untuk memberikan perhatian kepada siappun yang menjadi pelaku sastra baik author atau reader. Tujuannya adalah selain menjadikan puisi lebih menarik dan variatif juga memberikan gambaran dari interpretasi imajinasi yang ada. “Biasanya bahasa kiasan mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup” (R. Djoko Pradopo, 2005:62). Banyak ragam bahasa kiasan Figurative language dalam pusi diantaranya Smile, Metaphor, Conceit, Synecdoche, Metonimy dan personifikasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasatkan latar belakang maslah diatas mengenai Figurative Language yang membahas tentang majas-majas atau kiasan maka penulis merumuskan masalah diatas dengan pertanyaan, bagaimana unsur-unsur Figurative language dalam Puisi?
C. Langkah Penelitian
Dalam penelitian teks puisi kali ini akan terdapat uraian macam-macam Imagery yang akan di klasifikasikan dengan kelasnya masing-masing, untuk lebih jelasnya dapat diperagakan dengan skema penelitian di bawah ini:
D. Pembahasan
1. Unsur Figurative Language dalam puisi
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai suatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970:15). Figurative language terdiri dari smile, metaphor, Synecdoche, Metonimy dan Personifikasi.
A. Simile
Simile adalah adalah perbandingan yang menggunakan kata “seperti” atau “bagaikan” (Edgar V. Roberts,1964:146).
Berdasarkan pendapat diatas kita dapat memahami klasifikasi pertama dari figurative language adalah smile yang selalu menggunakan kata perbandingan atau perumpamaan. Kata kiasan ini adalah kata as, like, yang sederhana atau umumnya sering digunakan dalam sajak, prosa dan aktivitas sastra lainnya. Dibawah ini contoh Smile dalam sajak Goblin Market karya Christina Georgina Rossetti:
One tramped at a rat's pace,
One crawled like a snail,
One like a wombat prowled obtuse and furry,
One like a ratel tumbled hurry-scurry.
Lizzie heard a voice like voice of doves
Cooing all together:
………..
Laura stretched her gleaming neck
Like a rush-imbedded swan,
Like a lily from the beck,
Like a moonlit poplar branch,
Like a vessel at the launch
When its last restraint is gone.
Kata like diatas membandingkan atau mengumpamakan sebuah act Laura ketika menegadahkan lehernya kepada beberapa perumpamaan, seperti melentungnya leher angsa, bunga bakung dan perumpaman lainnya.
Contoh laninnya dalam The Rubiyat of Omar Khayam karya Edward Fitzgerald:
I sometimes think that never blows so red
The Rose as where some buried Caesar bled;
Seperti bunga rose yang di umpamakan berada di atas kuburan Ceasar yang berdarah.
XXXI
Into this Universe, and Why not knowing,
Nor Whence, like Water willy-nilly flowing:
And out of it, as Wind along the Waste,
I know not Whither, willy-nilly blowing
Perumpamaan ketidak pedulian terhadap alam semesta yang memberikan pengetahuan yang di kiaskan dengan air Willy-Nilly yang mengalir, begitu saja berlalu dan tidak dipedulikan.
B. Metaphor
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, yang tidak menggunakan kata-kata perbandingan, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya, metofora itu membandingkan sesuatu dengan perantara benda yang lain (Becker, 1978:317). Jelasnya adalah mewakilkan sebuah obyek dengan obyek lain tanpa menggunakan kata yang biasa digunakan smile, bisa dengan menggunakan kata “adalah” atau deskripsi objek tersebut. Seperti pada sajak To My Dear and Loving Husband karya Anne Bradstreet:
My love is such that rivers cannot quench,
Nor ought but love from thee, give recompense.
Thy love is such I can no way repay,
Cinta yang dibandingkang dengan sungai yang tidak memuaskan rasa dahaga, dan cinta di dibandingkan atau diumpakan seperti sesuatu yang tidak dapat dibayar.
I know, and they know me—
I feel for them a transport
Of cordiality
Dia menggambarkan dirinya seperti alat penghantar penyambung bagi orang lain.
C. Metonymy
Metonimy adalah berupa atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut, (Altenbernd, 1970:21) ini dapat di misalkan seperti Presiden yang identik dengan Istana Bogor. Dalam puisi A Narrow Fellow In The Grass karya Emily Dickinson kita dapat melihat metonymy tersebut.
Have passed, I thought, a Whiplash
Unbraiding in the Sun
Pusi ini mewakilkan sebuah pecut atau cameti yang sekilas jika dilihat seperti ular kata Whiplash adalah metonymy dari the snake. Contoh lainnya dalam karya The Eagle karya Lord Tennyson:
He watches from his mountain walls
And like a thunderbolt he falls
His mountain walls adalah perwakilan dari hidung atau paruh dimana ia melihat menerabas paruh/hidungnya yang mancung seperti gunung.
D. Synecdoche
Synecdoche adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970:22). Jadi synecdoche itu dapat diatakan salah satu jenis metaphor; yaitu sesuatu yang kecil mewakilkan sesuatu yang besar seperti mewakilkan manusia dengan batang hidungnya saja. Dibawah ini adalah contoh synecdoche dalam puisi Huswifery karya Edward Taylor .
My Words, and Actions, that their shine may fill
My wayes with glory and thee glorify.
Dalam stanza ini kata dan perbuatan mewakilkan sebuah kejayaan dan kata ‘kata’ dan ‘perbuatan’ mewakilkan seluruh anggota badan manusia.
Elizabeth B Browning dalam sonnet 43
With my lost saints-I lobe with the breath,
Smiles, tears, of all my life-and, if God choose,
I shall but love thee better after death
Senyum ‘smile’ dan tangis ‘tears’ mewakilkan semua perasaan yang ada dalam kehidupan
E. Personifikasi
Personifikasi itu merupakan majas yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia. (Rachmat Djoko Pradopo, 2005:75). Seperti burung yang bernyanyi atau daun daun yang bergoyang, majas ini sebuah bahasa sastrawi yang menjadikan semua obyek bebas ber interpretasi. Personifikasi dapat kita lihat dalam puisi Sister Helen karya Dante G. Rossetti
"Oh the wind is sad in the iron chill
Puisi ini mengandaikan sebuah angina yang sedih karena panasnya cabai.
Puisi The Eagle: A Fragment karya Alfred; Lord Tennyson
He claps the crag with crooked hand
Close to the sun in lonely land
Puisi ini menyebutkan sebuah pulau yang kesepian lonely land atau pulau mati bisa pula diartikan sesuatu yang besar tetapi tiada arti.
E. Kesimpulan
Figurative language adalah sebuah majas yang mengatur struktur kata menjadi sangat komplek dan variable. Memilki banyak makna dan konotasi kepada makna lain yang kesemuanya itu tergantung kepada interpretasi pembaca.
Penggunaan majas dalam pusi seperti simile, metaphor, metonimy, sinedoche dan personifikasi semuanya adalah majas perwakilan atau perbandingan, dengan sifat dan ragam yang berbeda baik sederhana atau berlebih-lebihan. Dari kesemua perbandingan itu dapat kita amati bahwa figurative languge berperan dalam puisi sebagai ajang deskripsi sesuatu dengan yang lainnya atau memaknai makna denotasi dan konotasi. Bahkan kita dapat mendapatkan sebuah informasi tentang sebuah puisi itu dibuat dilihat dari deskripsisi sesuatu pada saat tertentu, misalkan majas metonimy pada kata “resletingnya terbuka-tak tertutup” bisa menandakan seseorang yang pelupa atau dia lupa karena tergesa-gesa. Atau kita mengetahui kapan puisi ini diceritakan; misal kita membaca puisi yang terdapat majas synecdoche menyebutkan ‘kerah kanji’ adalah deskripsi kemeja yang rapih yang di strika dengan menggunakan tepung kanji agar terlihat rapi dan keras, dan itu adalah deskripsi era tahun 70-an, dimana orang untuk merapihkan bajunya agar nampak lebih elegan dengan menambahkan tepung kanji saat menyetrika pakaiannya.
Jadi dengan figurative language kita dapat menyebutkan sesuatu yang simpel atau kompleks kedalam kata-kata yanglebih indah dan buas. Seperti halnya sebuah ukiran atau lukisan yang menggambarkan burung cendrawasih dengan deskripsi dan cara atau style yang berbeda itu akan memberikan kesan yang berbeda pula.
Daftar Pustaka
Altenbernd, Lynn dan Lislie L lewis, 1970. A Handbook for the Studyof Poetri. London: Collier-MacMillan Ltd.
Becker, A.L. 1978, Lingustik dan Analisis. Jakarta Panitia Pelaksana Penataran Sastra, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Edgar V. Roberts. 1964 Writing Theme About Litterature. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliftfs, USA.
Rachmat Djoko Pradopo, 2005, Pengkajian Puis: analisis strata norma dan analisis structural dan semiotiki, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
The Norton Anthology; Of English Literature, Seventh Edition, Norton & Company, Inc USA.
THEME ANALYSIS IN ANITA DESAI “PIGEONS AT DAYBREAK “ PAPER
Final Test Assignment of Survey Modern British
By:
Dedi Suhendar
204102322
A. Background of Problem
Literary work is the imaginative writing in the sense of fiction writing that is literally true (Eagleton, 1997:1) argues in this critic. Nevertheless, subsequently Eagleton states if literature is creative or imaginative writing, does this imply that history, philosophy and natural science are uncreative and unimaginative. This question remarkably turning him out to the statement as Roman Jacobson did.
Henceforth, literature has a limitation to be scrutinized and analyzed. Since the abstractable meaning, which are held by literature, its specified by it self and differ from ordinary language itself as a peculiar way of communication. Literature has it genre consist of there mainstream poetry, fiction, and drama as Robert DiYanni said , (2004:XXXVIII) “Literature: Approaches to fiction, poetry and drama examines literature as a significant reflection of life and an imaginative extension of its possibilities; it emphasizes the reading of literature as an active enterprise involving thought and invoking feeling”. The writer then will focus on the fiction actually theme of story devices concerning the paper purposes.
We read stories largely for the emotional and intellectual pleasure they bring us, the pleasure of being surprised or disturbed by an unexpected turn of events or of being satisfied as our expectation are met. Well-told stories involve us emotionally in the live of their character. They provide us with pleasure of recognition in the world they portray and in the behavior of the character who inhabit them. According to J.B. Gordon and Karen Kueher, (1999:VI) “Stories can simultaneously convey experiences both individual and universal. Universal experiences are those that would be familiar to people from any period of time and in any country. They include being part of family, growing up, finding one’s place in the world, falling in love, overcoming obstacles, and/or accepting success or failure”.
The word theme denotes the central idea of serious fictional works such as novels, plays, poem, or short stories. Theme is an author’s insight or general observation about human nature or human condition that is conveyed through character, plot, and imagery.
Support on the previous statement, the writer decides to analyze the elements of the story theme, then this paper entitled Theme Analysis in Anita Desai “Pigeons at Daybreak “.
B. Formulation of Problem
Base on the background above, appear some of problem that can be formulated through research questions as follow:
1. What the biography of Anita Desai
2. How the summary of Pigeons at Daybreak story?
3. What The Theme in Anita Desai “Pigeons at Daybreak”?
C. Analysis
1. Biography of Anita Desai
Born to a German mother and an Indian father on June 24, 1937, Anita Desai spent much of her life in New Delhi. Growing up she spoke German at home and Hindi to friends and neighbors. She first learned English when she went to school. It was the language in which she first learned to read and write, and so it became her literary language. When asked why English remains her literary language, she said, "I think it had a tremendous effect that the first thing you saw written and the first thing you ever read was English. It seemed to me the language of books. I just went on writing it because I always wanted to belong to this world of books".
Desai received a BA in English Literature and graduated with honors from the University of Delhi. She started publishing her work shortly after her marriage to Ashrin Desai on December 13, 1958. Desai is part of a new literary tradition of Indian writing in English which dates back only to the '30s or '40s. She explains that this is because "at one time all literature was recited rather than read and that remains the tradition in India. It is still rather a strange act to buy a book and read it, an unusual thing to do" (CLC). Her new style of writing is also different from that of many Indian writers, as it is much less conservative than Indian literature has been in the past. For these reasons, she says, she is not widely read in India, mainly in Indian universities if at all. Throughout her novels, children's books, and short stories, Desai focuses on personal struggles and problems of contemporary life that her Indian characters must cope with. She maintains that her primary goal is to discover "the truth that is nine-tenths of the iceberg that lies submerged beneath the one-tenth visible portion we call Reality". She portrays the cultural and social changes that India has undergone as she focuses on the incredible power of family and society and the relationships between family members, paying close attention to the trials of women suppressed by Indian society.
Desai is praised for her broad understanding on intellectual issues, and for her ability to portray her country so vividly with the way the eastern and western cultures have blended there. She has received numerous awards, including the 1978 National Academy of Letters Award for Fire on the Mountain, the first of her novels to be brought to the United States. The story is of a remote, isolated woman and her equally withdrawn great-granddaughter as they are forced together in hills surrounded by violence and fire. In 1983 she was awarded the Guardian Prize for Children's Fiction for The Village by the Sea, an adventurous fairy tale about a young boy living in a small fishing village in India. She was awarded the Literary Lion Award in 1993, and has also been named Helen Cam Visiting fellow, Ashby fellow, and honorary fellow of the University of Cambridge. In addition to her writing, Desai has raised four children: Rahul, Tani, Arjun, and Kiran. She has been a member of the Advisory Board for English, and of the American Academy of Arts and Letters, as well as a Fellow of the Royal Society of Literature. She has also worked as an educator at colleges including Mt. Holyoke, Smith, and Girton College at Cambridge University.
2. Summary of “Pigeons at Daybreak” by Anita Desai
In the short story of pigeons at daybreak I read a story about character, who is Mr. Basu has been suffering for a number of years with a multitude of physical and emotional problems that often plague the asthma, depression, and failing eyesight. His wife, Otima, is the loving, understanding, but totally exhausted caregiver. As the story proceeds, Otima reads aloud from the newspaper that there will be a planned power outage that night. Basu responds with an asthmatic attack, fearing the hot night to come with no electric fan to move the air. Otima decides they will sleep outside, up on the terrace.
Basu is no more comfortable on the roof and the night is spent in agony. At one point, he remembers bringing his grandson up to see the collectors pigeons on the neighbor's rooftops . This memory fills him with emotion. Remembering the sense of wonder that the boy had is a wonderful feeling but Basu is also saddened by the passage of time. Still unable to sleep, his discomfort too much, Basu says his grandson's name over and over to himself, like a prayer or mantra. At daybreak, Otima goes downstairs to get Basu some iced water and discovers the electricity is back on. She runs back up to the terrace to help him down so he can sleep in his own bed for a while. He refuses saying it is cooler up there now and tells her to leave him alone
The story ends with him laying "flat and still, gazing up, his mouth hanging open" and the pigeons hurtling upwards against the "dome of the sky, opalescent, sunlit, like small pearls". They turn into crystals, then prisms of light, then disappear into "the soft, deep blue of the morning."
3. The Theme in Anita Desai “Pigeons at Daybreak”
The theme was a psychology suffering’s husband kept by his wife most loyalty even in the world. Pigeon at daybreak is a story of the valetudinarian psychology of Mr. Basu he has been suffering from the ailment of asthma for so long. His wife, Otima Basu. Is highly devoted and sincere. Otima has to attend to all real and imagined problem of her husband in addition to all her tiring daily domestic chores. A very committed and obedient lady as Otima is, she never harbors any grudge or any complain against her husband. On receiving the information that there would be an electric breakdown the whole night. She tends him well and when her husband’s breathing problem increase, she carries him to the roof-top, where Mr. Basu is scared of his quarrelsome neighbor. Throughout the night, Otima massages Basus’s body and there is some cool breeze also. This brings Basu’s some respite. Pigeons fly at the daybreak. And the flight of the pigeons also bring a temporary respite for Mr. Basu “then, with a swirl and further of feather, a folk of pigeon hurled upward and speared out against the dome of the sky-opalescent, sunlit, like small pearls (…), then they disappeared into the soft. Deep blue of the morning (P.228).
In fact, Otima knows the psychology of her husband well, even the slightest occasion enhances her husband’s problems to the extent that Otima find it extremely difficult to deal with these weak moment of her husband. “She knew how rapidly he would advance from imagined breathlessness into the first frightening stage of a full-blown attack of asthma” (P.223)
D. Conclusion
Precisely, this short story is a psychological story dealing with the imagined problem of an asthmatic patient like Mr. Buse. This story also tells how a patients wife like Otima tends her husband well. Pigeons figure in the story as emblems of peace and liberation. At the time of daybreak, the pigeons like other bird flutter in the air feeling free liberated and happy. Mr. Basu usually sleeps at the daybreak getting a temporary respite from the night’s suffocating air and physical groaning. Dwelling upon a very commonplace life situation, Anita has raised a very serious question of an honorable existence being buffeted by such a predicament as that of Othima.
E. Reference
Anita Desai. 1978. Game at Twilight and Other Stories. Penguins. London.
Diyanni, Robert. 2004. Literature; Approaches to Fiction, poetry, and Drama. McGraw-Hill Company, New York.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory, an Introduction. Basil Blackwell Publisher Limited. England.
Frye Northop, 1973. Anatomy of Criticism, Princeton University Press. America
J.B. Gordon, Karen Kuehner.1999. FICTION The Element of The Short Story. McGraw-Hill Company. USA.
Griffithsm, Sian. ed. 1996. Beyond the Glass Ceiling: Forty Women Whose Ideas Shape the Modern World. Manchester: Manchester University Press,
By:
Dedi Suhendar
204102322
A. Background of Problem
Literary work is the imaginative writing in the sense of fiction writing that is literally true (Eagleton, 1997:1) argues in this critic. Nevertheless, subsequently Eagleton states if literature is creative or imaginative writing, does this imply that history, philosophy and natural science are uncreative and unimaginative. This question remarkably turning him out to the statement as Roman Jacobson did.
Henceforth, literature has a limitation to be scrutinized and analyzed. Since the abstractable meaning, which are held by literature, its specified by it self and differ from ordinary language itself as a peculiar way of communication. Literature has it genre consist of there mainstream poetry, fiction, and drama as Robert DiYanni said , (2004:XXXVIII) “Literature: Approaches to fiction, poetry and drama examines literature as a significant reflection of life and an imaginative extension of its possibilities; it emphasizes the reading of literature as an active enterprise involving thought and invoking feeling”. The writer then will focus on the fiction actually theme of story devices concerning the paper purposes.
We read stories largely for the emotional and intellectual pleasure they bring us, the pleasure of being surprised or disturbed by an unexpected turn of events or of being satisfied as our expectation are met. Well-told stories involve us emotionally in the live of their character. They provide us with pleasure of recognition in the world they portray and in the behavior of the character who inhabit them. According to J.B. Gordon and Karen Kueher, (1999:VI) “Stories can simultaneously convey experiences both individual and universal. Universal experiences are those that would be familiar to people from any period of time and in any country. They include being part of family, growing up, finding one’s place in the world, falling in love, overcoming obstacles, and/or accepting success or failure”.
The word theme denotes the central idea of serious fictional works such as novels, plays, poem, or short stories. Theme is an author’s insight or general observation about human nature or human condition that is conveyed through character, plot, and imagery.
Support on the previous statement, the writer decides to analyze the elements of the story theme, then this paper entitled Theme Analysis in Anita Desai “Pigeons at Daybreak “.
B. Formulation of Problem
Base on the background above, appear some of problem that can be formulated through research questions as follow:
1. What the biography of Anita Desai
2. How the summary of Pigeons at Daybreak story?
3. What The Theme in Anita Desai “Pigeons at Daybreak”?
C. Analysis
1. Biography of Anita Desai
Born to a German mother and an Indian father on June 24, 1937, Anita Desai spent much of her life in New Delhi. Growing up she spoke German at home and Hindi to friends and neighbors. She first learned English when she went to school. It was the language in which she first learned to read and write, and so it became her literary language. When asked why English remains her literary language, she said, "I think it had a tremendous effect that the first thing you saw written and the first thing you ever read was English. It seemed to me the language of books. I just went on writing it because I always wanted to belong to this world of books".
Desai received a BA in English Literature and graduated with honors from the University of Delhi. She started publishing her work shortly after her marriage to Ashrin Desai on December 13, 1958. Desai is part of a new literary tradition of Indian writing in English which dates back only to the '30s or '40s. She explains that this is because "at one time all literature was recited rather than read and that remains the tradition in India. It is still rather a strange act to buy a book and read it, an unusual thing to do" (CLC). Her new style of writing is also different from that of many Indian writers, as it is much less conservative than Indian literature has been in the past. For these reasons, she says, she is not widely read in India, mainly in Indian universities if at all. Throughout her novels, children's books, and short stories, Desai focuses on personal struggles and problems of contemporary life that her Indian characters must cope with. She maintains that her primary goal is to discover "the truth that is nine-tenths of the iceberg that lies submerged beneath the one-tenth visible portion we call Reality". She portrays the cultural and social changes that India has undergone as she focuses on the incredible power of family and society and the relationships between family members, paying close attention to the trials of women suppressed by Indian society.
Desai is praised for her broad understanding on intellectual issues, and for her ability to portray her country so vividly with the way the eastern and western cultures have blended there. She has received numerous awards, including the 1978 National Academy of Letters Award for Fire on the Mountain, the first of her novels to be brought to the United States. The story is of a remote, isolated woman and her equally withdrawn great-granddaughter as they are forced together in hills surrounded by violence and fire. In 1983 she was awarded the Guardian Prize for Children's Fiction for The Village by the Sea, an adventurous fairy tale about a young boy living in a small fishing village in India. She was awarded the Literary Lion Award in 1993, and has also been named Helen Cam Visiting fellow, Ashby fellow, and honorary fellow of the University of Cambridge. In addition to her writing, Desai has raised four children: Rahul, Tani, Arjun, and Kiran. She has been a member of the Advisory Board for English, and of the American Academy of Arts and Letters, as well as a Fellow of the Royal Society of Literature. She has also worked as an educator at colleges including Mt. Holyoke, Smith, and Girton College at Cambridge University.
2. Summary of “Pigeons at Daybreak” by Anita Desai
In the short story of pigeons at daybreak I read a story about character, who is Mr. Basu has been suffering for a number of years with a multitude of physical and emotional problems that often plague the asthma, depression, and failing eyesight. His wife, Otima, is the loving, understanding, but totally exhausted caregiver. As the story proceeds, Otima reads aloud from the newspaper that there will be a planned power outage that night. Basu responds with an asthmatic attack, fearing the hot night to come with no electric fan to move the air. Otima decides they will sleep outside, up on the terrace.
Basu is no more comfortable on the roof and the night is spent in agony. At one point, he remembers bringing his grandson up to see the collectors pigeons on the neighbor's rooftops . This memory fills him with emotion. Remembering the sense of wonder that the boy had is a wonderful feeling but Basu is also saddened by the passage of time. Still unable to sleep, his discomfort too much, Basu says his grandson's name over and over to himself, like a prayer or mantra. At daybreak, Otima goes downstairs to get Basu some iced water and discovers the electricity is back on. She runs back up to the terrace to help him down so he can sleep in his own bed for a while. He refuses saying it is cooler up there now and tells her to leave him alone
The story ends with him laying "flat and still, gazing up, his mouth hanging open" and the pigeons hurtling upwards against the "dome of the sky, opalescent, sunlit, like small pearls". They turn into crystals, then prisms of light, then disappear into "the soft, deep blue of the morning."
3. The Theme in Anita Desai “Pigeons at Daybreak”
The theme was a psychology suffering’s husband kept by his wife most loyalty even in the world. Pigeon at daybreak is a story of the valetudinarian psychology of Mr. Basu he has been suffering from the ailment of asthma for so long. His wife, Otima Basu. Is highly devoted and sincere. Otima has to attend to all real and imagined problem of her husband in addition to all her tiring daily domestic chores. A very committed and obedient lady as Otima is, she never harbors any grudge or any complain against her husband. On receiving the information that there would be an electric breakdown the whole night. She tends him well and when her husband’s breathing problem increase, she carries him to the roof-top, where Mr. Basu is scared of his quarrelsome neighbor. Throughout the night, Otima massages Basus’s body and there is some cool breeze also. This brings Basu’s some respite. Pigeons fly at the daybreak. And the flight of the pigeons also bring a temporary respite for Mr. Basu “then, with a swirl and further of feather, a folk of pigeon hurled upward and speared out against the dome of the sky-opalescent, sunlit, like small pearls (…), then they disappeared into the soft. Deep blue of the morning (P.228).
In fact, Otima knows the psychology of her husband well, even the slightest occasion enhances her husband’s problems to the extent that Otima find it extremely difficult to deal with these weak moment of her husband. “She knew how rapidly he would advance from imagined breathlessness into the first frightening stage of a full-blown attack of asthma” (P.223)
D. Conclusion
Precisely, this short story is a psychological story dealing with the imagined problem of an asthmatic patient like Mr. Buse. This story also tells how a patients wife like Otima tends her husband well. Pigeons figure in the story as emblems of peace and liberation. At the time of daybreak, the pigeons like other bird flutter in the air feeling free liberated and happy. Mr. Basu usually sleeps at the daybreak getting a temporary respite from the night’s suffocating air and physical groaning. Dwelling upon a very commonplace life situation, Anita has raised a very serious question of an honorable existence being buffeted by such a predicament as that of Othima.
E. Reference
Anita Desai. 1978. Game at Twilight and Other Stories. Penguins. London.
Diyanni, Robert. 2004. Literature; Approaches to Fiction, poetry, and Drama. McGraw-Hill Company, New York.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory, an Introduction. Basil Blackwell Publisher Limited. England.
Frye Northop, 1973. Anatomy of Criticism, Princeton University Press. America
J.B. Gordon, Karen Kuehner.1999. FICTION The Element of The Short Story. McGraw-Hill Company. USA.
Griffithsm, Sian. ed. 1996. Beyond the Glass Ceiling: Forty Women Whose Ideas Shape the Modern World. Manchester: Manchester University Press,
Langganan:
Postingan (Atom)